Jumat, 13 Desember 2013

al-Qur'an dan Akhlak



 Al-Qur’an dan Akhlak[1]
Sinta, S.Pd.I  dan Etey Qomariah, S.Pd.I

ABSTRAK
Al-Qur’an merupakan sumber utama dalam agama Islam. Allah SWT telah memerintahkan baginda nabi agung Muhammad SAW untuk hadir dimuka bumi ini hanya untuk menyempurnakan akhlak umat manusia di fungsikan sebagai “khalifah fi al-ard” . Sehingga al-Qur’an dijadikan sebagai pedoman hidup bagi seluruh umat manusia. Pendidikan Akhlak merupakan bagian penting dalam pembinaan kepribadian dan moral bangsa. Akhlak tidak bisa terpisahkan dari ajaran Islam, namun dalam pelaksanaannya pendidikan akhlak merupakan tugas penting orang tua dan guru dalam membimbing anak atau siswa, untuk memiliki kemampuan dan pemahaman, sikap dan ketrampilan dalam berprilaku sebagai manusia yang berakhlak mulia. Untuk itu orang tua dan guru harus memahami karakter setiap anak dan berusaha meningkatkan kemampuannya untuk mengantarkan mereka dalam berprilaku sesuai dengan prinsip-prinsip akhlak mulia yang telah dijelaskan di dalam al-Qur’an dan hadis.

Kata Kunci: Al-Qur’an dan Akhlak

  I.            PENDAHULUAN
Kemajuan ilmu-pengetahuan dan teknologi yang dialami oleh manusia saat ini, tidak sedikit dampak negatifnya terhadap sikap hidup dan prilakunya; baik ia sebagai manusia yang beragama, maupun sebagai mahluk individual dan sosial. Dampak negatif yang paling berbahaya terhadap kehidupan manusia atas kemajuan yang dialaminya, ditandai dengan adanya kecenderungan menganggap bahwa satu-satunya yang dapat membahagiakan hidupnya adalah nilai materiil, sehingga manusia terlampau mengejar materi, tanpa menghiraukan nilai-nilai spiritual yang sebenarnya berfungsi untuk memelihara dan mengendalikan akhlak manusia.
Yusuf Qardhawi telah menyebutkan bahwa paling tidak, ada tiga macam terhadap akhlak manusia dalam kehidupan modern dewasa ini, diantaranya; 1) sikap individualisme (ananiyyah); yang merupakan faham bertitik tolak dari sikap egoisme, mementingkan dirinya sendiri, sehingga mengorbankan orang lain demi kepentingannya sendiri, 2) sikap matrealistik (madiyyah); lahir sebagai akibat kecintaan pada kehidupan duniawi yang berlebih-lebihan, 3) pragmatis (naf’iyyah)artinya menilai sesuatu hanya berdasarkan aspek kegunaan semata.[2] Ketiga ancaman terhadap akhlak mulia ini hanya dapat diatasi manakala manusia memiliki landasan akidah akhlak yang kuat.
Manusia yang bisa dipastikan kehilangan dan salah arah bila nilai-nilai spiritual ditinggalkan, sehingga mudah terjerumus ke berbagai penyelewengan dan kerusakan akhlak, misalnya; melakukan perampasan hak-hak orang lain, penyelewengan seksual, pembunuhan, dan lain sebagainya. Mengejar nilai-nilai materi saja, tidak bisa dijadikan sarana untuk mencapai kebahagiaan hakiki, bahkan hanya menimbulkan bencana yang hebat, karena orientasi hidup manusia semakin tidak memperdulikan kepentingan orang lain, asalkan materi yang dikejar-kejarnya dapat dikuasainya, akhirnya menimbulkan persaingan hidup yang tidak sehat; menyebabkan sikap tamak (rakus), stres, dan lain sebagainya. Semua hal negatif tersebut berujuang pada hilangnya karakter bangsa.[3]
Kehancuran manusia yang dihadapi oleh Islam sejak lahirnya, sama keadaannya dengan kehancuran akhlaq bangsa Romawi dan Persia, yang terkenal dengan ketinggian kebudayaannya. Lalu dapat lagi dijadikan tolak ukur bahwa ketinggian kebudayaan tidak memberi jaminan untuk melakukan perbuatan yang manusiawi, kecuali kalau manusia itu tetap melakukan petunjuk agamanya.
Agama Islam tidak melarang manusia memiliki kemajuan disegala bidang kehidupan bahkan mewajibkan, sebagai sarana untuk meningkatkan taraf hidupnya. Hanya dilarang dalam agama, bila kemajuan itu, digunakan untuk menghancurkan aqidah Islamiyah dan mendatangkan bencana kehidupan makhluk dibumi ini. Nilai-nilai spiritual yang dimaksudkan dalam Islam adalah ajaran agama bersumber pada al-Qur’an dan hadis yang berwujud pada perintah, larangan, dan anjuran, yang kesemuanya berfungsi untuk membina kepribadian manusia dalam kaitannya sebagai hamba Allah serta khalifah fi al-ardl.
Menghadapi kebobrokan ahlaq di bumi ini tentu strategi mengatasinya harus menggunakan cara dan sarana modern. Tentu saja normanya tetap berdasarkan ajaran agama sesuai al-Qur’an dan hadis, sedangkan teknik pendidikan dan penanggulangnnya harus disesuaikan dengan bentuk penyimpangan (keburukan akhlak) yang dihadapinya. 

II.            RUMUSAN MASALAH
1.      Apa yang di maksud akhlak?
2.      Apa yang di maksud akhlak terpuji dan akhlak tercela dalam al-Qur’an?
3.      Bagaimana strategi pendidikan akhlak?

III.            PEMBAHASAN
Peta konsep dalam pembahasan makalah ini tentang akhlak adalah sebagai berikut:
Description: C:\Users\EMACHINES\Pictures\Untitled.png

A.           PENGERTIAN AKHLAK
1.      Definisi Akhlak; Etimologi dan Terminologi
a.       Akhlak Aspek Etimologi
Menurut pendekatan etimologi, perkataan “akhlaq” berasal dari bahasa Arab yang sudah di-Indonesiakan.[4] Kata akhlaq adalah jama’ dari bentuk mufradnya “khuluqun” ( خُلُقٌ ) yang menurut istilah diartikan: budi pekerti, perangai, kesopanan, tingkah laku, tabiat, watak (karakter), kesusilaan (kesadaran etik dan moral).[5] Kalimat tersebut mengandung segi-segi persesuain dengan perkataan “khalqun” ( خَلْقٌ ) yang berarti kejadian, serta erat hubungan “khaliq” ( خَالِقٌ )yang berarti Pencipta dan “makhluk” (مَخْلُوْقٌ) yang berarti yang diciptakan.[6] Di dalam Da’iratul Ma’arif dikatakan:
اَلأَخْلاَقُ هِىَ صِفَاتُ الاِنْسَانِ الأَدَبِيَّةُ
(Akhlak ialah sifat-sifat manusia yang terdidik)[7]
Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa akhlak adalah sifat-sifat yang dibawa manusia sejak lahir yang tertanam dalam jiwanya dan selalu ada padanya. Sifat itu dapat lahir berupa perbuatan baik yang disebut akhlak yang mulia atau terpuji, ataupun perbuatan buruk yang disebut akhlak tercela sesuai pembinaannya.
Akhlak disamakan dengan kesusilaan, sopan santun. khuluq merupakan gambaran sifat batin manusia, gambaran bentuk lahiriah manusia, seperti raut wajah, gerak anggota badan dan seluruh tubuh. Dalam bahasa Yunani pengertian khuluq ini disamakan dengan kata ethicos atau ethos, artinya adab kebiasaan, perasaan batin, kecenderungan hati untuk melakukan perbuatan. Ethicos kemudian berubah menjadi etika.[8]


b.      Pengertian Akhlak Aspek Terminologi
Berikut ini akan dibahas definisi “akhlak” menurut aspek terminologi. Para ahli berbeda pendapat, namun intinya sama yaitu tentang perilaku manusia. Pendapat-pendapat tersebut dihimpun sebagai berikut:
1)        Abdul Hamid mengatakan akhlak ialah ilmu tentang keutamaan yang harus dilakukan dengan cara mengikutinya sehingga jiwanya terisi dengan kebaikan, dan tentang keburukan yang harus dihindarinya sehingga jiwanya kosong (bersih) dari segala bentuk keburukan.
2)        Ibrahim Anis mengatakan akhlak ialah ilmu yang obyeknya membahas nilai-nilai yang berkaitan dengan perbuatan manusia, dapat disifatkan dengan baik dan buruknya.
3)        Prof.Dr. Ahmad Amin
عرف بعضهم الخلق بأنه عادة الإرادة يعنى أن الإدارة إذا اعتادت شيئا فعادتها هي المسماة بالخلق.
Artinya; (Sementara orang mengetahui bahwa yang disebut akhlak ialah kehendak yang dibiasakan. Artinya, kehendak itu bila membiasakan sesuatu, kebiasaan itu dinamakan akhlak)
Ini berarti bahwa kehendak itu bila dibiasakan akan sesuatu maka kebiasaannya itu disebut akhlak. Contohnya bila kehendak itu dibiasakan memberi, maka kebiasaan itu ialah akhlak dermawan.
4)        Ibn Miskawih
حال للنفس داعية لها إلى أفعالها من غير فكر وروية.
Artinya; (Keaadaan jiwa seseorang yang mendorongnya yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan pikiran (lebih dulu).
5)        Imam Al-Ghazali mengatakan akhlak ialah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
6)        Farid Ma’ruf mendefinisikan akhlak sebagai kehendak jiwa manusia yang menimbulkan perbuatan dengan mudah karena kebiasaan, tanpa memerlukan pertimbangan pikiran terlebih dahulu.
7)        Soegarda Poerbakawatja mengatakan akhlak ialah budi pekerti, watak, kesusilaan, dan kelakuan baik yang merupakan akibat dari sikap jiwa yang benar terhadap khaliknya dan terhadap sesama manusia.
Jadi, pada hakikatnya khuluq (budi pekerti) atau akhlak ialah suatu kondisi atau sifat yang telah meresap dalam jiwa dan menjadi kepribadian. Dari sini timbul-lah berbagai macam perbuatan dengan cara spontan tanpa dibuat-buat dan tanpa memerlukan pikiran.
Sifat spontanitas dari akhlaq tersebut dapat diilustrasikan dalam contoh berikut ini. Bila seseorang menyumbang dalam jumlah besar untuk pembangunan masjid setelah mendapat dorongan dari seorang da’i (yang mengemukakan ayat-ayat dan hadits-hadits tentang keutamaan membangun masjid di dunia), maka orang tadi belum bisa dikatakan mempunyai sifat pemurah, karena kepemurahannya waktu itu lahir setelah mendapat dorongan dari luar, dan belum tentu muncul lagi pada kesempatan yang lain. Boleh jadi, tanpa dorongan seperti itu, dia tidak akan menyumbang, atau kalaupun menyumbang hanya dalam jumlah sedikit. Tapi manakala tidak ada doronganpun dia tetap menyumbang, kapan dan di mana saja, barulah bisa dikatakan dia mempunyai sifat pemurah.[9]
Dapat dirumuskan bahwa akhlak ialah ilmu yang mengajarkan manusia berbuat baik dan mencegah perbuatan jahat dalam pergaulannya dengan Tuhan, manusia, dan makhluk sekelilingnya.[10]
Di samping istilah akhlak, juga dikenal istilah etika dan moral. Ketiga istilah itu sama-sama menentukan nilai baik dan buruk sikap dan perbuatan manusia. Perbedaannya terletak pada standar masing-masing. Bagi akhlaq standarnya adalah al-Qur’an dan Sunnah; bagi etika standarnya pertimbangan akal dan pikiran; dan bagi moral standarnya adat kebiasaan yang umum berlaku di masyarakat.[11]
Etika ialah suatu ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang dapat dinilai baik dan mana yang jelek dengan memperlihatkan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat dicerna akal pikiran. Moral menurut Hamzah Ya’qub, secara detail dalam Ensiklopedi Pendidikan disebutkan bahwa moral adalah nilai dasar dalam masyarakat untuk memilih antara nilai hidup (moral) juga adat istiadat yang menjadi dasar untuk menunjukan baik dan buruk. Maka untuk mengukur tingkah laku manusia (baik dan buruk) dapat dilihat dari penyesuaiannya dengan adat istiadat yang umum diterima masyarakat, yang meliputi kesatuan sosial atau lingkungan tertentu. Karena itu dapat dikatakan, baik atau buruk yang diberikan secara moral hanya bersifat lokal. Inilah yang membedakan antara etika dan moral. Perbedaan lain antara etika dan moral adalah etika lebih banyak bersifat teoritis, sedang moral lebih banyak bersifat praktis, etika memandang tingkah laku manusia secara universal (umum), sedangkan moral secara lokal, etika menjelaskan ukuran yang dipakai, moral merealisasikan ukuran itu dalam perbuatan.



2.      Dasar-Dasar Akhlak
a.       Dasar Akhlak di dalam Al-Qur’an, di antaranya;
اقرأ باسم ربك الذي خلق. خلق الإنسان من علق. اقرأ وربك الأكرم. الذي علم بالقلم. علم الإنسان مالم يعلم (العلق:5-1)
Artinya: " Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan; Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah; bacalah dan Tuhanmulah yang Mahamulia; yang mengajar (manusia) dengan pena; Dia mengajarkan manusia apa yang diketahuinya”, (Q.S. al-‘Alaq; 1-5)
      Dengan ayat-ayat di atas, dapat diambil suatu pemahaman bahwa kata “khalaq”, artinya telah berbuat, telah menciptakan atau telah mengambil keputusan untuk bertindak. Secara terminologis, akhlak adalah tindakan (kreativitas) yang tercermin pada akhlak Allah SWT, yang salah satunya dinyatakan sebagai pencipta manusia segumpal darah; Allah SWT, sebagai sumber pengetahuan yanng melahirkan kecerdasan manusia, pembebasan dari kebodohan serta peletak dasar yang paling utama dalam pendidikan.[12]
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
Artinya: “Sesungguhnya engkau (Muhammad) adalah orang yang berakhlak sangat mulia.” (QS. Al-Qalam:4).[13]
Pujian Allah ini bersifat individual dan khusus hanya diberikan kepada Nabi Muhammad S.A.W karena kemuliaan akhlaknya. Penggunaan istilah “khulukun ‘adzhim” menunjukkan keagungan dan keanggunan moralitas Rasul, yang dalam hal ini adalah Muhammad S.A.W. Banyak Nabi dan Rasul yang disebut-sebut dalam al-Qur’an, Tetapi hanya Muhammad S.A.W yang mendapatkan pujian sedahsyat itu. Dengan lebih tegas Allah-pun memberikan penjelasan secara transparan bahwa akhlak Rasulullah sangat layak untuk dijadikan standar modal bagi umatnya, sehingga layak untuk dijadikan idola yang teladani sebagai “Uswah Hasanah”, melalui firman-Nya:
لقد كان لكم فى رسول الله اسوة حسنة لمن كان يرجواالله واليوم الاخر وذكر الله كثيرا (الأحزاب:21)
Artinya: “Sungguh telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik  bagimu yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah (Q.S. al-Ahzab [33]: 21. [14]
b.      Dasar Akhlak di dalam al-Hadits
Dalam ayat al-Qur’an telah diberikan penegasan bahwa Rasulullah S.A.W merupakan contoh yang layak ditiru dalam segala sisi kehidupannya. Disamping itu, ayat tersebut juga mengisyaratkan bahwa tidak ada satu “sisi-gelap” pun yang ada pada diri Rasulullah S.A.W, karena semua isi kehidupannya dapat ditiru dan diteladani. Ayat diatas juga mengisyaratkan bahwa Rasulullah S.A.W sengaja diproyeksikan oleh Allah untuk menjadi “lokomotif” akhlak umat manusia secara universal, karena Rasulullah S.A.W diutus sebagai “Rahmatan lil ‘Alamin”. Hal ini didukung pula dengan hadits yang berbunyi:
إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:
Artinya:Bersabda Rasullullah S.A.W; Bahwasannya aku diutus (sebagai Rasul) untuk menyempurnakan akhlak  mulia” (H.R.al-Bukhory; bersumber dari Abi Hurairah, r.a)
Hadis tersebut menunjukkan bahwa karena akhlak menempati posisi kunci dalam kehidupan umat manusia, maka substansi misi Rasulullah S.A.W itu sendiri adalah untuk menyempurnakan akhlak seluruh umat manusia agar dapat mencapai akhlak yang mulia.[15] Akhlak mulia selalu melengkapi sendi keimanan untuk menuju kepada kesempurnaan kepribadian manusia sebagimana keterangan hadis yang berbunyi:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: اكمل المؤمين ايمنا احسنهم خلقا....(رواه الترميذي عن ابي هريرة)
 Artinya:Bersabda Rasullullah S.A.W; Paling sempurna keimanan orang-orang mu’min (kalau) akhlaknya lebih baik…. (H.R.al-Bukhory; bersumber dari Abi Hurairah, r.a)
Kemudian terhadap pengalaman syari’ah, akhlak baik juga sangat berperan untuk melengkapinya, sebagaimana yang telah diterangkan Rasulullah SAW mengatakan bahwa agama itu ber-intikan akhlak mulia. Keterangan ini diucapkannya ketika menjawab pertanyaan seseorang yang mengatakan:
ماالدين يا رسول الله ؟ فقال: حسن الخلق
)Apa sebenarnya inti agama itu wahai Rasulullah? Nabi menjawab; intinya adalah akhlaq yang baik). Kemudian berturut-turut datang dua orang dari sisi kanan dan belakang beliau, dengan masing-masing menanyakan hal seperti itu. Maka Nabi menjawab satu persatu dengan mengatakan; “inti agama itu adalah akhlaq yang mulia”.
Yang menjadi persoalan di sini adalah bagaimana substansi akhlak Rasulullah S.A.W itu. Dalam hal ini, para sahabat pernah bertanya kepada isteri Rasulullah S.A.W, yakni Aisyah r.a. yang dipandang lebih mengetahui akhlak rasul dalam kehidupan sehari-hari, maka Aisyah menjawab:
كان خلقه القران
Artinya: “Substansi akhlak Rasulullah S.A.W itu adalah al-Qur’an”.
Dari jawaban singkat tersebut diketahui bahwa akhlak Rasulullah S.A.W yang tercermin lewat semua tindakan, ketentuan, atau perkataannya senantiasa selaras dengan al-Qur’an, dan benar-benar merupakan praktek riil dari kandungan al-Qur’an. Semua perintah dilaksanakan, semua larangan dijauhi, dan semua isi al-Qur'an didalaminya untuk dilaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari.[16]
3.      Tujuan Akhlak
Pada dasarnya tujuan pokok akhlak adalah agar setiap muslim berbudi pekerti, bertingkah laku, berkarakter, atau beradat istiadat yang baik sesuai dengan ajaran agama. Di samping itu, setiap muslim yang berakhlak baik dapat memperoleh hal-hal berikut; 1) Ridha Allah SWT, 2) Kepribadian Muslim, 3) perbuatan yang mulia dan terhindar dari perbuatan tercela. Tujuan Akhlak adalah mencapai kebahagiaan hidup umat manusia di dunia ataupun akhirat. Jika seseorang dapat menjaga kualitas mu’amalah ma’allah dan mu’amalah ma’annas akan mendapatkan ridlo-Nya. Orang yang mendapat ridlo Allah niscaya akan memperoleh jaminan kebahagiaan hidup baik duniawi maupun ukhrawi.
4.      Ruang Lingkup Akhlak
Dalam membahas persoalan ruang lingkup akhlak, Kahar Masyhur menyebutkan bahwa ruang lingkup akhlak meliputi bagaimana seharusnya seseorang bersikap terhadap penciptaannya, terhadap sesama manusia seperti dirinya sendiri, terhadap keluarganya, serta terhadap masyarakatnya. Disamping itu juga meliputi bagaimana seharusnya bersikap terhadap makhluk lain seperti terhadap malaikat, jin, iblis, hewan, dan tumbuh-tumbuhan.
Ahmad Azhar Basyir menyebutkan cakupan akhlak meliputi semua aspek kehidupan manusia sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk individu, makhluk sosial, makhluk penghuni, dan yang memperoleh bahan kehidupannya dari alam, serta sebagai makhluk ciptaan Allah. Dengan kata lain, akhlak meliputi; akhlak pribadi, akhlak keluarga, akhlak sosial, akhlak politik, akhlak jabatan, akhlak terhadap Allah dan akhlak terhadap alam.
5.      Urgensi Akhlak
Urgensi akhlak semakin terasa jika dikaitkan dengan maraknya aksi perampokan, penjambretan, korupsi, dan berbagai upaya untuk cepat kaya tanpa kerja keras. Untuk mengatasi semua kenyataan tersebut tidak cukup hanya dilakukan tindakan represif melalui penanaman “akhlakul karimah”. Tanpa upaya prefentif, segala bentuk upaya represif tidak akan mampu menyelesaikan masalah, karena semua pelaku kejahatan selalu patah tumbuh hilang berganti.[17]
6.      Karakteristik Akhlak dalam Ajaran Islam
Islam memiliki dasar-dasar konseptual tentang akhlak yang komprehensif dan menjadi karakteristik yang khas.[18] Di antara karakteristik tersebut adalah:[19]
a.       Akhlak meliputi hal-hal yang bersifat umum dan terperinci.
Di dalam Al-Qur’an ada ajaran akhlak yang dijelaskan secara umum, tetapi ada juga yang diterangkan secara mendetail. Sebagai contoh, ayat yang menjelaskan masalah akhlak, secara umum adalah Q.S. An-Nahl (16):90 yang menyuruh perintah untuk berakhlak secara umum: Untuk berbuat adil, berbuat kebaikan, melarang perbuatan keji, mungkar, dan permusuhan. Sedangkan contoh ayat yang menjelaskan masalah akhlak secara terperinci adalah Q.S. Al-Hujurat (49):12 yang menunjukkan; larangan untuk saling mencela, serta memanggil dengan gelar yang buruk.
b.      Akhlak bersifat menyeluruh.
Dalam konsep Islam, akhlak meliputi seluruh kehidupan muslim, baik beribadah secara khusus kepada Allah maupun dalam hubungannya dengan sesama makhluk seperti akhlak dalam mengelola sumber daya alam, menata ekonomi, menata politik, kehidupan bernegara, kehidupan berkeluarga, dan bermasyarakat.
c.       Akhlak sebagai buah iman
Akhlak memiliki karakter dasar yang berkaitan erat dengan masalah keimanan. Jika iman dapat diibaratkan akar sebuah pohon, sedangkan ibadah merupakan batang, ranting dan daunnya, maka akhlak adalah buahnya. Iman yang kuat akan termanifestasikan oleh ibadah yang teratur dan membuahkan akhlak yang mulia “akhlakul karimah. Lemahnya iman dapat terdeteksi melalui indikator tidak teftibnya ibadah dan sulit membuahkan akhlakul karimah.
d.      Akhlak menjaga konsistensi dengan tujuan
Akhlak tidak membenarkan cara-cara mencapai tujuan yang bertentangan dengan syariat sekalipun dengan maksud untuk mencapai tujuan yang baik. Hal tersebut dipandang bertentangan dengan prinsip-prinsip ahklakul karimah yang senantiasa menjaga konsistensi cara mencapai tujuan tertentu dengan tujuan itu tersendiri.

B.       AKHLAK TERPUJI dan AKHLAK TERCELA dalam al-QUR’AN
1.      Akhlak Terpuji (akhlak al-Mahmudah);
Menurut Al-Ghazali, berakhlak mulia atau terpuji artinya “menghilangkan semua adat kebiasaan yang tercela yang sudah digariskan dalam agama Islam serta menjauhkan diri dari perbuatan tercela tersebut, kemudian membiasakan adat kebiasaan yang baik, melakukannya dan mencintainya”.[20]
Sesuatu yang dapat dikatakan baik apabila ia memberikan kesenangan, kepuasan, kenikmatan, sesuai dengan yang diharapkan, dapat dinilai positif oleh orang yang menginginkannya. Baik disebut juga mustahab, yaitu amal atau perbuatan yang disenangi. Perbuatan baik merupakan “Akhlaq al-Karimah” yang wajib dikerjakan.[21] Akhlaq al-Karimah berarti tingkah laku yang terpuji yang merupakan tanda kesempurnaan seseorang kepada Allah yang terlahir dari sifat-sifat terpuji. Adapun bentuk-bentuk akhlak terpuji sebagai berikut:
a.       Bersifat Sabar
Secara etimologi, sabar (ash-shabr) berarti menahan dan mengekang (al-Habs wa al-Kuf). Secara terminologis sabar berarti menahan diri dari segala sesuatu yang tidak disukai karena mengharap ridha Allah.[22] Segala sesuatu yang tidak disukai itu tidak selamanya terdiri dari hal-hal yang tidak disenangi seperti musibah kematian, sakit, kelaparan dan sebagainya, tapi bisa juga berupa hal-hal yang disenangi seperti segala macam kenikmatan yang ada di dunia yang disukai hawa nafsu.
Ada pribahasa mengatakan bahwa; “kesabaran itu pahit laksana jadam, namun akibatnya lebih manis daripada madu”. Ungkapan tersebut menunjukkan hikmah kesabaran sebagai fadhilah. Kesabaran dapat dapat dibagi empat kategori berikut ini.[23]
1)      Sabar menanggung beratnya melaksanakan kewajiban
2)      Sabar menanggung musibah atau cobaan
3)      Sabar menahan penganiayaan dari orang
4)      Sabar menanggung kemiskinan dan kepapaan. Banyak orang-orang yang hidupnya selalu dirundung kemiskinan akhirnya berputus asa. Ada yang menerjunkan dirinya ke dunia hitam, menjadi perampok, pencopet dan lain sebagainya. Orang yang seperti ini tidak memiliki sifat sabar.
b.      Bersifat Benar (Istiqamah)
Secara etimologis, istiqamah berasal dari kata istaqama-yastaqimu, yang berarti tegak lurus. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istiqamah diartikan sebagai sikap teguh pendirian dan selalu konsekuen.dalam terminologi akhlaq, istiqamah adalah sikap teguh dalam mempertahankan keimanan dan keislaman sekalipun menghadapi berbagai tantangan dan godaan. Seorang yang istiqamah adalah laksana batu karang di tengah-tengah lautan yang tidak bergeser sedikitpun walaupun dipukul oleh gelombang yang bergulung-gulung.[24]
Perintah supaya beristiqamah dinyatakan dalam Al-Qur’an. Allah berfirman:
فَلِذلِكَ فَادْعُ , وَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَلاَ تَتَّيِعْ أَهْوَاءَهُمْ ...( الشورى : ۱٥ )
Artinya; “Maka karena itu serulah (mereka kepada agama itu) dan istiqamahlah sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka....” (QS. Asy-Syura 42: 15)
c.       Memelihara Amanah
Amanah artinya dipercaya, seakar dengan kata iman. Sifat amanah lahir dari kekuatan iman. Semakin menipis keimanan seseorang semakin pudar pula sifat amanah pada dirinya. Antara keduanya terdapat kaitan yang sangat erat. Rasulullah saw bersabda:
لاَ إِيْمَانَ لِمَنْ لاَ أَ مَانَةَ لَهُ, وَلاَ دِيْنَ لِمَنْ لاَ عَهْدَلَهُ ( رواه أحمد )
Artinya; “Tidak (sempurna) iman seseorang yang tidak amanah, dan tidak (sempurna) agama orang yang tidak menunaikan janji.” (H.R.Ahmad)
Amanah dalam pengertian yang sempit adalah memelihara titipan dan mengembalikannya kepada pemiliknya dalam bentuk semula. Sedangkan dalam pengertian yang luas amanah mencakup banyak hal: menyimpan rahasia orang, menjaga kehormatan orang lain, menjaga diri sendiri, menunaikan tugas-tugas yang diberikan kepadanya dan lain sebagainya. Kebalikannya adalah tidak bisa di percaya “khianat”.
d.      Bersifat Adil
Yang dinamakan adil itu bilamana seseorang mengambil haknya dengan cara yang benar atau memberikan hak orang lain tanpa mengurangi haknya. Sebagai kebalikan dari sifat adil adalah sikap zalim. Zalim berarti menganiaya, tidak adil dalam memutuskan suatu perkara dan berat sebelah dalam bertindak.
e.       Bersifat Kasih Sayang
Pada dasarnya sifat kasih sayang adalah fitrah yang dianugerahkan Allah kepada makhluk. Islam menghendaki agar sifat kasih sayang dan sifat belas kasih dikembangkan secara wajar, kasih sayang mulai dari dalam keluarga sampai kasih sayang yang lebih luas dalam bentuk kemanusiaan.
f.       Bersifat Hemat
Hemat (al-Iqtishad) ialah menggunakan segala sesuatu yang tersedia berupa harta benda, waktu dan tenaga menurut ukuran keperluan, mengambil jalan tengah, tidak kurang dan tidak berlebihan.
g.      Bersifat Berani
Berani (Syaja’ah) bukanlah semata-mata berani berkelahi di medan laga, melainkan suatu sikap mental seseorang, dapat menguasai jiwanya dan berbuat menurut semestinya. Orang yang dapat menguasai jiwanya pada masa-masa kritis ketika bahaya di ambang pintu, itulah orang yang berani.[25]
Rasulullah SAW bersabda; “Bukanlah yang dinamakan pemberani, orang yang kuat bergulat, sesungguhnya pemberani itu ialah orang yang sanggup menguasai hawa nafsunya di kala marah”. (H.R. Ahmad)
h.      Bersifat Kuat
Kekuatan pribadi manusia dapat dibagi menjadi tiga bagian:
1)      Kuat fisik; kuat jasmaniah yang meliputi anggota tubuh
2)      Kuat jiwa; bersemangat, inovatif dan inisiatif
3)      Kuat akal; pikiran, cerdas, dan cepat mengambil keputusan yang tepat.
Kekuatan ini hendaknya dibina dan diikhtiarkan supaya bertambah dalam diri, dapat dipergunakan meningkatkan amal perbuatan.
i.        Bersifat Malu
Rasa malu adalah unsur positif dalam tabiat manusia. Rasa malu mengungkapkan nilai iman seseorang dan menunjukkan tingkat peradabannya. Bila anda menyaksikan ada orang malu melakukan perbuatan yang tidak patut, atau pipinya tampak kemerah-merahan setelah perbuat sesuatu yang tidak pantas, hendaklah anda ketahui bahwa orang itu mempunyai perasaan hidup dan mempunyai unsur yang baik dan bersih.[26]
Sifat malu ialah malu terhadap Allah dan malu kepada diri sendiri di kala melanggar peraturan-peraturan Allah. Perasaan ini dapat menjadi bimbingan kepada jalan keselamatan dan mencegah dari perbuatan nista.
Sifat malu adalah akhlak terpuji yang menjadi keistimewaan ajaran Islam. Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ لِكُلِّ دِيْنٍ خُلُقاً وَ خُلُقُ الإِسْلاَمِ الْحَيَاءُ ( رواه مالك)
Artinya; “Sesungguhnya semua agama itu mempunyai akhlaq, dan akhlaq Islam itu adalah sifat malu.” (HR. Malik)
j.        Memelihara Kesucian Diri
Menjaga diri dari segala keburukan dan memelihara kehormatan hendaklah dilakukan pada setiap waktu. Dengan penjagaan diri secara ketat, maka dapatlah diri dipertahankan untuk selalu berada pada status sebaik-baik manusia “Khair an-Nas”. Hal ini dilakukan mulai dari memelihara hati (qalbu) untuk tidak berbuat rencana dan angan-angan yang buruk.[27]
k.      Menepati Janji
Janji ialah suatu ketetapan yang dibuat dan disepakati oleh seseorang untuk orang lain atau dirinya sendiri untuk dilaksanakan sesuai dengan ketetapannya. Biarpun janji yang dibuat sendiri tetapi tidak terlepas darinya, melainkan mesti ditepati dan ditunaikan.[28]
Menepati janji ialah menunaikan dengan sempurna apa-apa yang telah dijanjikan, baik berupa kontrak maupun apa saja yang telah disepakati.
2.      Akhlak Tercela (Akhlak al-Madzmumah)
Menurut Imam Ghazali, akhlak yang tercela ini dikenal dengan sifat-sifat muhlikat, yakni segala tingkah laku manusia yang dapat membawanya terhadap kebinasaan dan kehancuran diri, yang tentu saja bertentangan dengan fitrahnya untuk selalu mengarah kepada kebaikan. Al-Ghazali menerangkan 4 hal yang mendorong manusia melakukan perbuatan tercela (maksiat) di antaranya:
a.       Dunia dan isinya, yaitu berbagai hal yang bersifat material (harta, kedudukan) yang ingin dimiliki manusia sebagai kebutuhan dalam melangsungkan hidupnya (agar bahagia).
b.      Manusia. Selain mendatangkan kebaikan, manusia dapat mengakibatkan keburukan, seperti istri dan anak. Karena kecintaanya terhadap mereka, misalnya; dapat melalaikan manusia dari kewajibannya terhadap Allah dan terhadap sesama.
c.       Setan (Iblis). Setan adalah musuh manusia yang paling nyata, ia menggoda manusia melalui batinnya untuk berbuat jahat dan menjauhi tuhan.
d.      Nafsu. Nafsu ada kalanya baik (muthma’inah) dan ada kalanya buruk (‘amarah), akan tetapi nafsu cenderung mengarah kepada keburukan.
Akhlak tercela ialah perangai atau tingkah laku pada tutur kata yang tercermin pada diri manusia, cenderung melekat dalam bentuk yang tidak menyenangkan orang lain. Sifat ini telah ada sejak lahir, baik wanita maupun pria, yang tertanam dalam jiwa setiap manusia. Akhlak secara fitrah manusia adalah baik, namun dapat berubah menjadi akhlak buruk apabila manusia itu lahir dari keluarga yang tabiatnya kurang baik, lingkungannya buruk, pendidikan tidak baik, dan kebiasaan-kebiasaan tidak baik sehingga menghasilkan akhlak yang buruk.[29]
Sifat tercela merupakan perbuatan yang dapat merugikan orang lain dalam kehidupan sehari-hari. Dalam ajaran Islam sifat tercela ini sangat dibenci oleh Allah. Perbuatan tercela biasanya dilandaskan pada nafsu yang tidak baik. Melakukan perbuatan tercela dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Perbuatan tercela menghasilkan akhlak tercela, merugikan keluarga, lingkungan, dan segala bentuk kebaikan.
Sifat-sifat buruk atau akhlak tercela dalam kehidupan manusia tergamabar dari perkataan dan perbuatannya. Sifat-sifat buruk itu secara umum adalah sebagai berikut.
a.       Sifat Dengki
Dengki menurut bahasa berarti menaruh perasaan marah (benci, tidak suka) karena sesuatu yang amat sangat kepada keberuntungan orang lain.[30] Dengki ialah rasa benci dalam hati terhadap kenikmatan orang lain dan disertai maksud agar nikmat itu hilang atau berpindah kepadanya. Bahata dengki sama dengan iri hati bahkan dengki lebih tajam dan mengikat kadarnya. Orang dengki tidak segan-segan mencari tipu daya untuk menghilangkan nikmat orang lain dan merebutnya. Biasanya orang yang memiliki sifat ini, hidup mereka tidak tenang, selalu dirasuki perasaan was-was, dijauhi sahabat karib di lingkungan tempat tinggalnya. Orang dengki tidak lepas dari azab dunia dan akhirat di ancam dengan neraka.
b.      Sifat Iri Hati
Kata iri menurut bahasa artinya merasa kurang senang melihat kelebihan orang lain, kurang senang melihat orang lain beruntung, cemburu dengan keberuntungan orang, tidak rela apabila orang lain mendapat nikmat dan kebahagiaan. Iri hati termasuk akhlaq tercela.
Adapun perasaan iri hati adalah menginginkan nikmat yang sama dengan apa yang dianugerahkan Allah kepada orang lain. Iri hati yang menyangkut urusan agama, seperti mencari ilmu pengetahuan dan mengamalkannya, beribadah yang tekun, zakat, infaq, sedekah, membantu orang lain dan sejenisnya dapat dibenarkan, ini merupakan iri hati yang terpuji. Iri hati seperti ini sekiranya tidak berhasil meraih sukses seperti orang lain ia pun tidak akan putus asa, karena ia menyadari bahwa Tuhan telah menentukan bagian masing-masing.[31] Allah berfirman:
وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
Artinya: “Dan janganlah kamu terlalu mengharapkan (ingin mendapat) limpah kurnia yang Allah telah berikan kepada sebahagian dari kamu (untuk menjadikan mereka) melebihi sebahagian yang lain (tentang harta benda, ilmu pengetahuan atau pangkat kebesaran). (kerana telah tetap) orang-orang lelaki ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan orang-orang perempuan pula ada bahagian dari apa yang mereka usahakan; (maka berusahalah kamu) dan mohonkanlah kepada Allah akan limpah kurnianya. Sesungguhnya Allah senantiasa mengetahui akan tiap-tiap sesuatu”. (An-Nisa 4:32).
c.       Sifat Angkuh (Sombong)
Angkuh merupakan pribadi seseorang, menjadi sifat yang telah melekat pada diri orang tersebut. Sombong, yaitu menganggap dirinya lebih dari yang lain sehingga ia berusaha menutupi dan tidak mau mengakui kekurangan dirinya, selalu merasa lebih besar, lebih kaya, lebih pintar, lebih di hormati, lebih mulia, dan lebih beruntung dari yang lain, maka biasanya orang seperti ini memandang orang lain lebih buruk, lebih rendah dan tidak mau mengakui kelebihan orang tersebut, sebab tindakan itu menurutnya sama dengan merendahkan dan menghinakan sendiri.[32]
d.      Sifat Riya
Riya ialah amal yang dikerjakan dengan niat tidak ikhlas. Amal itu sengaja dikerjakan dengan maksud ingin dipuji orang lain. Riya merupakan penyakit rohani, biasanya ingin mendapat pujian, sanjungan tetapi dapat menghalang-halangi manusia dari jalan Allah.

C.      STRATEGI PENDIDIKAN AKHLAK (KARAKTER)
       Desain pembelajaran merupakan kegiatan yang penting untuk dilaksanakan sebelum seorang guru melaksanakan aktifitas pembelajaran di kelas. Desain sistem pembelajaran terdiri atas empat komponen yang memiliki hubungan fungsional antara materi pembelajaran, kompetensi pembelajaran, strategi pembelajaran dan evaluasi pembelajaran. Hubungan keempat komponen tersebut digambarkan sebagai berikut;
Description: C:\Users\EMACHINES\Pictures\Untitled.png
       Dalam dunia pendidikan, menurut David (1976) strategi diartikan sebagai a plan, method, or series of activities designed to achieves a particular educational goal. Maka strategi dapat diartikan sebagai perencanaan yang berisi tentang serangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. [33]
       Tujuan pendidikan akhlak adalah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong sepontan untuk melahirkan semua perbuatan bernilai baik, sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan yang sempurna. Pendidikan akhlak merupakan persoalan utama dan mendasar bagi hidup manusia.[34] Akhlak yang memiliki nuansa religius tidak bisa terpisahkan dengan proses pembentukan karakter seseorang yang memiliki kualitas atau kekuatan mental dan moral.      
       Pendidikan yang mengajarkan hakikat karakter dalam tiga ranah cipta, rasa, dan karsa yang mampu mengolah fikiran, hati dan jiwa.  Akhlak atau karakter merupakan pendidikan utama dan pertama yang harus dimiliki setiap individu yang membawa implikasi positif bagi terbangunnya karakter yang lain, yang mengacu pada sifat Nabi Muhammad SAW yang memiliki sifat; jujur (sidiq), dapat di percaya (amanah), cerdas (fathanah) dan menyampaikan yang benar (tabligh).[35]
       Dengan demikian, pendekatan strategi pendidikan akhlak bukan monolitik dalam pengertian harus menjadi nama bagi suatu mata pelajaran atau lembaga sekolah, melainkan terintegrasi ke dalam berbagai mata pelajaran atau lembaga; in formal (keluarga), formal (sekolah) dan non formal (lingkungan masyarakat).[36]
1.      Tujuan dan Manfaat Mempelajari Ilmu Akhlak
Manusia sebenarnya mampu menyelidiki gerak jiwanya, perkataan dan perbuatannya lalu memilah dan memilih mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk. Dengan ilmu akhlak, manusia mampu mengekspresikan perbuatan, tingkah laku, dan perkataan yang sehat, baik dan bijak.
Pelajaran akhlak sebenarnya merupakan penjabaran dari takwa sebagai akidah dan praktik ibadah. Dengan mempelajari akhlak manusia diharapkan mampu mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk menuju ridha Allah SWT. Apa yang dilakukan manusia ini bersangkutan dengan dirinya sendiri, keluarga, dan masyarakat. Setelah manusia mengetahui mana yang baik dan buruk maka kemudian diresapkan dalam hati sehingga perbuatannya akan timbul dari kesadaran sendiri, bukan paksaan dari luar. Seseorang lalu tersadar bahwa dirinya adalah mahluk pribadi sekaligus mahluk sosial.
Ilmu akhlak berujuan memberikan panduan kepada manusia agar mampu menilai dan menentukan mana perbuatan baik dan buruk. Setelah mengetahui hal-hal yang baik, maka seseorang terdorong untuk melakukannya dan mendapatkan manfaat darinya, sebaliknya setelah mengetahui hal-hal buruk, maka seseorang terdorong untuk meninggalkannya.
Adapun manfaatnya; 1) untuk membersihkan diri manusia dari perbuatan tercela, 2) akhlak yang mulia berguna mengarahkan dan mewarnai berbagai aktifitas kehidupan manusia di segala bidang. 3) kehidupan yang lebih baik, bahagia, tenang yang dirasakan manusia dalam kehidupan perseorangan, berkeluarga, bertetangga, bermasyarakat, dan bernegara.
Ilmu akhlak diharapkan manusia mampu mengendalikan diri, memperhatikan kepentingan orang lain, penuh tenggang rasa, dan mampu memupuk rasa persatuan dan kesatuan dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Dan semuanya ini memerlukan penanaman iman dan takwa.[37]
Proses dan tujuan pendidikan melalui pembelajaran tiada lain adanya perubahan kualitas tiga aspek pendidikan, yakni; kognitif, afektif, dan psikomotorik.[38]
Tujuan pembelajaran sebagai peningkatan wawasan, perilaku, dan ketrampilan, dengan berlandaskan empat pilar pendidikan. Tujuan akhirnya adalah terwujudnya insan yang berilmu dan berkarakter. Karakter yang diharapkan tidak tercerabut dari budaya asli Indonesia sebagai perwujudan nasionalisme dan sarat muatan agama (religius).[39] Untuk lebih jelsnya perhatikan gambar sebagai berikut;
Description: C:\Users\EMACHINES\Pictures\New Picture.bmp
2.      Materi Pendidikan Akhlak
      Materi pendidikan akhlak secara garis besar mencakup;
 1) Pendidikan akhlak manusia kepada Allah (Taqwa, Cinta dan Ridha, Ikhlas, Khauf dan Raja’, Tawakkal, Syukur, Muraqabah, Taubat)  dan Rasulullah SAW (Mencintai dan memuliakan Rasul, Mengikuti dan menaati rasul, mengucapkan shalawat dan salam),yang didasari nilai-nilai pengetahuan ilahiah.
2) Pendidikan Akhlak manusia kepada diri sendiri atau pribadi (shidiq, amanah, istiqamah, iffah, mujahadah, syaja’ah, tawadhu’, malu, sabar, pemaaf),
3) Pendidikan Akhlak manusia kepada sesama manusia, (berkeluarga, bermasyarakat, bernegara) yang bermuara dari nilai-nilai kemanusiaan.
4) Pendidikan Akhlak manusia terhadap alam fauna, flora, dan benda-benda.  Yang berdasarkan ilmu pengetahuan.
3.      Proses-Proses Pembentukan Akhlak
Di samping diperlukan ilmu (pemahaman yang benar tentang mana yang baik dan mana yang buruk), untuk membentuk akhlak seseorang diperlukan strategi pendidikan akhlak melalui; keluarga, sekolah, masyarakat, dan lain-lain. Proses pembentukan akhlak yang nantinya harus terus dibina, karena pembinaan akhlak bagi setiap muslim merupakan sebuah kewajiban yang harus dilakukaan terus menerus tanpa henti, baik melalui pembinaan orang lain maupun pembinaan diri sendiri tanpa harus dituntun oleh orang lain. Proses-proses pembentukan akhlak, antara lain;
Pertama, melalui keteladanan (Qudwah, uswah). Orang tua dan guru yang bisa memberikan keteladanan mengenai perilaku baik, maka biasanya akan ditiru oleh anak-anaknya dan muridnya dalam mengembangkan pola prilaku mereka. Imam al-Ghazali pernah mengibaratkan bahwa “orang tua itu seperti cermin bagi anak-anaknya”. Artinya; perilaku orang tua itu biasanya akan ditiru oleh anak-anaknya. Karena dalam diri anak-anak terdapat kecenderungan suka meniru (hubbu al taqlid). Oleh sebab itu, keteladan moral di dalam keluarga khususnya moral orang tua sangat penting bagi pendidikan moral anak. Bahkan hal itu jauh lebih bermakna dari pada sekedar nasihat lisan (indoktrinasi). Jangan berharap anak akan bersifat sabar, sopan, bertutur kata lembut dan lain-lain, jika kita sebagai orang tua memberi contoh sikap yang tidak baik. Keteladanan yang baik merupakan kiat yang mujarab dalam mengembangkan prilaku moral bagi anak.
Kedua, melalui pengajaran (ta’lim). Mislanya, dengan mengajarkan empati dengan sikap disiplin. Kita tidak perlu menggunakan cara-cara kekuasaan dan kekuatan. Sebab cara tersebut cenderung mengembangkan moralitas yang eksternal, yaitu anak berbuat baik sekedar takut hukuman orang tua atau guru yang berakibat menjadikan anak kurang kreatif, inovatif dalam berpikir dan bertindak. Anak jangan dibikin takut kepada orang tua atau guru, melainkan ditanamkan sikap hormat dan segan.
Ketiga pembiasaan (ta’wid). Melatih anak atau murid dengan perbuatan terpuji yang bisa membentuk karakter kepribadiannya. Sebagai contoh anak sejak kecil dibiasakan membaca basmalah sebelum makan, makan dengan tangan kanan, bertutur kata dengan baik, dan sifat terpuji lainnya. Jika hal itu dibiasakan, maka akan menjadi akhlak mulia bagi anak ketika ia tumbuh dewasa.
Keempat pemberian motivasi. Memberikan motivasi baik berupa pujian atau hadiah tertentu, akan menjadi salah satu latihan positif dalam proses pembentukan akhlak, terutama ketika ia masih kecil.  Motivasi itu pada awalnya mungkin masih bersifat material, tetapi nantinya akan meningkat menjadi motivasi yang spiritual, memberikan kesadaran beribadah karena kebutuhan kita untuk mendapatkan ridha pada Allah S.W.T.
Kelima, pemberian ancaman dan sangsi hukuman. Dalam rangka proses pembentukan akhlak kadang diperlukan ancaman, sehingga anak tidak bersifat dan bersikap sembrono.  Dengan begitu, anak ketika mau melanggar norma tertentu akan merasa enggan, apalagi jika sangsi hukumannya cukup berat.[40]      
4.      Penilaian Akhlak
      Menurut Ahlus Sunnah berpendapat bahwasannya “perbuatan atau akhlak yang  tidak terkandung dalam perintah atau larangan agama (Islam), tidak dapat dinilai baik atau buruk; wajib atau haram; mulia atau hina. Maka perbuatan yang tercantum dalam agama itulah yang dapat diberi penilaian yang demikian; sehingga ada yang menjadi baik dan ada pula yang buruk”. Maksudnya Ahlus sunnah memandang bahwa perbuatan manusia, bukan merupakan sifat asasi dalam diri setiap manusia yang berwujud baik atau buruk, akan tetapi perbuatan itu dapat dinilai baik atau buruk, bila dinilai baik atau buruk oleh agama. Oleh karena itu, orang yang berbuat baik menurut ketentuan agama, maka diberinya pahala oleh Allah SWT, dan sebaliknya bila ia berbuat buruk menurut ketentuan agama, maka diberinya ganjaran atau ancaman oleh-Nya.
      Jadi yang mampu memberikan penilaian akhlak hanyalah dirinya dalam arti menggunakan penilaian hati nurani yakni  sesuatu kekuatan batin dalam hati yang mendapatkan nur ilahi; sehingga manusia dapat melihat hakikat sesuatu dan kenyataannya, dengan pusat pandangan batin dalam dirinya  yang akan dipertanggung jawabkan pada Allah SWT dan sesama manusia  (hamba Allah yang dimuliakan).
      Penilaian akhlak tercermin dalam sikap hidup seseorang yang sudah mencapai tujuan akhlak.  Dalam sikap hidup yang dimaksudkan ada empat macam sebagai berikut:[41]
a.       Arif atau bijaksana; yaitu kemampuan jiwa yang dapat mengekang hawa nafsu, emngendalikan amarahnya dan sanggup melakukan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan larangan-larangan Allah di setiap saat.
b.      Menjaga kesucian diri; yaitu menahan diri dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan menjahui hal-hal yang tidak mengandung kebaikan, sehingga sikap hidup seseorang selalu terhindar dari perbuatan yang hina, lalu terarah kepada perbuatan yang mulia.
c.       Keberanian; yaitu sikap hidup yang selalu berani membela kebenaran agama dan negara dari berbagai ancaman tanpa ragu-ragu, karena ia sadar tentang kewajiban dan tanggung jawabnya untuk membela kebenaran itu.
d.      Keadilan; yaitu sikap hidup yang selalu menempatkan sesuatu pada porsi yang sebenarnya; baik ia sebagai pemimpin rumah tangga atau masyarakat, maupun sebagai orang yang dipimpin, sehingga ia dapat memberikan hak-hak orang lain dengan sebaik-baiknya.

IV KESIMPULAN
1.      Akhlak Menurut pendekatan etimologi, perkataan “akhlaq” berasal dari bahasa Arab yang sudah di-Indonesiakan.[42] Kata akhlaq adalah jama’ dari bentuk mufradnya “khuluqun” ( خُلُقٌ ) yang menurut istilah diartikan: budi pekerti, perangai, kesopanan, tingkah laku, tabiat, watak (karakter), kesusilaan (kesadaran etik dan moral). Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa akhlak adalah sifat-sifat yang dibawa manusia sejak lahir yang tertanam dalam jiwanya dan selalu ada padanya. Sifat itu dapat lahir berupa perbuatan baik yang disebut akhlak yang mulia atau terpuji, ataupun perbuatan buruk yang disebut akhlak tercela sesuai pembinaannya. Secara terminologi  menurut Ibrahim Anis mengatakan akhlak ialah ilmu yang obyeknya membahas nilai-nilai yang berkaitan dengan perbuatan manusia, dapat disifatkan dengan baik dan buruknya.
2.      Akhlak terpuji Menurut Al-Ghazali, berakhlak mulia atau terpuji artinya “menghilangkan semua adat kebiasaan yang tercela yang sudah digariskan dalam agama Islam serta menjauhkan diri dari perbuatan tercela tersebut, kemudian membiasakan adat kebiasaan yang baik, melakukannya dan mencintainya”. dan akhlak tercela Menurut Imam Ghazali, akhlak yang tercela ini dikenal dengan sifat-sifat muhlikat, yakni segala tingkah laku manusia yang dapat membawanya terhadap kebinasaan dan kehancuran diri, yang tentu saja bertentangan dengan fitrahnya untuk selalu mengarah kepada kebaikan.
3.      Strategi dapat diartikan sebagai perencanaan yang berisi tentang serangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Tujuan pendidikan akhlak adalah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong sepontan untuk melahirkan semua perbuatan bernilai baik, sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan yang sempurna. Pendidikan akhlak merupakan persoalan utama dan mendasar bagi hidup manusia. pendekatan strategi pendidikan akhlak terintegrasi ke dalam berbagai mata pelajaran atau lembaga; in formal (keluarga), formal (sekolah) dan non formal (lingkungan masyarakat).









DAFTAR PUSTAKA

al-Qur’an terjemahan, Kudus: Menara Kudus, 1427 H
Abdullah, Yatimin, Studi Akhlak dalam Perspektif Al Qur’an, Jakarta: Azah, 2007
                                 , Pengantar Studi Etika, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006
Adisusilo, Sutarjo, Pembelajaran Nilai-Karakter; Konstruksi dan VCT Sebagai Inovasi Pendekatan Pembelajaran Efektif, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2012
Ainusysyam, Fadlil Yani, Pendidikan Akhlak, di dalam buku Ilmu dan Aplikasi Pendidikan; Bagian III Pendidikan Disiplin Ilmu, Bandung: PT. Imtima, 2007
al-Mawardi, Abu al-Hasan Ali al-Bashri, Etika Jiwa; Menuju Kejernihan Jiwa dalam Sudut Pandang Islam, Bandung: CV Pustaka Setia, 2003
al-Qardhawi, Yusuf, Ash-shabr fi al-Qur’an,  Kairo: Maktabah Wahbah, 1989
Amin, Ahmad, Etika (Ilmu Akhlak), Jakarta: Bulan Bintang, 1983
Anwar, Rosihon,  Akidah Akhlak, Bandung: CV Pustaka Setia, 2008
Asmaran As, Pengantar Studi Akhlak; Edisi Revisi, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2002
Barnawi & M. Arifin, Strategi & Kebijakan; Pendidikan Karakter, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012
Ilyas , Yunahar, Kuliah Akhlaq, Yogyakarta: LPPI, 2011
Khalid, ‘Amr Muhammad Hilmi, Akhlak Mukmin Sejati, Bandung: Media Qalbu, 2004
Khoiri, Alwan,dkk, Akhlaq/Tasawuf, Yogyakarta: Pokja Akademik, 2005
Laila, Abu & Muhammad Thohir, Akhlaq Seorang Muslim, Bandung: PT. Al Ma’arif, 1995
Latif, Zaky Mubarok dkk, Akidah Islam, Jogjakarta: UII Press, 2006
Mahyuddin, Kuliah Akhlaq Tasawuf, Jakarta: Kalam Mulia, 2003
Ma’luf, Luis, Kamus Al-Munjid, Bairut: al-Maktabah al-Katukuliyah, t.t.,
Mustaqim, Abdul, Akhlaq Tasawuf; Jalan Menuju Revolusi Spiritual, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2007
Rakhmat, Jalaluddin, Dahulukan Akhlak di Atas Fiqih, Bandung: Mizan Media Utama, 2007
Rifa’i, Moh., Akhlaq Seorang Muslim, Semarang: Wicaksana, 1992
Salam, Burhanuddin, Etika Individual, Jakarta: Rineka Cipta, 2000
Saebani, Beni Ahmad & Abdul Hamid, Ilmu Aaakhlak, Bandung: Pustaka Setia, 2010
Sinaga, Hasanudin & Zainudin, Pengantar Studi Akhlak, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2004
Sholihin, M. & Anwar, M. Rosyid, Akhlak Tasawuf; Manusia, Etika dan Makna Hidup, Bandung: Nuansa, 2005
Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak; Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Belukar, 2004
Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. Ke-9, Jakarta: Balai Pustaka, 1997
Yunus, Mohammad, Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Erlangga, 1994
Zahruddin & Sinaga, Hasanuddin,  Pengantar Studi Akhlak, Jakarta:  PT Raja Grafindo, 2004


[1] Makalah ini kami presentasikan pada matakuliah  Studi al-Qur’an; Teori dan Metodologi yang di ampu oleh Bpk. Dr. K. H. Sukamta, M.A
[2] Lihat, Zaky Mubarok Lathif, dkk, Akidah Akhlak, (Jogjakarta: IKAPI, 2006), hlm. 43-44
[3] Lihat, Barnawi & M. Arifin, Strategi & Kebijakan; Pendidikan Karakter, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm. 5
[4] Wahyuddin, Kuliah Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Kalam Mulia, 2001), hlm. 1
[5] Luis Ma’luf, Kamus Al-Munjid, (Bairut: al-Maktabah al-Katukuliyah, t.t.,)., hlm. 194
[6] Prof. Dr. Amin mengatakan bahwa akhlak ialah kebebasan akan sesuatu maka kebiasaannya itu disebut akhlak. Contohnya, bila kehendak itu dibiasakan memberi, maka kebiasaan itu ialah akhlak dermawan. Di dalam Ensiklopedi Pendidikan dikatakan bahwa akhlak yaitu kelakuan baik yang merupakan akibat dari sikap jiwa yang benar terhadap khaliknya dan terhadap sesama. Lihat, Zainudin & Hasanudin Sinaga, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: PT Rajagrafindo, 2004), hlm. 1
[7] Dari definisi akhlak secara subtansial tampak saling melengkapi di antaranya; 1) akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seorang sehingga menjadi kepribadiannya atau karakter. 2) akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. 3) akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar, 4) akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena sandiwara, 5) akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan ihlas semata-mata karena Allah SWT. Lihat, dalam bukunya Beni Ahmad Saebani dan Abdul Hamid, Ilmu Akhlak, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm15
[8] Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al Qur’an, (Jakarta: Azah, 2007), hlm. 2-3
[9] Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq, (Yogyakarta: LPPI, 2011) hlm. 3
[10] Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al Qur’an, (Jakarta: Azah, 2007), hlm. 4
[11] Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq....hlm. 3
[12] Dengan demikian, secara terminologis pengertian akhlak adalah tindakan yang berhubungan dengan tiga unsur penting, yaitu sebagai berikut; 1) kognitif; yaitu pengetahuan dasar manusia melalui potensi intelektualitasnya, 2)afektif, yaitu pengembangan potensi akal manusia melalui upaya menganalisis berbagai kejadian sebagi bagian dari pengembangan ilmu pengetahuan. 3) psikomotorik; yaitu pelaksanaan pemahaman rasional ke dalam bentuk perbuatan konkret. Lihat Beni Ahmad Saebani dan Abdul Hamid, Ilmu Akhlak,…hlm. 15-16
[13] AL-Qur’an Terjemahan, (Kudus: Menara Kudus, 1427 H), hlm. 564
[14] Al-Qur’an terjemahan, (Kudus: Menara Kudus, 1427 H), hlm. 564
[15] Lihat, Zaky Mubarok Latif dkk, Akidah Islam, (Jogjakarta: UII Press, 2006), hlm. 38
[16] Alwan Khoiri,dkk, Akhlaq/Tasawuf, (Yogyakarta: Pokja Akademik, 2005), hlm. 20
[17] Ibid, hlm 24
[18] Akhlak memiliki karakteristik sebagai berikut; 1) akhlak yang di dasari nilai-nilai pengetahuan ilahiah, 2) akhlak yang bermuara dari nilai-nilai kemanusiaan 3) akhlak yyang berdasarkan ilmu pengetahuan. Lihat, Beni Ahmad Saebani dan Abdul Hamid, Ilmu Akhlak,…hlm. 16
[19] Ibid, hlm. 25-26
[20] Zahrudin & Hasanuddin Sinaga, Pengantar Studi Akhlak........hlm. 158
[21] Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al Qur’an....hlm 39
[22] Yusuf al-Qardhawi, Ash-Shabr fi al-Qur’an, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1989), hlm. 8
[23] Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al Qur’an.....hlm. 41-42
[24] Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq.....hlm 97
[25] Burhanuddin Salam, Etika Individual, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hlm. 184
[26] Abu Laila & Muhammad Thohir, Akhlaq Seorang Muslim, (Bandung: PT. Al Ma’arif, 1995), terj, hlm. 303
[27] Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al Qur’an.....hlm. 46
[28] Moh. Rifa’i, Akhlaq Seorang Muslim, (Semarang: Wicaksana, 1992), hlm. 116
[29] Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al Qur’an.....hlm. 56
[30] Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. Ke-9, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), hlm. 372
[31] Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al Qur’an.....hlm 65
[32] Mohammad Yunus, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Erlangga, 1994), hlm. 4
[33] Dari rumusan tersebut ada dua hal yang perlu diperhatikan; pertama, strategi pembelajaran merupakan rencana tindakan termasuk metode dan pemanfaatan berbagai sumber daya dalam pembelajaran. Kedua, strategi disusun untuk mencapai tujuan tertentu. Oleh sebab itu, sebelum menentukan strategi harus dirumuskan terlebih dahulu tujuan pembelajaran sebagai suatu kegiatan pembelajaran yang ingin dicapai. Maka strategi pembelajaran sebagai suatu kegiatan pembelajaran harus dikerjakan baik oleh pendidik maupun peserta didik agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efesien. Lihat, Sutarjo Adisusilo, Pembelajaran Nilai-Karakter; Konstruksi dan VCT Sebagai Inovasi Pendekatan Pembelajaran Efektif, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2012), hlm. 85
[34] Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak; Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar, 2004), hlm. 116
[35] Barnawi & M. Arifin, Strategi & Kebijakan; Pendidikan Karakter, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm. 24
[36] Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak; Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan,…………. hlm. 38
[37] M. Sholihin dan M. Rosyid Anwar, Akhlak Tasawuf; Manusia, Etika dan Makna Hidup, ( Bandung: Nuansa, 2005), hlm. 61-63
[38] Dengan demikian, secara terminologis pengertian akhlak adalah tindakan yang berhubungan dengan tiga unsur penting, yaitu sebagai berikut; 1) kognitif; yaitu pengetahuan dasar manusia melalui potensi intelektualitasnya, 2)afektif, yaitu pengembangan potensi akal manusia melalui upaya menganalisis berbagai kejadian sebagi bagian dari pengembangan ilmu pengetahuan. 3) psikomotorik; yaitu pelaksanaan pemahaman rasional ke dalam bentuk perbuatan konkret. Lihat Beni Ahmad Saebani dan Abdul Hamid, Ilmu Akhlak,…hlm. 15-16
[39] Barnawi & M. Arifin, Strategi & Kebijakan; Pendidikan Karakter,….hlm. 28-29
[40] Abdul Mustaqim, Akhlaq Tasawuf; Jalan Menuju Revolusi Spiritual, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2007), hlm. 9-11
[41] Wahyuddin, Kuliah Akhlak Tasawuf,……….., hlm, 34-38
[42] Wahyuddin, Kuliah Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Kalam Mulia, 2001), hlm. 1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar