Jumat, 13 Desember 2013

SEMANTIK (‘Ilm al-Dalalah)



SEMANTIK (‘Ilm al-Dalalah) *
Oleh: Etey Qomariah, S.Pd.I *

ABSTRAK
Semantik dapat juga disebut ilmu Dalalah atau ilmu makna. Semantik merupakan suatu komponen yang terdapat dalam linguistik atau ilmu lughoh, sama seperti komponen bunyi dan gramatika. Semantik merupakan bagian dari linguistik karena makna menjadi bagian dari bahasa. Hubungan antara linguistik dan semantik tidak dapat dipisahkan. Linguistik tidak lengkap jika tidak membicarakan makna sebab berbahasa pada hakikatnya menyampaikan makna-makna, secara tidak langsung berpikir bahasa juga telah melibatkan makna. Semantik atau ilmu dalalah sangat bermanfaat bagi para guru bahasa secara umum atau guru bahasa Arab dan pemerhati bahasa yang menaruh minat pada bahasa, khususnya semantik.

Kata Kunci: Semantik, atau Ilmu al-Dalalah

A.    PENDAHULUAN
Sebagai alat komunikasi verbal bahasa merupakan suatu sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer.[1] Bahasa memiliki fungsi utama sebagai alat komunikasi antar manusia. Di samping itu, bahasa juga berguna sebagai penunjang atau alat berfikir; sarana pengungkapan atau ekspresi diri dan juga mempunyai fungsi estetika. .[2]
Tindak bahasa yang dilakukan oleh seseorang dalam proses komunikasi pada hakikatnya adalah proses menyampaikan makna-makna. Gagasan atau pesan yang disampaikan komunikator kepada komunikan mengandung makna. Bentuk-bentuk bahasa yang digunakan dalam proses komunikasi tersebut adalah bentuk-bentuk yang bermakna. Dengan demikian, berpikir tentang bahasa yang sebenarnya sekaligus juga telah melibatkan makna.[3] Kata semantik disepakati sebagai istilah untuk bidang ilmu bahasa yang membahas atau mempelajari makna, yang merupakan salah satu dari tataran analisis bahasa, yaitu fonologi, gramatika, dan semantik.[4]
Beberapa ahli bahasa menjelaskan bahwa semantik pada umumnya diartikan sebagai studi tentang makna.[5] Sebagai suatu unsur yang dinamik, bahasa senantiasa dianalisis dan dikaji dengan menggunakan berbagai pendekatan untuk mengkajinya. Antara lain pendekatan yang dapat digunakan untuk mengkaji bahasa ialah pendekatan makna. Makna dipelajari dalam bidang semantik.
Semantik merupakan disiplin ilmu bahasa yang baru, membahas tentang dalalah bahasa dan tunduk pada aturan-aturan bahasa dan simbol-simbolnya tanpa selainnya. Bahasanya ialah studi makna bahasa terhadap kosakata (mufrodat) dan kalimat-kalimat (tarakib).
Adapun tujuan pokok dalam penelitian semantik adalah agar pendengar memahami dengan baik makna yang di maksud dari perkataan atau pembicaraan lawan bicara atau ungkapan-ungkapan yang dibacanya.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.    Apa yang dimaksud ilmu semantik dan ‘ilm al-dalalah?
2.    Bagaimana Sejarah dan Perkembangan Semantik?
3.    Apa Objek, Ruang Lingkup, dan Manfaat Semantik?
4.    Bagaimana Proses Pemerolehan Bahasa dan Semantik?




C.    PEMBAHASAN
Sebelum membahas tentang semantik terlebih dahulu memahami peta konsep tataran linguistik.[6]
                                 
(Gambar 1: Tataran Linguistik)

                                    Fonologi (al-shautiyah)
Tataran Linguistik     Morfologi (al-Shorfiyah)
                        Sintaksis (al-Nahwiyah)        
                        Semantik (al-Dilalah)   1. Hakikat Makna
    2. Jenis Makna, ada 6 diantaranya:
1)   Makna Leksikal, Gramatikal, dan Kontekstual
2)   Makna Refrensial dan Nonrefrensial
3)   Makna Denotatif dan Konotatif
4)   Makna Konseptual dan Asosiatif
5)   Makna kata dan istilah
6)   Makna Idiom dan Pribahasa  
3. Relasi Makna, ada 7 diantaranya:
                                                                       1)Sinonimi, 2)Antonimi, 3)Polisemi, 4)Homonimi, 5)Hiponimi, 6)Ambiguiti, 7)Redundansi
4. Perubahan Makna
5. Medan Makna dan Komponen Makna; Kesesuaian Sintaksis dan Semantis.
1.      Pengertian Semantik (‘ilm al-dalalah)
Kata semantik dalam bahasa Indonesia (Inggris: semantics) berasal dari bahasa Yunani sema (kata benda) yang berarti “tanda” atau “lambang”. Kata kerjanya adalah semaino yang berarti “menandai” atau “melambangkan”. [7] Yang dimaksud dengan tanda atau lambang di sini sebagai padanan kata sema itu adalah tanda linguistik (Perancis: signe linguistique).[8] Semantik secara istilah adalah cabang linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya, atau dengan kata lain, bidang studi dalam linguistik yang membahas arti atau makna.[9] Oleh karena itu, kata semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu salah satu dari tiga tataran analisis bahasa: fonologi[10], gramatika[11], dan semantik.[12]
Selain istilah semantik dalam sejarah linguistik ada pula digunakan istilah lain seperti semiotika, semiologi, semasiologi, sememik dan semik untuk merujuk pada bidang studi yang mempelajari makna atau arti suatu tanda atau lambang. Seperti;











 


Sedangkan  cakupan semantik hanyalah makna atau arti yang berkenaan dengan bahasa sebagai alat komunikasi verbal.[13]
Istilah ilmu dalalah muncul belakangan setelah munculnya istilah semantik, yang ditulis pertama kali oleh seorang ahli bahasa ber-kebangsaan Perancis Breal dalam bukunya Essai de semantique tahun 1897. Sebenarnya kajian tentang makna telah lama dilakukan oleh para ahli bahasa Arab, tetapi baru akhir abad 19 menjadi ilmu tersendiri, sebagaimana yang ada sekarang.[14]
Kajian tentang makna dalam tradisi Islam sebenarnya sudah muncul sejak masa-masa awal, tetapi belum menjadi ilmu tersendiri. Belakangan kajian tentang makna menjadi disiplin ilmu tersendiri yang dikenal dengan Ilmu dalalah atau ilmu dilalah (bahasa Arab) yang merupakan padanan dari kata semantique (bahasa Perancis) atau semantics (bahasa Inggris), atau semantik (bahasa Indonesia).[15]
Dengan kata lain, semantik adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda dalam bahasa. Dalam bahasa Arab disebut ‘ilm- ad-dalalah.[16] ‘Ilm- ad-dalalah ini terdiri atas dua kata: ‘ilm yang berarti ilmu pengetahuan, dan al-dilalah yang berarti penunjukkan atau makna. Jadi, ‘ilm al-dilalah menurut bahasa adalah ilmu pengetahuan yang mengetahui tentang makna.[17] Secara terminologis, ‘ilm- ad-dalalah sebagai salah satu cabang linguistik ‘ilm-al-lughoh yang telah berdiri sendiri adalah ilmu yang mempelajari tentang makna suatu bahasa, baik pada tataran makna mufrodat (kosa-kata) maupun pada makna dalam tataran tarokib (struktur atau gramatikal bahasa).[18]
Sebagai disiplin ilmu yang mengkaji masalah makna, maka yang menjadi obyek kajian ilmu dalalah adalah:[19]
1.      Aspek intonasi (suara atau al-aswat)
2.      Aspek bentuk kata (sighah sharfiyyah)
3.      Aspek makna kata (al-ma’na al-mu’jami)
4.      Aspek struktur kalimat  (al-tarokib al-Qowa’idi; shorof  wa Nahwu)
5.      Aspek ungkapan terkait erat dengan budaya penutur dan terkadang tidak dapat diterjemahkan secara harfiah ke dalam bahasa lain.[20]
2.      Sejarah Semantik dalam Studi Linguistik
Sejarah semantik atau makna telah digunakan oleh Aristoteles, sebagai pemikir Yunani yang hidup pada masa (384-322 SM), adalah pemikir pertama yang menggunakan istilah “makna” lewat batasan pengertian kata yang menurut Aristoteles adalah satuan terkecil yang mengandung makna. Dalam hal ini, Aristoteles juga telah mengungkapkan bahwa makna kata itu dapat dibedakan antara makna yang hadir dari kata itu sendiri secara otonom, serta makna kata yang hadir akibat terjadinya hubungan gramatikal. Bahkan Plato pada masa (429-347 SM) dalam Cratylus mengungkapkan bahwa bunyi-bunyi bahasa itu secara implisit mengandung makna-makna tertentu. Hanya saja memang, pada masa itu batas antara etimologi, studi makna, maupun studi makna kata, belum jelas.[21]
Pada tahun 1825, seorang berkebangsaan Jerman, C.Chr.Reisig, mengemukakan konsep baru tentang grammar yang menurutnya meliputi tiga unsur utama, yaitu; 1. semasiologi (ilmu tentang tanda), 2. sintaksis (studi tentang kalimat), 3. etimologi (studi tentang asal-asul kata sehubungan dengan perubahan bentuk maupun makna). [22]  pada masa ini istilah semantik itu belum digunakan meskipun studi tentangnya sudah dilaksanakan. Sebab itulah, masa tersebut oleh Ullman disebut sebagai masa pertama pertumbuhan yang diistilahkannya dengan underground period.[23]
Masa kedua pertumbuhan semantik telah ditandai oleh kehadiran karya Michel Breal (1883), seorang berkebangsaan Prancis lewat artikelnya berjudul “Les Lois Intellectuelles du Language”. Pada masa itu, meskipun Breal dengan jelas telah menyebutkan semantik sebagai bidang baru dalam keilmuan, dia seperti halnya Reiseig, masih menyebut semantik sebagai ilmu yang murni-historis. Dengan kata lain, studi semantik pada masa itu lebih banyak berkaitan dengan unsur-unsur di luar bahasa itu sendiri, misalnya bentuk perubahan makna dengan logika, psikologi, maupun sejumlah kriteria lainnya. Karya klasik Breal dalam semantik pada akhir abad ke 19 itu adalah Essai de Semantique.[24]
Masa pertumbuhan ketiga pertumbuhan studi tentang makna ditandai dengan pemunculan karya filolog Swedia, yakni Gustaf Stern, berjudul Meaning and Change of Meaning, with Special Refrence to the English Language (1931). Stern, dalam kajian itu, sudah melakukan studi makna secara empiris dengan bertolak dari satu bahasa, yakni bahasa Inggris. Beberapa puluh tahun sebelum kehadiran karya Stern itu, di Jawena telah diterbitkan kumpulan bahan kuliah seorang pengajar bahasa yang sangat menentukan arah perkembangan linguistik berikutnya, yakni buku Cours de Linguistique Generale (1916), karya Ferdinand de Saussure.
Terdapat dua konsep baru yang ditampilkan Saussure dan merupakan revolusi dalam bidang teori dan penerapan studi kebahasaan. Kedua konsep itu adalah;
1). Linguistik pada dasarnya merupakan studi kebahasaan yang berfokus pada keberadaan bahasa itu pada waktu tertentu sehingga studi yang dilaksanakan haruslah menggunakan pendekatan sinkronis atau studi yang bersifat deskriptif. Sedangkan studi tentang sejarah dan perkembangan suatu bahasa adalah kajian kesejarahan yang menggunakan pendekatan diakronis,
2) Bahasa merupakan suatu gestalt atau suatu totalitas yang didukung oleh berbagai elemen, yang elemen yang satu dengan yang lain mengalami saling kebergantungan dalam rangka membangun keseluruhannya. Wawasan kedua ini, pada sisi lain juga menjadi akar paham Linguistik Struktural.
            Tokoh yang secara sungguh-sungguh berusaha mengadaptasikan pendapat Saussure itu dalam bidang semantik adalah Trier’s. Salah satu teori profesor berkebangsaan Jerman tersebut adalah Teori Medan Makna. Dengan diadaptasikannya teori Saussure dalam bidang semantik, maka dalam perkembangan berikutnya kajian semantik memiliki ciri sebagai berikut:
1)      Meskipun semantik masih membahas masalah perubahan makna, pandangan yang bersifat historis sudah ditinggalkan karena kajian yang dilakukan bersifat deskriptif,
2)      Struktur dalam kosa kata mendapat perhatian dalam kajian sehingga dalam kongres para linguis masih hangat dibicarakan tentang masalah “semantik struktural” [25]
Semantik dan Disiplin Ilmu Lain

 
Semantik juga memiliki hubungan dengan sejumlah disiplin ilmu lain. Tiga disiplin ilmu yang memiliki hubungan erat dengan semantik maupun linguistik pada umumnya adalah: 1) Filsafat, 2) Psikologi, 3) Antropologi.  Gambar 2: Semantik dan disiplin ilmu lain



 



3.      Objek, Ruang lingkup, dan Manfaat Semantik
a.    Objek Semantik
Yang menjadi objek studi semantik adalah makna bahasa. Lebih tepat lagi, makna dari satuan-satuan bahasa seperti kata, frase, klausa, kalimat, dan wacana.[26] Dengan berbagai komponen dan tatarannya Komponen bahasa adalah leksikon atau kosa kata dari bahasa tersebut; sedangkan tataran bahasa adalah fonologi[27] dan gramatika[28] atau bahasa yang mencakup tataran morfologi[29] dan sintaksis.[30]
Dalam pembicaraan sintaksis lazim juga dibicarakan adanya tataran bawaan dari sintaksis dapat dikatakan bahwa ruang lingkup studi semantik meliputi  seluruh komponen dan tataran analisis bahasa.[31]
b.   Ruang lingkup Semantik
Hubungan antara semantik dan linguistik dapat pula kita lihat keberadaan semantik dalam bahasa. Verhaar (1981: 124) menggambarkan secara jelas mengenai aspek semantik dilihat dari sistematika bahasa. Hal ini dapat dilihat pada gambar berikut ini:[32]        
                                        Sintaksis.    Fungsi (tidak ada semantik; kosong dari arti)
                                          Tata Bahasa                           Kategori
                                        ( gramatika)                          Peran             Semantik gramatikal
Sistematika Bahasa                                  Morfologi.
             Fonologi (Fonemik); (tidak ada semantik; tetapi tiap-tiap fonem                                 berfungsi sebagai pembeda makna)
            Fonetik[33]          (tidak ada semantik)
             Leksikon         (ada arti) Semantik Leksikal
Gambar 3: Ruang lingkup semantik dalam sistematika bahasa

Bagan tersebut memperlihatkan kedudukan serta objek studi semantik, yaitu makna dalam keseluruhan sistematika bahasa. Tampak tidak semua tataran bahasa memiliki masalah semantik. Leksikon dan morfologi memiliki, tetapi fonetik tidak.
Dari bagan itu dapat pula dibedakan adanya beberapa jenis semantik, yang dibedakan berdasarkan tataran atau bagian bahasa itu yang menjadi objek penyelidikannya. Kalau yang menjadi objek penyelidikan adalah leksikon dari bahasa itu, maka jenisnya semantiknya disebut semantik leksikal. Dalam semantik leksikal ini diselidiki makna yang ada pada leksem-leksem dari bahasa tersebut. Oleh karena itu, makna yang ada pada leksem-leksem itu disebut makna leksikal. leksem adalah istilah yang digunakan dalam studi semantik untuk menyebut satuan-bahasa bermakna. Istilah kata yang lazim digunakan dalam studi morfologi dan sintaksis, dan sebagai satuan gramatikal bebas terkecil, seperti kata meja, makan dll. Dapat juga berupa gabungan kata seperti meja hijau yang berarti pengadilan. Kumpulan dari leksem suatu bahasa disebut leksikon.[34]  
Komponen bahasa yang dijadikan objek atau sasaran dalam studi atau penelitian, dibedakan adanya berbagai jenis semantik, diantaranya; ada semantik leksikal, semantik gramatikal, semantik kalimat, dan sebagainya. [35]
c.    Manfaat Semantik
Manfaat studi semantik adalah sangat tergantung dari bidang apa yang kita geluti dalam tugas sehari-hari. Diantaranya; pertama, semantik sangat bermanfaat bagi para wartawan, reporter, atau orang-orang yang berkecimpung dalam dunia persurat kabaran dan pemberitaan,[36]  mereka barangkali akan memperoleh manfaat praktis dari pengetahuan mengenai semantik. kedua,  bagi mereka yang berkecimpung dalam penelitian bahasa, seperti mereka yang belajar di Fakultas Sastra, pengetahuan semantik akan banyak memberi bekal teoritis kepadanya untuk dapat menganalisis bahasa atau bahasa-bahasa yang sedang dipelajarinya. Ketiga, bagi seorang guru atau calon guru, pengetahuan tentang semantik akan memberi manfaat teoritis dan manfaat praktis. [37] Keempat,  sebagai manusia bermasyarakat semantik diperlukan untuk dapat memahami dunia disekelilingnya yang penuh dengan informasi dan lalu lintas kebahasaan. Semua informasi yang ada di sekelilingnya dan juga harus mereka serap, berlangsung melalui bahasa, melalui dunia lingual.[38]
4.      Proses Pemerolehan Bahasa dan Semantik
Bahasa merupakan sistem tanda yang tidak dapat dipisahkan dengan pemakai, aspek lambang, dan semantik. Di dalam proses komunikasi yang secara eksplisit tampil adalah signal atau sign,[39] yang oleh Colin Sherry diartikan sebagai bentuk fisis yang digunakan untuk menyampaikan pesan, baik itu ujaran kebahasaan maupun unsur lain yang secara laras menunjang aspek-aspek semantik.
signal di dalam proses komunikasi mempunyai dua fungsi, yaitu: 1) menjadi alat paparan pengirim pesan, dan 2) menjadi tumpuan dalam penerimaan dan upaya memahami pesan.

Bagan dibawah ini menjelaskan komponen-komponen kebahasaan sebagai sistem semantik yang terdapat dalam proses komunikasi.



 







Gambar 4: Proses Komunikasi dalam Sistem Semantik

Dengan melihat gambar diatas kita dapat mengetahui bahwa penutur memiliki hubungan langsung dengan sistem sosial budaya, sistem kebahasaan, aspek semantis, dan signal yang diwujudkannya. Aspek sosial budaya (sosbud) kaitannya ditentukan oleh penutur yang secara konvensional mengakui dan menggunakan sistem kebahasaan. Kunci pemahaman aspek semantik adalah penutur atau pemakai yang memiliki atribut sistem kebahasaan serta latar sosial budaya. Meskipun demikian karena keberadaan aspek semantik maupun sistem kebahasaan terwujud dan terwakili lewat signal, signal-lah yang menjadi objek kajian atau objek telaah.
Jika penerima juga merupakan pemakai bahasa yang digunakan oleh penutur, maka hubungan resiprokal besar kemungkinan dapat terjadi. Sementara penerima yang bukan anggota masyarakat bahasa penutur, terlebih dahulu harus mengidentifikasi identitas penutur, memahami sistem kebahasaan, dan juga latar sosial serta budayanya.[40]
Dalam mengakaji pemerolehan bahasa dimulai dari komponen semantik. Kemudian baru dilanjutkan dengan kajian pemerolehan sintaksis, dan kajian pemerolehan fonologi.
Pada tahun pertama dalam kehidupan seorang bayi menghabiskan waktunya untuk mengamati dan mengumpulkan sebanyak-banyaknya informasi yang ada disekitar  kehidupannya. Pengamatan ini dilakukan melalui seluruh panca-indranya. Apa yang diamati dan dikumpulkan itu menjadi “pengetahuan dunianya”. Berdasarkan pengetahuan dunianya inilah si bayi memperoleh semantik bahasa dunianya dengan cara meletakkan “makna” yang tetap kepada urutan bunyi bahasa tertentu.[41]
Untuk dapat mengkaji pemerolehan semantik kanak-kanak kita perlu terlebih dahulu memahami apa yang dimaksud makna atau ari itu. Ada beberapa teori mengenai makna dan semantik itu. Menurut salah satu teori semantik yang baru, makna dapat dijelaskan berdasarkan apa yang disebut fitur-fitur atau penanda-penanda semantik. Ini berarti, makna sebuah kata merupakan gabungan dari fitur-fitur semantik ini (Larson, 1989). Namun, ada satu masalah yang sukar oleh teori semantik yaitu bagaimana menarik garis pemisah antara yang disebut sintaksis dan yang disebut semantik. Demikian juga antara yang disebut makna dengan yang disebut pengetahuan kognitif (Bolinger, 1965).[42]
Untuk memecahkan masalah ini, Simanjutak (1977,1987) mengatakan bahwa komunikasi, pragmatik (konteks), makna, dan sintaksis terjadi bersama-sama. Keempat unsur itu merupakan salah satu kesatuan yang tidak dipisahkan untuk menyampaikan pengetahuan, perasaan, dan emosi dari seseorang kepada orang lain. Jadi, kita tidak mungkin dapat memisahkan makna dari sintaksis karena sesungguhnya makna itu diwujudkan oleh sintaksis, dan sintaksis itu ada untuk mewujudkan makna. Sintaksis dan makna adalah dua buah wujud yang harus ada bersama-sama dalam komunikasi. 
Dalam perkembangan psikolinguistik ada beberapa teori mengenai proses pemerolehan semantik:
1.      Teori Hipotesis Fitur Semantik
Pada masa kanak-kanak dalam memperoleh makna suatu kata dengan cara menguasai fitur-fitur semantik kata itu satu demi satu sampai semua fitur semantik itu dikuasai, seperti yang dikuasai oleh orang dewasa.[43]
Asumsi-asumsi yang menjadi dasar hipotesis fitur-fitur semantik adalah:
a.      Fitur-fitur yang digunakan kanak-kanak dianggap sama dengan beberapa fitur makna yang digunakan oleh orang dewasa.
b.      Karena pengalaman kanak-kanak mengenai dunia ini dan mengenai bahasa masih sangat terbatas bila dibandingkan dengan pengalaman orang dewasa. Maka kanak-kanak hanya akan menggunakan dua atau tiga fitur makna saja untuk sebuah kata sebagai masukan leksikon.
c.      Karena pemilihan fitur-fitur yang berkaitan ini didasarkan pada pengalaman kanak-kanak sebelumnya, maka fitur-fitur ini pada umumnya didasarkan pada informasi persepsi atau pengamatan.
Akhirnya Clark (1977)  secara umum menyimpulkan perkembangan pemerolehan semantik ini kedalam 4 tahap yaitu berikut: [44]
a.       Tahap Penyempitan Makna Kata:
Tahap ini berlangsung antara umur satu sampai satu setengah tahun (1:0 – 1:6). Pada tahap ini kanak-kanak menganggap satu benda tertentu yang dicakup oleh satu makna menjadi nama dari benda itu. Jadi, yang disebut (meong) hanyalah kucing yang dipelihara di rumah saja. Begitu juga (guguk) hanyalah anjing yang ada dirumahnya saja. Tidak termasuk yang berada diluar rumah si anak.
b.      Tahap Generalisasi Berlebihan:
Tahap  ini berlangsung antara usia satu tahun setengah sampai dua tahun setengah (1:6 – 2:6). Pada tahap ini kanak-kanak mulai menggeneralisasikan makna suatu kata secara berlebihan. Jadi, yang dimaksud  dengan anjing atau guguk dan kucing atau meong adalah semua binatang yang berkaki empat, termasuk kambing dan kerbau.
c.       Tahap Medan Semantik:
Tahap ini berlangsung antara usia dua tahun setengah sampai usia lima tahun (2:6 – 5:0). Pada tahap ini kanak-kanak mulai mengelompokkan kata-kata yang digeneralisasikan secara berlebihan semakin sedikit setelah kata-kata baru untuk benda-benda yang termasuk dalam generalisasi ini dikuasai oleh kanak-kanak. Umpamanya, kalau pada mulanya kata anjing berlaku untuk semua binatang berkaki empat; namun, setelah mereka mengenal kata kuda, kambing, dan harimau, maka kata kuda hanya berlaku untuk kuda saja.
d.      Tahap Generalisasi:
Tahap ini berlangsung setelah kanak-kanak berusia lima tahun. Pada tahap ini kanak-kanak telah mulai mampu mengenal benda-benda yang sama dari sudut persepsi, bahwa benda-benda itu mempunyai fitur-fitur semantik yang sama. Pengenalan seperti ini semakin sempurna jika kanak-kanak itu semakin bertambah usianya. Jadi, ketika berusia antara lima tahun sampai tujuh tahun (5:0 – 7:0), misalnya, mereka mampu mengenal yang dimaksud dengan hewan yaitu semua mahluk yang termasuk hewan.[45]      
2.      Teori Hipotesis Hubungan-Hubungan Gramatikal
Teori hipotesis hubungan-hubungan gramatikal ini diperkenalkan oleh Mc.Neil (1970) menurutnya pada waktu dilahirkan kanak-kanak telah dilengkapi dengan hubungan-hubungan gramatikal dalam yang murni. Oleh karena itu, kanak-kanak pada awal proses pemerolehan bahasanya telah berusaha membentuk satu “kamus makna kalimat” (sentence-meaning dictionary), yaitu setiap butir leksikal dicantumkan dengan semua hubungan gramatikal yang digunakan secara lengkap pada tahap holofrasis. Pada tahap holofrasis ini kanak-kanak  belum mampu menguasai fitur-fitur semantik karena terlalu membebani ingatkan mereka. Jadi, pada awal pemerolehan semantik hubungan-hubungan gramatikal inilah yang paling penting karena telah tersedia secara nurani sejak lahir. Sedangkan  fitur-fitur semantik hanya perlu pada tahap lanjutan pemerolehan semantik ini.
Jika kanak-kanak telah mencapai tahap dua kata pada usia (+ 2: 0) mereka baru mulai menguasai kamus makna kata berdasarkan makna kata untuk menggantikan kamus makna kalimat yang telah dikuasai sebelumnya. Penyesuaian kamus makna kata ini merupakan perkembangan kosakata kanak-kanak yang dilakukan secara horizontal atau secara vertikal.[46]
3.      Teori Hipotesis Generalisasi
Teori hipotesis generalisasi ini diperkenalkan oleh Anglin (1975, 1977). Menurut Anglin perkembangan semantik kanak-kanak mengikuti suatu proses generalisasi, yakni kemampuan kanak-kanak melihat hubungan-hubungan semantik antara nama-nama benda (kata-kata) mulai dari yang konkret sampai pada yang abstrak. Pada tahap permulaan pemerolehan semantik ini kanak-kanak hanya mampu menyadari hubungan-hubungan konkret yang khusus di antara benda-benda itu. Bila usianya bertambah mereka membuat generalisasi terhadap katagori-katagori abstrak yang lebih besar. Umpamanya, pada awal perkembangan pemerolehan semantik kanak-kanak telah mengetahui kata-kata melati dan mawar melalui hubungan konkret antara kata itu dengan bunga-bunga tersebut. Pada tahun berikutnya setelah mereka semakin matang, mereka akan menggolongkan kata-kata ini dengan butir leksikal yang lebih tinggi kelasnya/super ordinatnya melalui generalisasi yaitu bunga.
Selanjutnya, setelah usia mereka semakin bertambah, maka merakapun akan memasukkan bunga ke dalam kelompok-kelompok yang lebih tinggi, yaitu tumbuh-tumbuhan.
4.      Teori Hipotesis Primitif-Primitif Universal
Teori ini mula-mula diperkenalkan oleh Postal (1966), lalu dikembangkan oleh Bierwish  (1970) dengan lebih terperinci. Menurut Postal semua bahasa yang ada di dunia ini dilandasi oleh satu perangkat primitif-primitif semantik universal (yang kira-kira sama dengan penanda-penanda semantik dan fitur-fitur semantik), dan rumus-rumus untuk menggabungkan primitif-primitif semantik ini dengan butir-butir leksikal. Sedangkan setiap primitif semantik itu mempunyai satu hubungan yang sudah ditetapkan sejak awal dengan dunia yang ditentukan oleh struktur biologi manusia itu sendiri.
Bierwisch (1970) menyatakan bahwa primitif-primitif semantik atau komponen-komponen semantik ini mewakili kategori-kategori atau prinsip-prinsip yang sudah ada sejak awal yang digunakan oleh manusia untuk menggolong-golongkan struktur benda-benda atau situasi-situasi yang diamati oleh manusia itu.  Bierwisch selanjutnya menjelaskan bahwa primitif-primitif semantik ini tidak mewakili ciri-ciri fisik luar dari benda-benda itu, tetapi mewakili keadaan-keadaan psikologi berdasarkan bagaimana manusia memproses keadaan sosial dengan fisiknya.[47]
Dalam pemerolehan makna kanak-kanak tidak perlu mempelajari komponen-komponen makna itu karena  komponen-komponen makna itu telah tersedia sejak lahir. Yang perlu dipelajari adalah hubungan- hubungan komponen ini dengan “milik-milik” fonologi dan sintaksis bahasanya. Ini berarti, bahwa manusia menafsirkan semua yang diamatinya berdasarkan primitif-primitif semantik yang telah tersedia sejak lahir. Dengan demikian, hipotesis primitif-primitif universal ini mau tidak mau harus menghubungkan perkembangan semantik kanak-kanak dengan perkembangan kognitif umum kanak-kanak itu.[48]

Teori Hipotesis Fitur Semantik
 Pemerolehan Semantik[49]        Teori Hipotesis Hubungan-Hubungan Gramatikal
                                                Teori Hipotesis Generalisasi
                                                Teori Hipotesis Primitif-Primitif Universal

Gambar 5: Pemerolehan Semantik









D.    KESIMPULAN
1.      Pengertian semantik dalam bahasa Indonesia (Inggris: semantics) berasal dari bahasa Yunani sema (kata benda) yang berarti “tanda” atau “lambang”. Kata kerjanya adalah semaino yang berarti “menandai” atau “melambangkan”.  Yang dimaksud dengan tanda atau lambang di sini sebagai padanan kata sema itu adalah tanda linguistik (Perancis: signe linguistique). Semantik secara istilah adalah cabang linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya, atau dengan kata lain, bidang studi dalam linguistik yang membahas arti atau makna. Adapun pengertian ilmu al-dalalah adalah ‘Ilm- ad-dalalah ini terdiri atas dua kata: ‘ilm yang berarti ilmu pengetahuan, dan al-dilalah yang berarti penunjukkan atau makna. Jadi, ‘ilm al-dilalah menurut bahasa adalah ilmu pengetahuan yang mengetahui tentang makna. Secara terminologis, ‘ilm- ad-dalalah sebagai salah satu cabang linguistik ‘ilm-al-lughoh yang telah berdiri sendiri adalah ilmu yang mempelajari tentang makna suatu bahasa, baik pada tataran makna mufrodat (kosa-kata) maupun pada makna dalam tataran tarokib (struktur atau gramatikal bahasa).
2.      Sejarah semantik dalam studi linguistik yaitu, sejarah semantik atau makna telah digunakan oleh Aristoteles, sebagai pemikir Yunani yang hidup pada masa (384-322 SM), adalah pemikir pertama yang menggunakan istilah “makna” lewat batasan pengertian kata yang menurut Aristoteles adalah satuan terkecil yang mengandung makna. Bahkan Plato pada masa (429-347 SM) dalam Cratylus mengungkapkan bahwa bunyi-bunyi bahasa itu secara implisit mengandung makna-makna tertentu. Pada tahun 1825, seorang berkebangsaan Jerman, C.Chr.Reisig, mengemukakan konsep baru tentang grammar yang menurutnya meliputi tiga unsur utama, yaitu; 1. semasiologi (ilmu tentang tanda), 2. sintaksis (studi tentang kalimat), 3. etimologi (studi tentang asal-asul kata sehubungan dengan perubahan bentuk maupun makna). Masa kedua pertumbuhan semantik telah ditandai oleh kehadiran karya Michel Breal (1883), seorang berkebangsaan Prancis lewat artikelnya berjudul “Les Lois Intellectuelles du Language”. Masa pertumbuhan ketiga pertumbuhan studi tentang makna ditandai dengan pemunculan karya filolog Swedia, yakni Gustaf Stern, berjudul Meaning and Change of Meaning, with Special Refrence to the English Language (1931). Beberapa puluh tahun sebelum kehadiran karya Stern itu, di Jawena telah diterbitkan kumpulan bahan kuliah seorang pengajar bahasa yang sangat menentukan arah perkembangan linguistik berikutnya, yakni buku Cours de Linguistique Generale (1916), karya Ferdinand de Saussure.
3.      Objek studi semantik, yaitu makna dalam keseluruhan sistematika bahasa. Yang menjadi objek studi semantik adalah makna bahasa. Lebih tepat lagi, makna dari satuan-satuan bahasa seperti kata, frase, klausa, kalimat, dan wacana. Dengan berbagai komponen dan tatarannya Komponen bahasa adalah leksikon atau kosa kata dari bahasa tersebut; sedangkan tataran bahasa adalah fonologi dan gramatika atau bahasa yang mencakup tataran morfologi dan sintaksis. Adapun ruang lingkup semantik adalah  semantik leksikal, semantik gramatikal, semantik kalimat, dan sebagainya.  Sedangkan  manfaat studi semantik adalah sangat tergantung dari bidang apa yang kita geluti dalam tugas sehari-hari, seperti; wartawan, guru bahasa, peneliti bahasa dan lain sebagainya. Adapun tujuan pokok dalam penelitian semantik adalah agar pendengar memahami dengan baik makna yang di maksud dari perkataan atau pembicaraan lawan bicara atau ungkapan-ungkapan yang dibacanya.
4.      Dalam mengakaji pemerolehan bahasa dimulai dari komponen semantik. Kemudian baru dilanjutkan dengan kajian pemerolehan sintaksis, dan kajian pemerolehan fonologi. Melalui beberapa tahap dan beberapa teori dalam proses pemerolehan semantik, sehingga ilmu semantik merupakan kerja ilmiah yang mendasarkan pendekatannya pada proses yang lebih dari sekedar penentuan hasil.


DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin, Semantik; Pengantar Studi Tentang Makna, Malang: Sinar Baru Algensindo, 2003
Chaer, Abdul, Linguistik Umum; Edisi Baru, Jakarta: Rineka Cipta 2007
Chaer, Abdul, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia; Edisi Revisi, Jakarta: Rineka Cipta, 2002
Chaer, Abdul, Psikolinguistik; Kajian Teoritik, Jakarta: Rineka Cipta, 2003
Idris, Mardjoko, Semantik al-Qur’an; Pertentangan dan Perbedaan Makna, Yogyakarta: Teras, 2008
Parera, J.D., Teori Semantik; Edisi Kedua, Jakarta: Erlangga, 2004
Pei, Mario, Asas ‘ilm al-Lughoh, Kairo: Alam al-Kutub, 1994
Soeparno, Dasar-Dasar Linguistik Umum, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002
Suwandi, Sarwiji, Semantik; Pengantar Kajian Makna, Yogyakarta: Media Perkasa, 2008
Suwandi, Sarwiji, Serbalinguistik; Mengupas Pelbagai Praktik Berbahasa, Surakarta: SebelasMaret University Press, 2002
Tarigan, Henry Guntur, Pengajaran Semantik, Bandung: Angkasa, 2009
Tarigan, Henry Guntur, Psikolinguistik, Bandung: Angkasa, 1976
Tajuddin, Shafruddin, Ilmu Dalalah; Sebuah Pengantar Kajian Semantik Arab, Jakarta: Maninjau, 2008
Verhaar, J.W.M., Asas-Asas Linguistik Umum, Yogyakarta: UGM, 2008









* Makalah ini dipresentasikan pada matakuliah  Semantik yang di ampu oleh Bpk. Prof. Dr. Sugeng Sugiyono
* Salahsatu  mahasiswa alumni STAI Mathali’ul Falah Pati dan kini melanjutkan study Program Pasca Sarjana S2 semester pertama, Jurusan Pendidikan Islam (PI) Program Studi Pendidikan Bahasa Arab di Universitas Islam Negri (UIN) Sunan Kalijaga, 2013.
[1] Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia; Edisi Revisi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm. 1
[2]  Sarwiji Suwandi, Serbalinguistik; Mengupas Pelbagai Praktik Berbahasa, (Surakarta: SebelasMaret University Press, 2002), hlm. 57
[3] Ibid, hlm. 57
[4] Ibid, hlm. 57
[5]  J.W.M. Verhaar, Asas-Asas Linguistik Umum, (Yogyakarta: UGM, 2008), hlm. 13
[6] Abdul Chaer, Linguistik Umum; Edisi Baru, (Jakarta: Rineka Cipta 2007), hlm. 284-296
[7] Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Semantik, (Bandung: Angkasa, 2009), hlm. 12

[8] Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia; Edisi Revisi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm. 2
[9] J.W.M. Verhaar, Asas-Asas Linguistik Umum, ...........................hlm.13
[10] Fonologi adalah subdisiplin linguistik yang mempelajari bunyi bahasa secara umum, baik yang mempelajari bunyi bahasa yang tanpa menghiraukan arti maupun tidak. Ilmu bahasa yang mempelajari bunyi bahasa tanpa menghiraukan arti disebut fonetik, sedangkan ilmu bahasa yang mempelajari bunyi bahasa yang membedakan arti disebut fonemik. Lihat, Soeparno, Dasar-Dasar Linguistik Umum, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), hlm. 79
[11] Gramatika adalah kajian linguistik yang objek kajiaannya dari morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, alinea, dialog, monolog, percakapan dan wacana. Lihat, Soeparno........hlm.91
[12] Semantik diartikan sebagai ilmu bahasa yang mempelajari makna. Yakni mempelajari makna yang terkandung dalam suatu lafal kata serta kolerasi yang meliputi sebuah makna itu sendiri. Maksudnya hubungan dalam hal padanan makna (sinonim), lawan makna (antonim), banyaknya makna, serta yang meliputi baik dalam tataran fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik itu sendiri. Karena mengingat, makna itu pada hakikatnya itu umum dan bisa menyentuh semuanya. Lihat, Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia; Edisi Revisi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm.2
[13] Abdul Chaer Pengantar Semantik Bahasa Indonesia; Edisi Revisi,......................hlm.3
[14] Mario Pei, Asas ‘ilm al-Lughoh, (Kairo: Alam al-Kutub, 1994), hlm. 55
[14] Ibid, hlm. 55
[15] Di kalangan bangsa Arab ada yang menggunakan istilah ilmu dalalah, ada juga yang menggunakan istilah dalalat al-alfaz atau ilmu al-ma’na (bukan ilmu al-ma’ani). Tetapi tampaknya yang pertama lebih sering digunakan. Di samping ilmu dalalah ada juga ilmu ar-rumuz (semiotik) yang mempelajari tanda secara umum, baik terkait dengan bahasa atau non bahasa. Sementara ilmu dalalah (semantik) mengkaji masalah tanda dalam bahasa saja. Dalam sistem semiotik, bahasa dibedakan ke dalam tiga komponen, yaitu: 1) Sintaksis, terkait dengan lambang dan bentuk hubungan; 2) Semantik, terkait dengan hubungan antar lambang dan dunia luar yang diacunya; 3) Pragmatik, terkait dengan hubungan antara pemakai bahasa dengan lambang dalam pemakaiannya.
[16] Mario Pei, Asas ‘ilm al-Lughoh, (Kairo: Alam al-Kutub, 1994), hlm. 55
[17] Ibid, hlm. 55
[18] Ibid, hlm. 55
[19] Shafruddin Tajuddin, Ilmu Dalalah; Sebuah Pengantar Kajian Semantik Arab, (Jakarta: Maninjau, 2008), hlm. 2

[20]  Mario Pei, Asas ‘ilm al-Lughoh, (Kairo: Alam al-Kutub, 1994), hlm. 55-58
[21] Aminuddin, Semantik; Pengantar Studi Tentang Makna, (Malang: Sinar Baru Algensindo, 2003), hlm. 15-16
[22] Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia; Edisi Revisi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm. 13
[23] Aminuddin, Semantik; Pengantar Studi Tentang Makna,......................., hlm. 16
[24] Ibid,  hlm. 16
[25] Aminuddin, Semantik; Pengantar Studi Tentang Makna,.................................hlm. 16-17
[26] Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia; Edisi Revisi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm. 6
[27] Fonologi (Inggris: phonology; Amerika: phonemics) merupakan bidang dalam linguistik yang menyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut fungsinya.
[28] Suatu studi semantik yang objek penelitiannya berupa morfologi dan sintaksis termasuk semantik gramatikal. Dengan demikian, makna-makna yang terdapat dalam tataran gramatikal ini disebut makna gramatikal.
[29] Morfologi adalah bidang linguistik yang mempelajari morfem serta kombinasinya dan bagian dari struktur bahasa yang mencakup kata dan bagian-bagian-bagian kata
[30] Sintaksis adalah cabang linguistik yang meneliti kalimat serta proses pembentukannya.
[31] Sarwiji Suwandi, Serbalinguistik; Mengupas Pelbagai Praktik Berbahasa, (Surakarta: Sebelas Maret University Press, 2002), hlm. 16
[32] Ibid, hlm. 15
[33] Fonetik membicarakan bunyi (fon) tanpa memperhatikan fungsi bunyi itu sebagai pembeda makna. Oleh karena itu, pada subtataran ini tidak ada semantik.
[34] Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia; Edisi Revisi,............hlm. 7-8
[35] Semantik leksikal objeknya berupa leksikon atau kosa kata bahasa tersebut. Dalam semantik leksikal dibicarakan makna leksem-leksem (satuan-satuan) bahasa yang bermakna. Makna leksikal adalah makna unsur-unsur bahasa sebagai lambang benda, peristiwa, dan lain-lain. Makna leksikal dipunyai unsur-unsur bahasa lepas dari penggunaanya atau konteksnya. Lihat Sarwiji Suwandi, hlm. 16
[36] Pengetahuan semantik akan memudahkannya dalam memilih dan menggunakan kata dengan makna yang tepat dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat umum. Tanpa pengetahuan akan konsep-konsep polisemi, homonimi, denotasi, konotasi, dan nuansa-nuansa makna tentu akan sulit bagi mereka untuk dapat menyampaikan informasi secara tepat dan benar. Lihat dalam bukunya, Sarwiji Suwandi, Serbalinguistik; Mengupas Pelbagai Praktik Berbahasa,.........hlm. 12
[37] Manfaat teoritis bagi guru yaitu sebagai guru bahasa harus pula mempelajari dengan sungguh-sungguh akan bahasa yang diajarkannya. Adapun manfaat praktis akan diperolehnya berupa kemudahan bagi dirinya dalam mengajarkan bahasa itu kepada murid-muridnya. Seorang guru bahasa, selain harus memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang luas mengenai segala aspek bahasa, juga harus memiliki pengetahuan teori semantik secara memadai. Tanpa pengetahuan ini dia tidak akan dapat dengan tepat menjelaskan perbedaan dan persamaan semantis antara dua bentuk buah kata, serta bagaimana menggunakan kedua bentuk kata yang mirip itu dengan benar. Lihat, Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia; Edisi Revisi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm. 12 
[38] Ibid. hlm.12
[39] J.D. Parera, Teori Semantik; Edisi Kedua, (Jakarta: Erlangga, 2004), hlm. 9
[40] Sarwiji Suwandi, Serbalinguistik; Mengupas Pelbagai Praktik Berbahasa,...................hlm. 34-36
[41] Abdul Chaer, Psikolinguistik; Kajian Teoritik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hlm 194
[42] Ibid, hlm. 195
[43] Ibid, hlm. 196
[44] Ibid, hlm. 197
[45] Ibid, hlm. 197
[46] Secara horizontal artinya pada mulanya kanak-kanak hanya memasukkan beberapa fitur semantik untuk setiap butir leksikal kedalam kamusnya. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya barulah terjadi penambahan fitur-fitur lainnya secara berangsur-angsur. Secara vertikal, artinya kanak-kanak secara serentak memasukkan semua fitur semantik sebuah kata kedalam kamusnya; tetapi kata-kata itu terpisah satu sama lain. Secara vertikal ini berarti fitur-fitur semantik orang dewasa. Tentu saja, seperti kata simanjutak (1987), hal ini tidak mungkin. Yang lebih mungkin terjadi adalah secara horizontal. Lihat, Abdul Chaer, Psikolinguistik; Kajian Teoritik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hlm. 198

[47] Abdul Chaer, Psikolinguistik; Kajian Teoritik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hlm. 199
[48] Ibid. hlm. 199
[49] Ibid, hlm. 194-199

Tidak ada komentar:

Posting Komentar