SEMANTIK
(‘Ilm al-Dalalah) *
Oleh:
Etey Qomariah, S.Pd.I *
ABSTRAK
Semantik
dapat juga disebut ilmu Dalalah atau ilmu makna. Semantik merupakan suatu
komponen yang terdapat dalam linguistik atau ilmu lughoh, sama seperti komponen
bunyi dan gramatika. Semantik merupakan bagian dari linguistik karena makna
menjadi bagian dari bahasa. Hubungan antara linguistik dan semantik tidak dapat
dipisahkan. Linguistik tidak lengkap jika tidak membicarakan makna sebab
berbahasa pada hakikatnya menyampaikan makna-makna, secara tidak langsung
berpikir bahasa juga telah melibatkan makna. Semantik atau ilmu dalalah sangat bermanfaat
bagi para guru bahasa secara umum atau guru bahasa Arab dan pemerhati bahasa
yang menaruh minat pada bahasa, khususnya semantik.
Kata
Kunci: Semantik,
atau Ilmu al-Dalalah
A.
PENDAHULUAN
Sebagai alat komunikasi verbal bahasa merupakan
suatu sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer.[1]
Bahasa memiliki fungsi utama sebagai alat komunikasi antar manusia. Di samping
itu, bahasa juga berguna sebagai penunjang atau alat berfikir; sarana
pengungkapan atau ekspresi diri dan juga mempunyai fungsi estetika. .[2]
Tindak bahasa yang dilakukan oleh seseorang dalam
proses komunikasi pada hakikatnya adalah proses menyampaikan makna-makna.
Gagasan atau pesan yang disampaikan komunikator kepada komunikan mengandung
makna. Bentuk-bentuk bahasa yang digunakan dalam proses komunikasi tersebut
adalah bentuk-bentuk yang bermakna. Dengan demikian, berpikir tentang bahasa
yang sebenarnya sekaligus juga telah melibatkan makna.[3]
Kata semantik disepakati sebagai istilah untuk bidang ilmu bahasa yang membahas
atau mempelajari makna, yang merupakan salah satu dari tataran analisis bahasa,
yaitu fonologi, gramatika, dan semantik.[4]
Beberapa ahli bahasa menjelaskan bahwa semantik pada
umumnya diartikan sebagai studi tentang makna.[5] Sebagai suatu unsur yang dinamik, bahasa senantiasa
dianalisis dan dikaji dengan menggunakan berbagai pendekatan untuk mengkajinya.
Antara lain pendekatan yang dapat digunakan untuk mengkaji bahasa ialah pendekatan
makna. Makna dipelajari dalam bidang semantik.
Semantik merupakan disiplin ilmu bahasa yang baru,
membahas tentang dalalah bahasa dan tunduk pada aturan-aturan bahasa dan
simbol-simbolnya tanpa selainnya. Bahasanya ialah studi makna bahasa terhadap
kosakata (mufrodat) dan
kalimat-kalimat (tarakib).
Adapun tujuan pokok dalam penelitian semantik adalah
agar pendengar memahami dengan baik makna yang di maksud dari perkataan atau
pembicaraan lawan bicara atau ungkapan-ungkapan yang dibacanya.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1. Apa
yang dimaksud ilmu semantik dan ‘ilm al-dalalah?
2. Bagaimana
Sejarah dan Perkembangan Semantik?
3. Apa
Objek, Ruang Lingkup, dan Manfaat Semantik?
4. Bagaimana
Proses Pemerolehan Bahasa dan Semantik?
C.
PEMBAHASAN
Sebelum membahas tentang semantik terlebih dahulu
memahami peta konsep tataran linguistik.[6]
(Gambar 1: Tataran Linguistik)

Tataran Linguistik Morfologi (al-Shorfiyah)
Sintaksis (al-Nahwiyah)

2. Jenis
Makna, ada 6
diantaranya:
1) Makna
Leksikal, Gramatikal, dan Kontekstual
2) Makna
Refrensial dan Nonrefrensial
3) Makna
Denotatif dan Konotatif
4) Makna
Konseptual dan Asosiatif
5) Makna
kata dan istilah
6) Makna
Idiom dan Pribahasa
3.
Relasi Makna, ada
7 diantaranya:
1)Sinonimi,
2)Antonimi, 3)Polisemi, 4)Homonimi, 5)Hiponimi, 6)Ambiguiti, 7)Redundansi
4.
Perubahan Makna
5. Medan Makna dan Komponen
Makna; Kesesuaian
Sintaksis dan Semantis.
1.
Pengertian
Semantik (‘ilm al-dalalah)
Kata semantik dalam
bahasa Indonesia (Inggris: semantics)
berasal dari bahasa Yunani sema (kata
benda) yang berarti “tanda” atau “lambang”. Kata kerjanya adalah semaino yang berarti “menandai” atau
“melambangkan”. [7] Yang
dimaksud dengan tanda atau lambang di sini sebagai padanan kata sema itu adalah tanda linguistik (Perancis: signe
linguistique).[8] Semantik
secara istilah adalah cabang linguistik yang mempelajari hubungan antara
tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya, atau dengan kata lain,
bidang studi dalam linguistik yang membahas arti atau makna.[9]
Oleh karena itu, kata semantik dapat
diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu salah satu dari
tiga tataran analisis bahasa: fonologi[10],
gramatika[11], dan
semantik.[12]


![]() |
|||||
![]() |
![]() |
||||
Sedangkan cakupan semantik hanyalah makna atau arti
yang berkenaan dengan bahasa sebagai alat komunikasi verbal.[13]
Istilah ilmu dalalah muncul belakangan setelah munculnya istilah semantik, yang
ditulis pertama kali oleh seorang ahli bahasa ber-kebangsaan Perancis Breal dalam bukunya Essai de semantique
tahun 1897. Sebenarnya kajian tentang makna telah lama dilakukan oleh para ahli
bahasa Arab, tetapi baru akhir abad 19 menjadi ilmu tersendiri, sebagaimana
yang ada sekarang.[14]
Kajian tentang makna dalam tradisi
Islam sebenarnya sudah muncul sejak masa-masa awal, tetapi belum menjadi ilmu
tersendiri. Belakangan kajian tentang makna menjadi
disiplin ilmu tersendiri yang dikenal dengan Ilmu dalalah atau ilmu dilalah
(bahasa Arab) yang merupakan padanan dari kata semantique (bahasa Perancis) atau semantics (bahasa Inggris), atau semantik (bahasa Indonesia).[15]
Dengan kata lain,
semantik adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda dalam bahasa. Dalam bahasa
Arab disebut ‘ilm- ad-dalalah.[16]
‘Ilm-
ad-dalalah ini terdiri atas dua
kata: ‘ilm yang berarti ilmu pengetahuan, dan al-dilalah yang berarti penunjukkan atau makna. Jadi, ‘ilm al-dilalah menurut bahasa adalah ilmu pengetahuan yang
mengetahui tentang makna.[17] Secara terminologis, ‘ilm- ad-dalalah sebagai salah satu cabang linguistik ‘ilm-al-lughoh yang telah berdiri
sendiri adalah ilmu yang mempelajari tentang makna suatu bahasa, baik pada
tataran makna mufrodat (kosa-kata)
maupun pada makna dalam tataran tarokib
(struktur atau gramatikal bahasa).[18]
Sebagai disiplin ilmu yang mengkaji
masalah makna, maka yang menjadi obyek kajian ilmu dalalah adalah:[19]
1. Aspek intonasi (suara atau al-aswat)
2. Aspek bentuk kata (sighah
sharfiyyah)
3. Aspek makna kata (al-ma’na
al-mu’jami)
4. Aspek struktur kalimat (al-tarokib
al-Qowa’idi; shorof wa Nahwu)
5. Aspek ungkapan terkait erat dengan budaya penutur dan
terkadang tidak dapat diterjemahkan secara harfiah ke dalam bahasa lain.[20]
2.
Sejarah
Semantik dalam Studi Linguistik
Sejarah semantik atau
makna telah digunakan oleh Aristoteles, sebagai pemikir Yunani yang hidup pada
masa (384-322 SM), adalah pemikir pertama yang menggunakan istilah “makna”
lewat batasan pengertian kata yang menurut Aristoteles adalah satuan terkecil
yang mengandung makna. Dalam hal ini, Aristoteles juga telah mengungkapkan
bahwa makna kata itu dapat dibedakan antara makna yang hadir dari kata itu
sendiri secara otonom, serta makna kata yang hadir akibat terjadinya hubungan
gramatikal. Bahkan Plato pada masa (429-347 SM) dalam Cratylus mengungkapkan bahwa bunyi-bunyi bahasa itu secara implisit
mengandung makna-makna tertentu. Hanya saja memang, pada masa itu batas antara
etimologi, studi makna, maupun studi makna kata, belum jelas.[21]
Pada tahun 1825,
seorang berkebangsaan Jerman, C.Chr.Reisig, mengemukakan konsep baru tentang grammar yang menurutnya meliputi tiga
unsur utama, yaitu; 1. semasiologi
(ilmu tentang tanda), 2. sintaksis
(studi tentang kalimat), 3. etimologi
(studi tentang asal-asul kata sehubungan dengan perubahan bentuk maupun makna).
[22] pada masa ini istilah semantik itu belum
digunakan meskipun studi tentangnya sudah dilaksanakan. Sebab itulah, masa
tersebut oleh Ullman disebut sebagai masa pertama pertumbuhan yang
diistilahkannya dengan underground
period.[23]
Masa kedua pertumbuhan
semantik telah ditandai oleh kehadiran karya Michel Breal (1883), seorang
berkebangsaan Prancis lewat artikelnya berjudul “Les Lois Intellectuelles du Language”. Pada masa itu, meskipun
Breal dengan jelas telah menyebutkan semantik sebagai bidang baru dalam
keilmuan, dia seperti halnya Reiseig, masih menyebut semantik sebagai ilmu yang
murni-historis. Dengan kata lain, studi semantik pada masa itu lebih banyak
berkaitan dengan unsur-unsur di luar bahasa itu sendiri, misalnya bentuk
perubahan makna dengan logika, psikologi, maupun sejumlah kriteria lainnya.
Karya klasik Breal dalam semantik pada akhir abad ke 19 itu adalah Essai de Semantique.[24]
Masa pertumbuhan ketiga
pertumbuhan studi tentang makna ditandai dengan pemunculan karya filolog
Swedia, yakni Gustaf Stern, berjudul Meaning
and Change of Meaning, with Special Refrence to the English Language (1931).
Stern, dalam kajian itu, sudah melakukan studi makna secara empiris dengan
bertolak dari satu bahasa, yakni bahasa Inggris. Beberapa puluh tahun sebelum
kehadiran karya Stern itu, di Jawena telah diterbitkan kumpulan bahan kuliah
seorang pengajar bahasa yang sangat menentukan arah perkembangan linguistik
berikutnya, yakni buku Cours de
Linguistique Generale (1916), karya Ferdinand de Saussure.
Terdapat dua konsep
baru yang ditampilkan Saussure dan merupakan revolusi dalam bidang teori dan
penerapan studi kebahasaan. Kedua konsep itu adalah;
1). Linguistik pada
dasarnya merupakan studi kebahasaan yang berfokus pada keberadaan bahasa itu
pada waktu tertentu sehingga studi yang dilaksanakan haruslah menggunakan pendekatan sinkronis atau studi yang
bersifat deskriptif. Sedangkan studi tentang sejarah dan perkembangan suatu
bahasa adalah kajian kesejarahan yang menggunakan pendekatan diakronis,
2) Bahasa merupakan
suatu gestalt atau suatu totalitas
yang didukung oleh berbagai elemen, yang elemen yang satu dengan yang lain
mengalami saling kebergantungan dalam rangka membangun keseluruhannya. Wawasan
kedua ini, pada sisi lain juga menjadi akar paham Linguistik Struktural.
Tokoh
yang secara sungguh-sungguh berusaha mengadaptasikan pendapat Saussure itu
dalam bidang semantik adalah Trier’s. Salah satu teori profesor berkebangsaan
Jerman tersebut adalah Teori Medan Makna.
Dengan diadaptasikannya teori Saussure dalam bidang semantik, maka dalam perkembangan
berikutnya kajian semantik memiliki ciri sebagai berikut:
1)
Meskipun semantik masih membahas masalah perubahan makna,
pandangan yang bersifat historis sudah ditinggalkan karena kajian yang
dilakukan bersifat deskriptif,
2)
Struktur dalam kosa kata mendapat perhatian dalam kajian
sehingga dalam kongres para linguis masih hangat dibicarakan tentang masalah
“semantik struktural” [25]
|
![]() |
3.
Objek,
Ruang lingkup, dan Manfaat Semantik
a.
Objek
Semantik
Yang menjadi objek studi semantik adalah makna bahasa.
Lebih tepat lagi, makna dari satuan-satuan bahasa seperti kata, frase, klausa,
kalimat, dan wacana.[26]
Dengan berbagai komponen dan tatarannya Komponen bahasa adalah leksikon atau
kosa kata dari bahasa tersebut; sedangkan tataran bahasa adalah fonologi[27]
dan gramatika[28] atau
bahasa yang mencakup tataran morfologi[29]
dan sintaksis.[30]
Dalam pembicaraan sintaksis lazim juga dibicarakan
adanya tataran bawaan dari sintaksis dapat dikatakan bahwa ruang lingkup studi
semantik meliputi seluruh komponen dan
tataran analisis bahasa.[31]
b.
Ruang
lingkup Semantik
Hubungan antara semantik dan linguistik dapat pula
kita lihat keberadaan semantik dalam bahasa. Verhaar (1981: 124) menggambarkan
secara jelas mengenai aspek semantik dilihat dari sistematika bahasa. Hal ini
dapat dilihat pada gambar berikut ini:[32]




( gramatika) Peran
Semantik gramatikal
Sistematika
Bahasa Morfologi.
Fonologi (Fonemik);
(tidak ada semantik; tetapi tiap-tiap fonem berfungsi
sebagai pembeda makna)
Fonetik[33] (tidak ada semantik)
Leksikon (ada arti) Semantik
Leksikal
Gambar
3: Ruang
lingkup semantik dalam sistematika bahasa
Bagan tersebut memperlihatkan kedudukan serta objek
studi semantik, yaitu makna dalam keseluruhan sistematika bahasa. Tampak tidak
semua tataran bahasa memiliki masalah semantik. Leksikon dan morfologi
memiliki, tetapi fonetik tidak.
Dari bagan itu dapat pula dibedakan adanya beberapa
jenis semantik, yang dibedakan berdasarkan tataran atau bagian bahasa itu yang
menjadi objek penyelidikannya. Kalau yang menjadi objek penyelidikan adalah
leksikon dari bahasa itu, maka jenisnya semantiknya disebut semantik leksikal. Dalam semantik
leksikal ini diselidiki makna yang ada pada leksem-leksem dari bahasa tersebut.
Oleh karena itu, makna yang ada pada leksem-leksem itu disebut makna leksikal. leksem adalah istilah yang digunakan
dalam studi semantik untuk menyebut satuan-bahasa bermakna. Istilah kata yang lazim digunakan dalam studi
morfologi dan sintaksis, dan sebagai satuan gramatikal bebas terkecil, seperti
kata meja, makan dll. Dapat juga
berupa gabungan kata seperti meja hijau yang
berarti pengadilan. Kumpulan dari leksem suatu bahasa disebut leksikon.[34]
Komponen bahasa yang dijadikan objek atau sasaran
dalam studi atau penelitian, dibedakan adanya berbagai jenis semantik,
diantaranya; ada semantik leksikal, semantik gramatikal, semantik kalimat, dan
sebagainya. [35]
c.
Manfaat
Semantik
Manfaat studi semantik adalah sangat tergantung dari
bidang apa yang kita geluti dalam tugas sehari-hari. Diantaranya; pertama, semantik sangat bermanfaat bagi
para wartawan, reporter, atau orang-orang yang berkecimpung dalam dunia
persurat kabaran dan pemberitaan,[36]
mereka barangkali akan memperoleh
manfaat praktis dari pengetahuan mengenai semantik. kedua, bagi mereka yang
berkecimpung dalam penelitian bahasa, seperti mereka yang belajar di Fakultas
Sastra, pengetahuan semantik akan banyak memberi bekal teoritis kepadanya untuk
dapat menganalisis bahasa atau bahasa-bahasa yang sedang dipelajarinya. Ketiga, bagi seorang guru atau calon
guru, pengetahuan tentang semantik akan memberi manfaat teoritis dan manfaat
praktis. [37] Keempat,
sebagai manusia bermasyarakat semantik diperlukan untuk dapat memahami
dunia disekelilingnya yang penuh dengan informasi dan lalu lintas kebahasaan.
Semua informasi yang ada di sekelilingnya dan juga harus mereka serap,
berlangsung melalui bahasa, melalui dunia lingual.[38]
4.
Proses
Pemerolehan Bahasa dan Semantik
Bahasa merupakan sistem tanda yang tidak dapat
dipisahkan dengan pemakai, aspek lambang, dan semantik. Di dalam proses
komunikasi yang secara eksplisit tampil adalah signal atau sign,[39]
yang oleh Colin Sherry diartikan sebagai bentuk fisis yang digunakan untuk
menyampaikan pesan, baik itu ujaran kebahasaan maupun unsur lain yang secara
laras menunjang aspek-aspek semantik.
signal
di dalam proses komunikasi mempunyai dua fungsi, yaitu: 1) menjadi alat paparan
pengirim pesan, dan 2) menjadi tumpuan dalam penerimaan dan upaya memahami
pesan.
Bagan dibawah ini menjelaskan komponen-komponen kebahasaan
sebagai sistem semantik yang terdapat dalam proses komunikasi.
![]() |
Gambar
4:
Proses Komunikasi dalam Sistem Semantik
Dengan melihat gambar diatas kita dapat mengetahui
bahwa penutur memiliki hubungan langsung dengan sistem sosial budaya, sistem
kebahasaan, aspek semantis, dan signal yang
diwujudkannya. Aspek sosial budaya (sosbud) kaitannya ditentukan oleh penutur
yang secara konvensional mengakui dan menggunakan sistem kebahasaan. Kunci
pemahaman aspek semantik adalah penutur atau pemakai yang memiliki atribut
sistem kebahasaan serta latar sosial budaya. Meskipun demikian karena
keberadaan aspek semantik maupun sistem kebahasaan terwujud dan terwakili lewat
signal, signal-lah yang menjadi objek
kajian atau objek telaah.
Jika penerima juga merupakan pemakai bahasa yang
digunakan oleh penutur, maka hubungan resiprokal besar kemungkinan dapat
terjadi. Sementara penerima yang bukan anggota masyarakat bahasa penutur,
terlebih dahulu harus mengidentifikasi identitas penutur, memahami sistem
kebahasaan, dan juga latar sosial serta budayanya.[40]
Dalam mengakaji pemerolehan bahasa dimulai dari komponen
semantik. Kemudian baru dilanjutkan dengan kajian pemerolehan sintaksis, dan
kajian pemerolehan fonologi.
Pada tahun pertama dalam kehidupan seorang bayi
menghabiskan waktunya untuk mengamati dan mengumpulkan sebanyak-banyaknya
informasi yang ada disekitar
kehidupannya. Pengamatan ini dilakukan melalui seluruh panca-indranya.
Apa yang diamati dan dikumpulkan itu menjadi “pengetahuan dunianya”.
Berdasarkan pengetahuan dunianya inilah si bayi memperoleh semantik bahasa
dunianya dengan cara meletakkan “makna” yang tetap kepada urutan bunyi bahasa
tertentu.[41]
Untuk dapat mengkaji pemerolehan semantik
kanak-kanak kita perlu terlebih dahulu memahami apa yang dimaksud makna atau
ari itu. Ada beberapa teori mengenai makna dan semantik itu. Menurut salah satu
teori semantik yang baru, makna dapat dijelaskan berdasarkan apa yang disebut
fitur-fitur atau penanda-penanda semantik. Ini berarti, makna sebuah kata
merupakan gabungan dari fitur-fitur semantik ini (Larson, 1989). Namun, ada
satu masalah yang sukar oleh teori semantik yaitu bagaimana menarik garis
pemisah antara yang disebut sintaksis dan yang disebut semantik. Demikian juga
antara yang disebut makna dengan yang disebut pengetahuan kognitif (Bolinger,
1965).[42]
Untuk memecahkan masalah ini, Simanjutak (1977,1987)
mengatakan bahwa komunikasi, pragmatik (konteks), makna, dan sintaksis terjadi
bersama-sama. Keempat unsur itu merupakan salah satu kesatuan yang tidak
dipisahkan untuk menyampaikan pengetahuan, perasaan, dan emosi dari seseorang
kepada orang lain. Jadi, kita tidak mungkin dapat memisahkan makna dari
sintaksis karena sesungguhnya makna itu diwujudkan oleh sintaksis, dan
sintaksis itu ada untuk mewujudkan makna. Sintaksis dan makna adalah dua buah
wujud yang harus ada bersama-sama dalam komunikasi.
Dalam perkembangan psikolinguistik ada beberapa
teori mengenai proses pemerolehan semantik:
1. Teori
Hipotesis Fitur Semantik
Pada masa kanak-kanak dalam memperoleh makna suatu
kata dengan cara menguasai fitur-fitur semantik kata itu satu demi satu sampai
semua fitur semantik itu dikuasai, seperti yang dikuasai oleh orang dewasa.[43]
Asumsi-asumsi yang menjadi dasar hipotesis
fitur-fitur semantik adalah:
a. Fitur-fitur
yang digunakan kanak-kanak dianggap sama dengan beberapa fitur makna yang
digunakan oleh orang dewasa.
b. Karena
pengalaman kanak-kanak mengenai dunia ini dan mengenai bahasa masih sangat
terbatas bila dibandingkan dengan pengalaman orang dewasa. Maka kanak-kanak
hanya akan menggunakan dua atau tiga fitur makna saja untuk sebuah kata sebagai
masukan leksikon.
c. Karena
pemilihan fitur-fitur yang berkaitan ini didasarkan pada pengalaman kanak-kanak
sebelumnya, maka fitur-fitur ini pada umumnya didasarkan pada informasi
persepsi atau pengamatan.
Akhirnya Clark (1977) secara umum menyimpulkan perkembangan
pemerolehan semantik ini kedalam 4 tahap yaitu berikut: [44]
a. Tahap
Penyempitan Makna Kata:
Tahap ini berlangsung antara umur satu sampai satu
setengah tahun (1:0 – 1:6). Pada tahap ini kanak-kanak menganggap satu benda
tertentu yang dicakup oleh satu makna menjadi nama dari benda itu. Jadi, yang
disebut (meong) hanyalah kucing yang
dipelihara di rumah saja. Begitu juga (guguk)
hanyalah anjing yang ada dirumahnya saja. Tidak termasuk yang berada diluar
rumah si anak.
b. Tahap
Generalisasi Berlebihan:
Tahap ini
berlangsung antara usia satu tahun setengah sampai dua tahun setengah (1:6 –
2:6). Pada tahap ini kanak-kanak mulai menggeneralisasikan makna suatu kata
secara berlebihan. Jadi, yang dimaksud
dengan anjing atau guguk dan kucing atau meong adalah
semua binatang yang berkaki empat, termasuk kambing
dan kerbau.
c. Tahap
Medan Semantik:
Tahap ini berlangsung antara usia dua tahun setengah
sampai usia lima tahun (2:6 – 5:0). Pada tahap ini kanak-kanak mulai
mengelompokkan kata-kata yang digeneralisasikan secara berlebihan semakin
sedikit setelah kata-kata baru untuk benda-benda yang termasuk dalam
generalisasi ini dikuasai oleh kanak-kanak. Umpamanya, kalau pada mulanya kata anjing berlaku untuk semua binatang
berkaki empat; namun, setelah mereka mengenal kata kuda, kambing, dan harimau, maka
kata kuda hanya berlaku untuk kuda
saja.
d. Tahap
Generalisasi:
Tahap ini berlangsung setelah kanak-kanak berusia
lima tahun. Pada tahap ini kanak-kanak telah mulai mampu mengenal benda-benda
yang sama dari sudut persepsi, bahwa benda-benda itu mempunyai fitur-fitur
semantik yang sama. Pengenalan seperti ini semakin sempurna jika kanak-kanak
itu semakin bertambah usianya. Jadi, ketika berusia antara lima tahun sampai
tujuh tahun (5:0 – 7:0), misalnya, mereka mampu mengenal yang dimaksud dengan
hewan yaitu semua mahluk yang termasuk hewan.[45]
2. Teori
Hipotesis Hubungan-Hubungan Gramatikal
Teori hipotesis hubungan-hubungan gramatikal ini
diperkenalkan oleh Mc.Neil (1970) menurutnya pada waktu dilahirkan kanak-kanak
telah dilengkapi dengan hubungan-hubungan gramatikal dalam yang murni. Oleh
karena itu, kanak-kanak pada awal proses pemerolehan bahasanya telah berusaha
membentuk satu “kamus makna kalimat” (sentence-meaning
dictionary), yaitu setiap butir leksikal dicantumkan dengan semua hubungan
gramatikal yang digunakan secara lengkap pada tahap holofrasis. Pada tahap
holofrasis ini kanak-kanak belum mampu
menguasai fitur-fitur semantik karena terlalu membebani ingatkan mereka. Jadi,
pada awal pemerolehan semantik hubungan-hubungan gramatikal inilah yang paling
penting karena telah tersedia secara nurani sejak lahir. Sedangkan fitur-fitur semantik hanya perlu pada tahap
lanjutan pemerolehan semantik ini.
Jika kanak-kanak telah mencapai tahap dua kata pada
usia (+ 2: 0) mereka baru mulai menguasai kamus makna kata berdasarkan
makna kata untuk menggantikan kamus makna kalimat yang telah dikuasai sebelumnya.
Penyesuaian kamus makna kata ini merupakan perkembangan kosakata kanak-kanak
yang dilakukan secara horizontal atau secara vertikal.[46]
3. Teori
Hipotesis Generalisasi
Teori hipotesis generalisasi ini diperkenalkan oleh
Anglin (1975, 1977). Menurut Anglin perkembangan semantik kanak-kanak mengikuti
suatu proses generalisasi, yakni kemampuan kanak-kanak melihat
hubungan-hubungan semantik antara nama-nama benda (kata-kata) mulai dari yang
konkret sampai pada yang abstrak. Pada tahap permulaan pemerolehan semantik ini
kanak-kanak hanya mampu menyadari hubungan-hubungan konkret yang khusus di
antara benda-benda itu. Bila usianya bertambah mereka membuat generalisasi
terhadap katagori-katagori abstrak yang lebih besar. Umpamanya, pada awal
perkembangan pemerolehan semantik kanak-kanak telah mengetahui kata-kata melati
dan mawar melalui hubungan konkret antara kata itu dengan bunga-bunga tersebut.
Pada tahun berikutnya setelah mereka semakin matang, mereka akan menggolongkan
kata-kata ini dengan butir leksikal yang lebih tinggi kelasnya/super ordinatnya
melalui generalisasi yaitu bunga.
Selanjutnya, setelah usia mereka semakin bertambah,
maka merakapun akan memasukkan bunga ke
dalam kelompok-kelompok yang lebih tinggi, yaitu tumbuh-tumbuhan.
4. Teori
Hipotesis Primitif-Primitif Universal
Teori ini mula-mula diperkenalkan oleh Postal
(1966), lalu dikembangkan oleh Bierwish
(1970) dengan lebih terperinci. Menurut Postal semua bahasa yang ada di
dunia ini dilandasi oleh satu perangkat primitif-primitif semantik universal (yang
kira-kira sama dengan penanda-penanda semantik dan fitur-fitur semantik), dan
rumus-rumus untuk menggabungkan primitif-primitif semantik ini dengan
butir-butir leksikal. Sedangkan setiap primitif semantik itu mempunyai satu
hubungan yang sudah ditetapkan sejak awal dengan dunia yang ditentukan oleh
struktur biologi manusia itu sendiri.
Bierwisch (1970) menyatakan bahwa primitif-primitif
semantik atau komponen-komponen semantik ini mewakili kategori-kategori atau
prinsip-prinsip yang sudah ada sejak awal yang digunakan oleh manusia untuk
menggolong-golongkan struktur benda-benda atau situasi-situasi yang diamati
oleh manusia itu. Bierwisch selanjutnya
menjelaskan bahwa primitif-primitif semantik ini tidak mewakili ciri-ciri fisik
luar dari benda-benda itu, tetapi mewakili keadaan-keadaan psikologi
berdasarkan bagaimana manusia memproses keadaan sosial dengan fisiknya.[47]
Dalam pemerolehan makna kanak-kanak tidak perlu
mempelajari komponen-komponen makna itu karena
komponen-komponen makna itu telah tersedia sejak lahir. Yang perlu
dipelajari adalah hubungan- hubungan komponen ini dengan “milik-milik” fonologi
dan sintaksis bahasanya. Ini berarti, bahwa manusia menafsirkan semua yang
diamatinya berdasarkan primitif-primitif semantik yang telah tersedia sejak
lahir. Dengan demikian, hipotesis primitif-primitif universal ini mau tidak mau
harus menghubungkan perkembangan semantik kanak-kanak dengan perkembangan
kognitif umum kanak-kanak itu.[48]

Pemerolehan Semantik[49]
Teori Hipotesis Hubungan-Hubungan
Gramatikal
Teori
Hipotesis Generalisasi
Teori
Hipotesis Primitif-Primitif Universal
Gambar
5:
Pemerolehan Semantik
D.
KESIMPULAN
1.
Pengertian semantik dalam bahasa Indonesia
(Inggris: semantics) berasal dari
bahasa Yunani sema (kata benda) yang
berarti “tanda” atau “lambang”. Kata kerjanya adalah semaino yang berarti “menandai” atau “melambangkan”. Yang
dimaksud dengan tanda atau lambang di sini sebagai padanan kata sema itu adalah tanda linguistik (Perancis: signe
linguistique). Semantik secara istilah adalah cabang linguistik yang mempelajari
hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya, atau
dengan kata lain, bidang studi dalam linguistik yang membahas arti atau makna.
Adapun pengertian ilmu al-dalalah adalah ‘Ilm- ad-dalalah ini terdiri atas dua kata: ‘ilm yang berarti ilmu pengetahuan, dan al-dilalah yang berarti penunjukkan atau makna.
Jadi, ‘ilm
al-dilalah menurut
bahasa adalah ilmu pengetahuan yang mengetahui tentang makna. Secara terminologis,
‘ilm-
ad-dalalah sebagai
salah satu cabang linguistik ‘ilm-al-lughoh yang telah berdiri sendiri adalah ilmu yang mempelajari
tentang makna suatu bahasa, baik pada tataran makna mufrodat (kosa-kata) maupun pada makna dalam tataran tarokib (struktur atau gramatikal
bahasa).
2.
Sejarah semantik dalam studi linguistik yaitu, sejarah semantik atau makna telah
digunakan oleh Aristoteles, sebagai pemikir Yunani yang hidup pada masa
(384-322 SM), adalah pemikir pertama yang menggunakan istilah “makna” lewat batasan
pengertian kata yang menurut Aristoteles adalah satuan terkecil yang mengandung
makna. Bahkan Plato pada masa (429-347 SM) dalam Cratylus mengungkapkan bahwa bunyi-bunyi bahasa itu secara implisit
mengandung makna-makna tertentu. Pada tahun 1825, seorang berkebangsaan Jerman,
C.Chr.Reisig, mengemukakan konsep baru tentang grammar yang menurutnya meliputi tiga unsur utama, yaitu; 1. semasiologi (ilmu tentang tanda), 2. sintaksis (studi tentang kalimat), 3. etimologi (studi tentang asal-asul kata
sehubungan dengan perubahan bentuk maupun makna). Masa kedua pertumbuhan
semantik telah ditandai oleh kehadiran karya Michel Breal (1883), seorang
berkebangsaan Prancis lewat artikelnya berjudul “Les Lois Intellectuelles du Language”. Masa pertumbuhan ketiga pertumbuhan
studi tentang makna ditandai dengan pemunculan karya filolog Swedia, yakni
Gustaf Stern, berjudul Meaning and Change
of Meaning, with Special Refrence to the English Language (1931). Beberapa
puluh tahun sebelum kehadiran karya Stern itu, di Jawena telah diterbitkan
kumpulan bahan kuliah seorang pengajar bahasa yang sangat menentukan arah
perkembangan linguistik berikutnya, yakni buku Cours de Linguistique Generale (1916), karya Ferdinand de Saussure.
3.
Objek
studi semantik, yaitu makna dalam keseluruhan sistematika bahasa. Yang menjadi
objek studi semantik adalah makna bahasa. Lebih tepat lagi, makna dari
satuan-satuan bahasa seperti kata, frase, klausa, kalimat, dan wacana. Dengan
berbagai komponen dan tatarannya Komponen bahasa adalah leksikon atau kosa kata
dari bahasa tersebut; sedangkan tataran bahasa adalah fonologi dan gramatika atau
bahasa yang mencakup tataran morfologi dan sintaksis. Adapun ruang lingkup
semantik adalah semantik leksikal,
semantik gramatikal, semantik kalimat, dan sebagainya. Sedangkan
manfaat studi semantik adalah sangat tergantung dari bidang apa yang
kita geluti dalam tugas sehari-hari, seperti; wartawan, guru bahasa, peneliti
bahasa dan lain sebagainya. Adapun tujuan pokok dalam penelitian semantik
adalah agar pendengar memahami dengan baik makna yang di maksud dari perkataan
atau pembicaraan lawan bicara atau ungkapan-ungkapan yang dibacanya.
4.
Dalam mengakaji
pemerolehan bahasa dimulai dari komponen semantik. Kemudian baru dilanjutkan
dengan kajian pemerolehan sintaksis, dan kajian pemerolehan fonologi. Melalui
beberapa tahap dan beberapa teori dalam proses pemerolehan semantik, sehingga
ilmu semantik merupakan kerja ilmiah yang mendasarkan pendekatannya pada proses
yang lebih dari sekedar penentuan hasil.
DAFTAR
PUSTAKA
Aminuddin, Semantik;
Pengantar Studi Tentang Makna, Malang: Sinar Baru Algensindo, 2003
Chaer, Abdul, Linguistik Umum; Edisi Baru, Jakarta: Rineka Cipta 2007
Chaer, Abdul, Pengantar
Semantik Bahasa Indonesia; Edisi Revisi, Jakarta: Rineka Cipta, 2002
Chaer, Abdul, Psikolinguistik; Kajian Teoritik, Jakarta: Rineka Cipta, 2003
Idris, Mardjoko, Semantik
al-Qur’an; Pertentangan dan Perbedaan Makna, Yogyakarta: Teras, 2008
Parera, J.D., Teori Semantik; Edisi Kedua, Jakarta: Erlangga, 2004
Pei, Mario, Asas ‘ilm al-Lughoh, Kairo: Alam al-Kutub, 1994
Soeparno, Dasar-Dasar Linguistik Umum, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002
Suwandi, Sarwiji, Semantik; Pengantar Kajian Makna, Yogyakarta: Media Perkasa, 2008
Suwandi, Sarwiji, Serbalinguistik; Mengupas Pelbagai Praktik Berbahasa, Surakarta:
SebelasMaret University Press, 2002
Tarigan, Henry Guntur, Pengajaran Semantik, Bandung: Angkasa,
2009
Tarigan, Henry Guntur, Psikolinguistik, Bandung: Angkasa, 1976
Tajuddin, Shafruddin, Ilmu Dalalah; Sebuah
Pengantar Kajian Semantik Arab, Jakarta: Maninjau, 2008
Verhaar, J.W.M., Asas-Asas
Linguistik Umum, Yogyakarta: UGM, 2008
*
Makalah ini dipresentasikan pada matakuliah
Semantik yang di ampu oleh Bpk. Prof. Dr.
Sugeng Sugiyono
*
Salahsatu mahasiswa alumni STAI
Mathali’ul Falah Pati dan kini melanjutkan study Program Pasca Sarjana S2
semester pertama, Jurusan Pendidikan Islam (PI) Program Studi Pendidikan Bahasa
Arab di Universitas Islam Negri (UIN) Sunan Kalijaga, 2013.
[1] Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia; Edisi
Revisi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm. 1
[2] Sarwiji Suwandi, Serbalinguistik; Mengupas Pelbagai Praktik Berbahasa, (Surakarta:
SebelasMaret University Press, 2002), hlm. 57
[3] Ibid, hlm. 57
[4] Ibid, hlm. 57
[5] J.W.M. Verhaar, Asas-Asas Linguistik Umum, (Yogyakarta: UGM, 2008), hlm. 13
[6] Abdul Chaer, Linguistik Umum; Edisi Baru, (Jakarta:
Rineka Cipta 2007), hlm. 284-296
[7] Henry Guntur
Tarigan, Pengajaran Semantik,
(Bandung: Angkasa, 2009), hlm. 12
[8] Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia; Edisi
Revisi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm. 2
[9] J.W.M. Verhaar, Asas-Asas Linguistik Umum, ...........................hlm.13
[10] Fonologi adalah subdisiplin linguistik yang mempelajari bunyi
bahasa secara umum, baik yang mempelajari bunyi bahasa yang tanpa menghiraukan
arti maupun tidak. Ilmu bahasa yang mempelajari bunyi bahasa tanpa menghiraukan
arti disebut fonetik, sedangkan ilmu
bahasa yang mempelajari bunyi bahasa yang membedakan arti disebut fonemik. Lihat, Soeparno, Dasar-Dasar Linguistik Umum,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), hlm. 79
[11] Gramatika adalah kajian linguistik yang objek kajiaannya dari
morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, alinea, dialog, monolog, percakapan dan
wacana. Lihat, Soeparno........hlm.91
[12] Semantik diartikan sebagai ilmu bahasa yang
mempelajari makna. Yakni mempelajari makna yang terkandung dalam suatu lafal
kata serta kolerasi yang meliputi sebuah makna itu sendiri. Maksudnya hubungan
dalam hal padanan makna (sinonim), lawan makna (antonim), banyaknya makna,
serta yang meliputi baik dalam tataran fonologi,
morfologi, sintaksis, dan semantik
itu sendiri. Karena mengingat, makna itu pada hakikatnya itu umum dan bisa
menyentuh semuanya. Lihat, Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia; Edisi Revisi, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2002), hlm.2
[13] Abdul Chaer Pengantar Semantik Bahasa Indonesia; Edisi Revisi,......................hlm.3
[14] Mario Pei, Asas ‘ilm al-Lughoh, (Kairo: Alam
al-Kutub, 1994), hlm. 55
[14] Ibid, hlm. 55
[15] Di kalangan bangsa Arab ada yang menggunakan istilah
ilmu dalalah, ada juga yang
menggunakan istilah dalalat al-alfaz
atau ilmu al-ma’na (bukan ilmu al-ma’ani). Tetapi tampaknya yang pertama
lebih sering digunakan. Di samping ilmu dalalah
ada juga ilmu ar-rumuz (semiotik) yang mempelajari tanda secara umum, baik terkait
dengan bahasa atau non bahasa. Sementara ilmu dalalah (semantik) mengkaji masalah tanda dalam bahasa saja. Dalam
sistem semiotik, bahasa dibedakan ke dalam tiga komponen, yaitu: 1) Sintaksis, terkait dengan lambang dan
bentuk hubungan; 2) Semantik, terkait
dengan hubungan antar lambang dan dunia luar yang diacunya; 3) Pragmatik, terkait dengan hubungan
antara pemakai bahasa dengan lambang dalam pemakaiannya.
[16] Mario Pei, Asas ‘ilm al-Lughoh, (Kairo: Alam
al-Kutub, 1994), hlm. 55
[17] Ibid, hlm. 55
[18] Ibid, hlm. 55
[19] Shafruddin
Tajuddin, Ilmu Dalalah; Sebuah Pengantar Kajian Semantik Arab, (Jakarta:
Maninjau, 2008), hlm. 2
[20] Mario Pei, Asas
‘ilm al-Lughoh, (Kairo: Alam al-Kutub, 1994), hlm. 55-58
[21] Aminuddin, Semantik; Pengantar Studi Tentang Makna,
(Malang: Sinar Baru Algensindo, 2003), hlm. 15-16
[22] Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia; Edisi
Revisi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm. 13
[23] Aminuddin, Semantik; Pengantar Studi Tentang Makna,......................., hlm.
16
[24] Ibid, hlm. 16
[25] Aminuddin, Semantik; Pengantar Studi Tentang Makna,.................................hlm.
16-17
[26] Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia; Edisi
Revisi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm. 6
[27] Fonologi (Inggris: phonology; Amerika: phonemics) merupakan bidang dalam linguistik yang menyelidiki
bunyi-bunyi bahasa menurut fungsinya.
[28] Suatu studi semantik yang objek
penelitiannya berupa morfologi dan sintaksis termasuk semantik gramatikal.
Dengan demikian, makna-makna yang terdapat dalam tataran gramatikal ini disebut
makna gramatikal.
[29] Morfologi adalah bidang
linguistik yang mempelajari morfem serta kombinasinya dan bagian dari struktur
bahasa yang mencakup kata dan bagian-bagian-bagian kata
[30] Sintaksis adalah cabang
linguistik yang meneliti kalimat serta proses pembentukannya.
[31] Sarwiji Suwandi, Serbalinguistik; Mengupas Pelbagai Praktik
Berbahasa, (Surakarta: Sebelas Maret University Press, 2002), hlm. 16
[32] Ibid, hlm.
15
[33] Fonetik membicarakan bunyi (fon) tanpa memperhatikan fungsi bunyi
itu sebagai pembeda makna. Oleh karena itu, pada subtataran ini tidak ada
semantik.
[34] Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia; Edisi
Revisi,............hlm. 7-8
[35] Semantik leksikal objeknya
berupa leksikon atau kosa kata bahasa tersebut. Dalam semantik leksikal
dibicarakan makna leksem-leksem (satuan-satuan) bahasa yang bermakna. Makna
leksikal adalah makna unsur-unsur bahasa sebagai lambang benda, peristiwa, dan
lain-lain. Makna leksikal dipunyai unsur-unsur bahasa lepas dari penggunaanya
atau konteksnya. Lihat Sarwiji Suwandi, hlm. 16
[36] Pengetahuan semantik akan
memudahkannya dalam memilih dan menggunakan kata dengan makna yang tepat dalam
menyampaikan informasi kepada masyarakat umum. Tanpa pengetahuan akan
konsep-konsep polisemi, homonimi, denotasi, konotasi, dan nuansa-nuansa makna
tentu akan sulit bagi mereka untuk dapat menyampaikan informasi secara tepat
dan benar. Lihat dalam bukunya, Sarwiji Suwandi, Serbalinguistik; Mengupas Pelbagai Praktik Berbahasa,.........hlm.
12
[37] Manfaat teoritis bagi guru yaitu
sebagai guru bahasa harus pula mempelajari dengan sungguh-sungguh akan bahasa
yang diajarkannya. Adapun manfaat praktis akan diperolehnya berupa kemudahan
bagi dirinya dalam mengajarkan bahasa itu kepada murid-muridnya. Seorang guru
bahasa, selain harus memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang luas mengenai
segala aspek bahasa, juga harus memiliki pengetahuan teori semantik secara
memadai. Tanpa pengetahuan ini dia tidak akan dapat dengan tepat menjelaskan
perbedaan dan persamaan semantis antara dua bentuk buah kata, serta bagaimana
menggunakan kedua bentuk kata yang mirip itu dengan benar. Lihat, Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia; Edisi
Revisi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm. 12
[38] Ibid. hlm.12
[39] J.D. Parera, Teori Semantik; Edisi Kedua, (Jakarta:
Erlangga, 2004), hlm. 9
[40] Sarwiji Suwandi, Serbalinguistik; Mengupas Pelbagai Praktik
Berbahasa,...................hlm. 34-36
[41] Abdul Chaer, Psikolinguistik; Kajian Teoritik,
(Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hlm 194
[42] Ibid, hlm. 195
[43] Ibid, hlm. 196
[44] Ibid, hlm. 197
[45] Ibid, hlm. 197
[46] Secara
horizontal artinya pada mulanya kanak-kanak hanya memasukkan beberapa fitur
semantik untuk setiap butir leksikal kedalam kamusnya. Kemudian dalam
perkembangan selanjutnya barulah terjadi penambahan fitur-fitur lainnya secara
berangsur-angsur. Secara vertikal, artinya kanak-kanak secara serentak
memasukkan semua fitur semantik sebuah kata kedalam kamusnya; tetapi kata-kata
itu terpisah satu sama lain. Secara vertikal ini berarti fitur-fitur semantik orang
dewasa. Tentu saja, seperti kata simanjutak (1987), hal ini tidak mungkin. Yang
lebih mungkin terjadi adalah secara horizontal. Lihat, Abdul Chaer, Psikolinguistik; Kajian Teoritik,
(Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hlm. 198
[47] Abdul Chaer, Psikolinguistik; Kajian Teoritik,
(Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hlm. 199
[48] Ibid. hlm. 199
[49] Ibid, hlm.
194-199
Tidak ada komentar:
Posting Komentar