Al-Qur’an dan
Akhlak[1]
Sinta, S.Pd.I dan Etey Qomariah,
S.Pd.I
ABSTRAK
Al-Qur’an
merupakan sumber utama dalam agama Islam. Allah SWT telah
memerintahkan baginda nabi agung Muhammad SAW untuk hadir dimuka bumi ini hanya
untuk menyempurnakan akhlak umat manusia di fungsikan sebagai “khalifah fi
al-ard” . Sehingga al-Qur’an dijadikan sebagai pedoman hidup bagi seluruh umat
manusia. Pendidikan Akhlak merupakan bagian penting dalam pembinaan kepribadian
dan moral bangsa. Akhlak tidak bisa terpisahkan dari ajaran Islam, namun dalam
pelaksanaannya pendidikan akhlak merupakan tugas penting orang tua dan guru
dalam membimbing anak atau siswa, untuk memiliki kemampuan dan pemahaman, sikap
dan ketrampilan dalam berprilaku sebagai manusia yang berakhlak mulia. Untuk
itu orang tua dan guru harus memahami karakter setiap anak dan berusaha meningkatkan
kemampuannya untuk mengantarkan mereka dalam berprilaku sesuai dengan
prinsip-prinsip akhlak mulia yang telah dijelaskan di dalam al-Qur’an dan hadis.
Kata Kunci: Al-Qur’an
dan Akhlak
I.
PENDAHULUAN
Kemajuan
ilmu-pengetahuan dan teknologi yang dialami oleh manusia saat ini, tidak
sedikit dampak negatifnya terhadap sikap hidup dan prilakunya; baik ia sebagai
manusia yang beragama, maupun sebagai mahluk individual dan sosial. Dampak
negatif yang paling berbahaya terhadap kehidupan manusia atas kemajuan yang
dialaminya, ditandai dengan adanya kecenderungan menganggap bahwa satu-satunya
yang dapat membahagiakan hidupnya adalah nilai materiil, sehingga manusia
terlampau mengejar materi, tanpa menghiraukan nilai-nilai spiritual yang
sebenarnya berfungsi untuk memelihara dan mengendalikan akhlak manusia.
Yusuf Qardhawi
telah menyebutkan bahwa paling tidak, ada tiga macam terhadap akhlak manusia
dalam kehidupan modern dewasa ini, diantaranya; 1) sikap individualisme (ananiyyah);
yang merupakan faham bertitik tolak dari sikap egoisme, mementingkan dirinya
sendiri, sehingga mengorbankan orang lain demi kepentingannya sendiri, 2) sikap
matrealistik (madiyyah); lahir sebagai akibat kecintaan pada kehidupan
duniawi yang berlebih-lebihan, 3) pragmatis (naf’iyyah)artinya menilai
sesuatu hanya berdasarkan aspek kegunaan semata.[2] Ketiga ancaman terhadap akhlak mulia ini hanya dapat diatasi manakala
manusia memiliki landasan akidah akhlak yang kuat.
Manusia yang
bisa dipastikan kehilangan dan salah arah bila nilai-nilai spiritual
ditinggalkan, sehingga mudah terjerumus ke berbagai penyelewengan dan kerusakan
akhlak, misalnya; melakukan perampasan hak-hak orang lain, penyelewengan
seksual, pembunuhan, dan lain sebagainya. Mengejar nilai-nilai materi saja,
tidak bisa dijadikan sarana untuk mencapai kebahagiaan hakiki, bahkan hanya menimbulkan
bencana yang hebat, karena orientasi hidup manusia semakin tidak memperdulikan
kepentingan orang lain, asalkan materi yang dikejar-kejarnya dapat dikuasainya,
akhirnya menimbulkan persaingan hidup yang tidak sehat; menyebabkan sikap tamak
(rakus), stres, dan lain sebagainya. Semua hal negatif
tersebut berujuang pada hilangnya karakter bangsa.[3]
Kehancuran
manusia yang dihadapi oleh Islam sejak lahirnya, sama keadaannya dengan
kehancuran akhlaq bangsa Romawi dan Persia, yang terkenal dengan ketinggian
kebudayaannya. Lalu dapat lagi dijadikan tolak ukur bahwa ketinggian kebudayaan
tidak memberi jaminan untuk melakukan perbuatan yang manusiawi, kecuali kalau
manusia itu tetap melakukan petunjuk agamanya.
Agama Islam
tidak melarang manusia memiliki kemajuan disegala bidang kehidupan bahkan
mewajibkan, sebagai sarana untuk meningkatkan taraf hidupnya. Hanya dilarang
dalam agama, bila kemajuan itu, digunakan untuk menghancurkan aqidah Islamiyah
dan mendatangkan bencana kehidupan makhluk dibumi ini. Nilai-nilai spiritual
yang dimaksudkan dalam Islam adalah ajaran agama bersumber pada al-Qur’an dan
hadis yang berwujud pada perintah, larangan, dan anjuran, yang kesemuanya
berfungsi untuk membina kepribadian manusia dalam kaitannya sebagai hamba Allah
serta khalifah fi al-ardl.
Menghadapi
kebobrokan ahlaq di bumi ini tentu strategi mengatasinya harus menggunakan cara
dan sarana modern. Tentu saja normanya tetap berdasarkan ajaran agama sesuai
al-Qur’an dan hadis, sedangkan teknik pendidikan dan penanggulangnnya harus
disesuaikan dengan bentuk penyimpangan (keburukan akhlak) yang
dihadapinya.
II.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Apa yang di maksud akhlak?
2.
Apa yang di maksud akhlak terpuji
dan akhlak tercela dalam al-Qur’an?
3.
Bagaimana strategi
pendidikan akhlak?
III.
PEMBAHASAN
Peta konsep dalam pembahasan
makalah ini tentang akhlak adalah sebagai berikut:

A.
PENGERTIAN
AKHLAK
1.
Definisi Akhlak; Etimologi dan
Terminologi
a.
Akhlak Aspek Etimologi
Menurut
pendekatan etimologi, perkataan “akhlaq” berasal dari bahasa Arab yang sudah
di-Indonesiakan.[4]
Kata akhlaq adalah jama’ dari bentuk mufradnya “khuluqun”
( خُلُقٌ ) yang
menurut istilah diartikan: budi pekerti, perangai, kesopanan, tingkah laku,
tabiat, watak (karakter), kesusilaan (kesadaran etik dan moral).[5]
Kalimat tersebut mengandung segi-segi persesuain dengan perkataan “khalqun”
( خَلْقٌ )
yang berarti kejadian, serta erat hubungan “khaliq” ( خَالِقٌ )yang berarti Pencipta dan “makhluk” (مَخْلُوْقٌ) yang berarti yang diciptakan.[6]
Di dalam Da’iratul Ma’arif dikatakan:
اَلأَخْلاَقُ هِىَ صِفَاتُ الاِنْسَانِ
الأَدَبِيَّةُ
Dari
pengertian di atas dapat diketahui bahwa akhlak adalah sifat-sifat yang dibawa
manusia sejak lahir yang tertanam dalam jiwanya dan selalu ada padanya. Sifat
itu dapat lahir berupa perbuatan baik yang disebut akhlak yang mulia atau
terpuji, ataupun perbuatan buruk yang disebut akhlak tercela sesuai
pembinaannya.
Akhlak disamakan dengan kesusilaan, sopan santun. khuluq
merupakan gambaran sifat batin manusia, gambaran bentuk lahiriah manusia,
seperti raut wajah, gerak anggota badan dan seluruh tubuh. Dalam bahasa Yunani
pengertian khuluq ini disamakan dengan kata ethicos atau ethos,
artinya adab kebiasaan, perasaan batin, kecenderungan hati untuk melakukan
perbuatan. Ethicos kemudian berubah menjadi etika.[8]
b.
Pengertian Akhlak Aspek Terminologi
Berikut ini akan dibahas definisi “akhlak” menurut aspek
terminologi. Para ahli berbeda pendapat, namun intinya sama yaitu tentang
perilaku manusia. Pendapat-pendapat tersebut dihimpun sebagai berikut:
1)
Abdul Hamid mengatakan akhlak ialah ilmu tentang keutamaan yang
harus dilakukan dengan cara mengikutinya sehingga jiwanya terisi dengan
kebaikan, dan tentang keburukan yang harus dihindarinya sehingga jiwanya kosong
(bersih) dari segala bentuk keburukan.
2)
Ibrahim Anis mengatakan akhlak ialah ilmu yang obyeknya membahas
nilai-nilai yang berkaitan dengan perbuatan manusia, dapat disifatkan dengan
baik dan buruknya.
3)
Prof.Dr. Ahmad Amin
عرف بعضهم الخلق بأنه عادة الإرادة يعنى أن الإدارة إذا اعتادت شيئا
فعادتها هي المسماة بالخلق.
Artinya; (Sementara orang mengetahui bahwa yang disebut akhlak ialah kehendak yang
dibiasakan. Artinya, kehendak itu bila membiasakan sesuatu, kebiasaan itu
dinamakan akhlak)
Ini berarti
bahwa kehendak itu bila dibiasakan akan sesuatu maka kebiasaannya itu disebut
akhlak. Contohnya bila
kehendak itu dibiasakan memberi, maka
kebiasaan itu ialah akhlak dermawan.
4)
Ibn Miskawih
حال للنفس داعية لها إلى أفعالها من غير فكر وروية.
Artinya; (Keaadaan jiwa seseorang yang mendorongnya yang mendorongnya untuk
melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan pikiran (lebih dulu).
5)
Imam Al-Ghazali mengatakan akhlak ialah sifat yang tertanam dalam
jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa
memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
6)
Farid Ma’ruf mendefinisikan akhlak sebagai kehendak jiwa manusia
yang menimbulkan perbuatan dengan mudah karena kebiasaan, tanpa memerlukan
pertimbangan pikiran terlebih dahulu.
7)
Soegarda Poerbakawatja mengatakan akhlak ialah budi pekerti,
watak, kesusilaan, dan kelakuan baik yang merupakan akibat dari sikap jiwa yang
benar terhadap khaliknya dan terhadap sesama manusia.
Jadi, pada
hakikatnya khuluq (budi pekerti) atau akhlak ialah suatu kondisi
atau sifat yang telah meresap dalam jiwa dan menjadi kepribadian. Dari sini timbul-lah
berbagai macam perbuatan dengan cara spontan tanpa dibuat-buat dan tanpa
memerlukan pikiran.
Sifat
spontanitas dari akhlaq tersebut dapat diilustrasikan dalam contoh
berikut ini. Bila seseorang menyumbang dalam jumlah besar untuk pembangunan
masjid setelah mendapat dorongan dari seorang da’i (yang mengemukakan ayat-ayat
dan hadits-hadits tentang keutamaan membangun masjid di dunia), maka orang tadi
belum bisa dikatakan mempunyai sifat pemurah, karena kepemurahannya waktu itu
lahir setelah mendapat dorongan dari luar, dan belum tentu muncul lagi pada
kesempatan yang lain. Boleh jadi, tanpa dorongan seperti itu, dia tidak akan
menyumbang, atau kalaupun menyumbang hanya dalam jumlah sedikit. Tapi manakala
tidak ada doronganpun dia tetap menyumbang, kapan dan di mana saja, barulah
bisa dikatakan dia mempunyai sifat pemurah.[9]
Dapat dirumuskan bahwa akhlak
ialah ilmu yang mengajarkan manusia berbuat baik dan mencegah perbuatan jahat
dalam pergaulannya dengan Tuhan, manusia, dan makhluk sekelilingnya.[10]
Di samping istilah akhlak, juga dikenal istilah etika dan moral.
Ketiga istilah itu sama-sama menentukan nilai baik dan buruk sikap dan
perbuatan manusia. Perbedaannya terletak pada standar masing-masing. Bagi
akhlaq standarnya adalah al-Qur’an dan Sunnah; bagi etika standarnya
pertimbangan akal dan pikiran; dan bagi moral standarnya adat kebiasaan yang
umum berlaku di masyarakat.[11]
Etika ialah
suatu ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana
yang dapat dinilai baik dan mana yang jelek dengan memperlihatkan amal
perbuatan manusia sejauh yang dapat dicerna akal pikiran. Moral menurut Hamzah
Ya’qub, secara detail dalam Ensiklopedi Pendidikan disebutkan bahwa moral
adalah nilai dasar dalam masyarakat untuk memilih antara nilai hidup (moral)
juga adat istiadat yang menjadi dasar untuk menunjukan baik dan buruk. Maka
untuk mengukur tingkah laku manusia (baik dan buruk) dapat dilihat dari
penyesuaiannya dengan adat istiadat yang umum diterima masyarakat, yang
meliputi kesatuan sosial atau lingkungan tertentu. Karena itu dapat dikatakan,
baik atau buruk yang diberikan secara moral hanya bersifat lokal. Inilah yang
membedakan antara etika dan moral. Perbedaan lain antara etika dan moral adalah
etika lebih banyak bersifat teoritis, sedang moral lebih banyak bersifat
praktis, etika memandang tingkah laku manusia secara universal (umum),
sedangkan moral secara lokal, etika menjelaskan ukuran yang dipakai, moral
merealisasikan ukuran itu dalam perbuatan.
2.
Dasar-Dasar Akhlak
a.
Dasar Akhlak di dalam Al-Qur’an, di antaranya;
اقرأ باسم ربك الذي خلق. خلق الإنسان من علق. اقرأ وربك الأكرم. الذي علم
بالقلم. علم الإنسان مالم يعلم (العلق:5-1)
Artinya: " Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang
menciptakan; Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah; bacalah dan
Tuhanmulah yang Mahamulia; yang mengajar (manusia) dengan pena; Dia mengajarkan
manusia apa yang diketahuinya”, (Q.S. al-‘Alaq; 1-5)
Dengan ayat-ayat di atas, dapat diambil suatu
pemahaman bahwa kata “khalaq”, artinya telah berbuat, telah menciptakan
atau telah mengambil keputusan untuk bertindak. Secara terminologis, akhlak
adalah tindakan (kreativitas) yang tercermin pada akhlak Allah SWT, yang salah
satunya dinyatakan sebagai pencipta manusia segumpal darah; Allah SWT, sebagai
sumber pengetahuan yanng melahirkan kecerdasan manusia, pembebasan dari
kebodohan serta peletak dasar yang paling utama dalam pendidikan.[12]
وَإِنَّكَ
لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
Artinya: “Sesungguhnya
engkau (Muhammad) adalah orang yang berakhlak sangat mulia.” (QS. Al-Qalam:4).[13]
Pujian Allah ini bersifat
individual dan khusus hanya diberikan kepada Nabi Muhammad S.A.W karena
kemuliaan akhlaknya. Penggunaan istilah “khulukun ‘adzhim” menunjukkan
keagungan dan keanggunan moralitas Rasul, yang dalam hal ini adalah Muhammad
S.A.W. Banyak Nabi dan Rasul yang disebut-sebut dalam al-Qur’an, Tetapi hanya
Muhammad S.A.W yang mendapatkan pujian sedahsyat itu. Dengan lebih tegas
Allah-pun memberikan penjelasan secara transparan bahwa akhlak Rasulullah
sangat layak untuk dijadikan standar modal bagi umatnya, sehingga layak untuk
dijadikan idola yang teladani sebagai “Uswah Hasanah”, melalui
firman-Nya:
لقد كان لكم فى رسول الله اسوة حسنة لمن
كان يرجواالله واليوم الاخر وذكر الله كثيرا (الأحزاب:21)
Artinya:
“Sungguh telah ada pada
diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu yaitu bagi orang yang mengharap rahmat
Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah (Q.S.
al-Ahzab [33]: 21. [14]
b.
Dasar Akhlak di dalam al-Hadits
Dalam ayat al-Qur’an telah
diberikan penegasan bahwa Rasulullah S.A.W
merupakan contoh yang layak ditiru dalam segala sisi kehidupannya. Disamping itu, ayat tersebut juga
mengisyaratkan bahwa tidak ada satu
“sisi-gelap” pun yang ada pada diri Rasulullah S.A.W, karena semua isi kehidupannya dapat ditiru dan diteladani.
Ayat diatas juga mengisyaratkan bahwa
Rasulullah S.A.W sengaja diproyeksikan oleh
Allah untuk menjadi “lokomotif” akhlak umat manusia secara universal, karena Rasulullah S.A.W diutus sebagai “Rahmatan
lil ‘Alamin”. Hal ini didukung pula dengan
hadits yang berbunyi:
إنما بعثت لأتمم
مكارم الأخلاق قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:
Artinya:“Bersabda
Rasullullah S.A.W;
Bahwasannya aku diutus (sebagai Rasul) untuk menyempurnakan
akhlak mulia” (H.R.al-Bukhory; bersumber dari
Abi Hurairah, r.a)
Hadis tersebut menunjukkan bahwa karena akhlak menempati
posisi kunci dalam kehidupan umat manusia, maka substansi misi Rasulullah S.A.W itu sendiri adalah untuk menyempurnakan
akhlak seluruh umat manusia agar dapat mencapai akhlak yang mulia.[15] Akhlak
mulia selalu melengkapi sendi keimanan untuk menuju kepada kesempurnaan
kepribadian manusia sebagimana keterangan hadis yang berbunyi:
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: اكمل المؤمين ايمنا احسنهم خلقا....(رواه الترميذي عن ابي هريرة)
Artinya:“Bersabda
Rasullullah S.A.W;
Paling sempurna keimanan orang-orang mu’min (kalau) akhlaknya lebih baik….” (H.R.al-Bukhory; bersumber dari
Abi Hurairah, r.a)
Kemudian terhadap
pengalaman syari’ah, akhlak baik juga sangat berperan untuk melengkapinya,
sebagaimana yang telah diterangkan Rasulullah SAW mengatakan bahwa agama itu
ber-intikan akhlak mulia. Keterangan ini diucapkannya ketika menjawab
pertanyaan seseorang yang mengatakan:
ماالدين يا
رسول الله ؟ فقال: حسن الخلق
)Apa sebenarnya inti agama itu wahai Rasulullah? Nabi menjawab; intinya
adalah akhlaq yang baik). Kemudian berturut-turut datang dua orang dari sisi
kanan dan belakang beliau, dengan masing-masing menanyakan hal seperti itu.
Maka Nabi menjawab satu persatu dengan mengatakan; “inti agama itu adalah
akhlaq yang mulia”.
Yang menjadi persoalan di sini adalah
bagaimana substansi akhlak Rasulullah S.A.W
itu. Dalam hal ini, para sahabat pernah bertanya kepada isteri Rasulullah S.A.W, yakni Aisyah r.a. yang dipandang lebih
mengetahui akhlak rasul dalam kehidupan sehari-hari, maka Aisyah menjawab:
كان خلقه القران
Artinya: “Substansi
akhlak Rasulullah S.A.W itu adalah al-Qur’an”.
Dari jawaban singkat tersebut diketahui bahwa akhlak Rasulullah S.A.W yang tercermin lewat semua
tindakan, ketentuan, atau perkataannya senantiasa selaras dengan al-Qur’an, dan
benar-benar merupakan praktek riil dari kandungan al-Qur’an. Semua perintah
dilaksanakan, semua larangan dijauhi, dan semua isi al-Qur'an didalaminya untuk
dilaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari.[16]
3.
Tujuan Akhlak
Pada dasarnya tujuan pokok akhlak adalah agar setiap muslim berbudi
pekerti, bertingkah laku, berkarakter, atau beradat istiadat yang baik sesuai
dengan ajaran agama. Di samping itu, setiap muslim yang berakhlak baik dapat
memperoleh hal-hal berikut; 1) Ridha Allah SWT, 2) Kepribadian Muslim, 3)
perbuatan yang mulia dan terhindar dari perbuatan tercela. Tujuan Akhlak adalah
mencapai kebahagiaan hidup umat manusia di dunia ataupun akhirat. Jika
seseorang dapat menjaga kualitas mu’amalah ma’allah dan mu’amalah
ma’annas akan mendapatkan ridlo-Nya. Orang yang mendapat ridlo Allah
niscaya akan memperoleh jaminan kebahagiaan hidup baik duniawi maupun ukhrawi.
4.
Ruang Lingkup Akhlak
Dalam
membahas persoalan ruang lingkup akhlak, Kahar Masyhur menyebutkan bahwa
ruang lingkup akhlak meliputi bagaimana seharusnya seseorang bersikap
terhadap penciptaannya, terhadap sesama manusia seperti dirinya sendiri,
terhadap keluarganya, serta terhadap masyarakatnya. Disamping itu juga meliputi
bagaimana seharusnya bersikap terhadap makhluk lain seperti terhadap malaikat,
jin, iblis, hewan, dan tumbuh-tumbuhan.
Ahmad
Azhar Basyir menyebutkan cakupan akhlak meliputi semua aspek kehidupan manusia sesuai dengan kedudukannya
sebagai makhluk individu, makhluk sosial, makhluk penghuni, dan yang memperoleh
bahan kehidupannya dari alam, serta sebagai makhluk ciptaan Allah. Dengan kata
lain, akhlak meliputi; akhlak pribadi, akhlak keluarga, akhlak
sosial, akhlak politik, akhlak jabatan, akhlak terhadap
Allah dan akhlak terhadap alam.
5.
Urgensi Akhlak
Urgensi akhlak semakin terasa jika dikaitkan dengan maraknya aksi
perampokan, penjambretan, korupsi, dan berbagai upaya untuk cepat kaya tanpa
kerja keras. Untuk mengatasi semua kenyataan tersebut tidak cukup hanya
dilakukan tindakan represif melalui penanaman “akhlakul karimah”. Tanpa
upaya prefentif, segala bentuk upaya represif tidak akan mampu menyelesaikan
masalah, karena semua pelaku kejahatan selalu patah tumbuh hilang berganti.[17]
6.
Karakteristik Akhlak dalam Ajaran
Islam
Islam memiliki dasar-dasar konseptual tentang akhlak yang komprehensif dan menjadi
karakteristik yang khas.[18]
Di antara karakteristik tersebut adalah:[19]
a.
Akhlak meliputi hal-hal
yang bersifat umum dan terperinci.
Di dalam Al-Qur’an ada ajaran
akhlak yang dijelaskan secara umum, tetapi ada juga yang diterangkan secara
mendetail. Sebagai contoh, ayat yang menjelaskan masalah akhlak, secara umum
adalah Q.S. An-Nahl (16):90 yang menyuruh perintah untuk berakhlak secara umum:
Untuk berbuat adil, berbuat kebaikan, melarang perbuatan keji, mungkar, dan
permusuhan. Sedangkan contoh ayat yang menjelaskan masalah akhlak secara
terperinci adalah Q.S. Al-Hujurat (49):12 yang menunjukkan; larangan untuk saling mencela, serta
memanggil dengan gelar yang buruk.
b.
Akhlak bersifat
menyeluruh.
Dalam konsep Islam,
akhlak meliputi seluruh kehidupan muslim, baik beribadah secara khusus kepada
Allah maupun dalam hubungannya dengan sesama makhluk seperti akhlak dalam
mengelola sumber daya alam, menata ekonomi, menata politik, kehidupan
bernegara, kehidupan berkeluarga, dan bermasyarakat.
c.
Akhlak sebagai buah
iman
Akhlak memiliki karakter dasar yang berkaitan erat
dengan masalah keimanan. Jika iman dapat diibaratkan akar sebuah pohon,
sedangkan ibadah merupakan batang, ranting dan daunnya, maka akhlak adalah
buahnya. Iman yang kuat akan termanifestasikan oleh ibadah yang teratur dan
membuahkan akhlak yang mulia “akhlakul
karimah”. Lemahnya
iman dapat terdeteksi melalui indikator tidak teftibnya ibadah dan sulit
membuahkan akhlakul karimah.
d.
Akhlak menjaga
konsistensi dengan tujuan
Akhlak tidak membenarkan cara-cara mencapai tujuan yang
bertentangan dengan syariat sekalipun dengan maksud untuk mencapai tujuan yang
baik. Hal tersebut dipandang bertentangan dengan prinsip-prinsip ahklakul
karimah yang senantiasa menjaga konsistensi cara mencapai tujuan tertentu
dengan tujuan itu tersendiri.
B.
AKHLAK TERPUJI
dan AKHLAK TERCELA dalam al-QUR’AN
1.
Akhlak Terpuji (akhlak
al-Mahmudah);
Menurut Al-Ghazali, berakhlak mulia atau terpuji artinya
“menghilangkan semua adat kebiasaan yang tercela yang sudah digariskan dalam
agama Islam serta menjauhkan diri dari perbuatan tercela tersebut, kemudian
membiasakan adat kebiasaan yang baik, melakukannya dan mencintainya”.[20]
Sesuatu yang dapat dikatakan baik apabila ia memberikan kesenangan,
kepuasan, kenikmatan, sesuai dengan yang diharapkan, dapat dinilai positif oleh
orang yang menginginkannya. Baik disebut juga mustahab, yaitu amal atau
perbuatan yang disenangi. Perbuatan baik merupakan “Akhlaq al-Karimah”
yang wajib dikerjakan.[21] Akhlaq
al-Karimah berarti tingkah laku yang terpuji yang merupakan tanda
kesempurnaan seseorang kepada Allah yang terlahir dari sifat-sifat terpuji.
Adapun bentuk-bentuk akhlak terpuji sebagai berikut:
a.
Bersifat Sabar
Secara
etimologi, sabar (ash-shabr) berarti menahan dan mengekang (al-Habs
wa al-Kuf). Secara terminologis sabar berarti menahan diri dari segala
sesuatu yang tidak disukai karena mengharap ridha Allah.[22]
Segala sesuatu yang tidak disukai itu tidak selamanya terdiri dari hal-hal yang
tidak disenangi seperti musibah kematian, sakit, kelaparan dan sebagainya, tapi
bisa juga berupa hal-hal yang disenangi seperti segala macam kenikmatan yang
ada di dunia yang disukai hawa nafsu.
Ada pribahasa
mengatakan bahwa; “kesabaran itu pahit laksana jadam, namun akibatnya lebih
manis daripada madu”. Ungkapan tersebut menunjukkan hikmah kesabaran sebagai fadhilah.
Kesabaran dapat dapat dibagi empat kategori berikut ini.[23]
1)
Sabar menanggung beratnya
melaksanakan kewajiban
2)
Sabar menanggung musibah atau
cobaan
3)
Sabar menahan penganiayaan dari
orang
4)
Sabar menanggung kemiskinan dan
kepapaan. Banyak orang-orang yang hidupnya selalu dirundung kemiskinan akhirnya
berputus asa. Ada yang menerjunkan dirinya ke dunia hitam, menjadi perampok,
pencopet dan lain sebagainya. Orang yang seperti ini tidak memiliki sifat
sabar.
b.
Bersifat Benar (Istiqamah)
Secara
etimologis, istiqamah berasal dari kata istaqama-yastaqimu, yang berarti
tegak lurus. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istiqamah diartikan sebagai
sikap teguh pendirian dan selalu konsekuen.dalam terminologi akhlaq, istiqamah
adalah sikap teguh dalam mempertahankan keimanan dan keislaman sekalipun
menghadapi berbagai tantangan dan godaan. Seorang yang istiqamah adalah laksana
batu karang di tengah-tengah lautan yang tidak bergeser sedikitpun walaupun
dipukul oleh gelombang yang bergulung-gulung.[24]
Perintah
supaya beristiqamah dinyatakan dalam Al-Qur’an. Allah berfirman:
فَلِذلِكَ فَادْعُ , وَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ
وَلاَ تَتَّيِعْ أَهْوَاءَهُمْ ...( الشورى : ۱٥ )
Artinya; “Maka
karena itu serulah (mereka kepada agama itu) dan istiqamahlah sebagaimana
diperintahkan kepadamu dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka....”
(QS. Asy-Syura 42: 15)
c.
Memelihara Amanah
Amanah artinya
dipercaya, seakar dengan kata iman. Sifat amanah lahir dari kekuatan iman.
Semakin menipis keimanan seseorang semakin pudar pula sifat amanah pada
dirinya. Antara keduanya terdapat kaitan yang sangat erat. Rasulullah saw
bersabda:
لاَ إِيْمَانَ
لِمَنْ لاَ أَ مَانَةَ لَهُ, وَلاَ دِيْنَ لِمَنْ لاَ عَهْدَلَهُ ( رواه أحمد )
Artinya; “Tidak
(sempurna) iman seseorang yang tidak amanah, dan tidak (sempurna) agama orang
yang tidak menunaikan janji.” (H.R.Ahmad)
Amanah dalam
pengertian yang sempit adalah memelihara titipan dan mengembalikannya kepada
pemiliknya dalam bentuk semula. Sedangkan dalam pengertian yang luas amanah
mencakup banyak hal: menyimpan rahasia orang, menjaga kehormatan orang lain,
menjaga diri sendiri, menunaikan tugas-tugas yang diberikan kepadanya dan lain sebagainya.
Kebalikannya adalah tidak bisa di percaya “khianat”.
d.
Bersifat Adil
Yang dinamakan
adil itu bilamana seseorang mengambil haknya dengan cara yang benar atau
memberikan hak orang lain tanpa mengurangi haknya. Sebagai kebalikan dari sifat
adil adalah sikap zalim. Zalim berarti menganiaya, tidak adil
dalam memutuskan suatu perkara dan berat sebelah dalam bertindak.
e.
Bersifat Kasih Sayang
Pada dasarnya
sifat kasih sayang adalah fitrah yang dianugerahkan Allah kepada makhluk. Islam
menghendaki agar sifat kasih sayang dan sifat belas kasih dikembangkan secara
wajar, kasih sayang mulai dari dalam keluarga sampai kasih sayang yang lebih
luas dalam bentuk kemanusiaan.
f.
Bersifat Hemat
Hemat (al-Iqtishad)
ialah menggunakan segala sesuatu yang tersedia berupa harta benda, waktu dan
tenaga menurut ukuran keperluan, mengambil jalan tengah, tidak kurang dan tidak
berlebihan.
g.
Bersifat Berani
Berani (Syaja’ah)
bukanlah semata-mata berani berkelahi di medan laga, melainkan suatu sikap
mental seseorang, dapat menguasai jiwanya dan berbuat menurut semestinya. Orang
yang dapat menguasai jiwanya pada masa-masa kritis ketika bahaya di ambang
pintu, itulah orang yang berani.[25]
Rasulullah SAW
bersabda; “Bukanlah yang dinamakan pemberani, orang yang kuat bergulat,
sesungguhnya pemberani itu ialah orang yang sanggup menguasai hawa nafsunya di
kala marah”. (H.R. Ahmad)
h.
Bersifat Kuat
Kekuatan
pribadi manusia dapat dibagi menjadi tiga bagian:
1)
Kuat fisik; kuat jasmaniah yang
meliputi anggota tubuh
2)
Kuat jiwa; bersemangat, inovatif
dan inisiatif
3)
Kuat akal; pikiran, cerdas, dan
cepat mengambil keputusan yang tepat.
Kekuatan ini
hendaknya dibina dan diikhtiarkan supaya bertambah dalam diri, dapat
dipergunakan meningkatkan amal perbuatan.
i.
Bersifat Malu
Rasa malu
adalah unsur positif dalam tabiat manusia. Rasa malu mengungkapkan nilai iman
seseorang dan menunjukkan tingkat peradabannya. Bila anda menyaksikan ada orang
malu melakukan perbuatan yang tidak patut, atau pipinya tampak kemerah-merahan
setelah perbuat sesuatu yang tidak pantas, hendaklah anda ketahui bahwa orang
itu mempunyai perasaan hidup dan mempunyai unsur yang baik dan bersih.[26]
Sifat malu
ialah malu terhadap Allah dan malu kepada diri sendiri di kala melanggar
peraturan-peraturan Allah. Perasaan ini dapat menjadi bimbingan kepada jalan
keselamatan dan mencegah dari perbuatan nista.
Sifat malu
adalah akhlak terpuji yang menjadi keistimewaan ajaran Islam. Rasulullah SAW
bersabda:
إِنَّ لِكُلِّ
دِيْنٍ خُلُقاً وَ خُلُقُ الإِسْلاَمِ الْحَيَاءُ ( رواه مالك)
Artinya; “Sesungguhnya
semua agama itu mempunyai akhlaq, dan akhlaq Islam itu adalah sifat malu.”
(HR. Malik)
j.
Memelihara Kesucian Diri
Menjaga diri
dari segala keburukan dan memelihara kehormatan hendaklah dilakukan pada setiap
waktu. Dengan penjagaan diri secara ketat, maka dapatlah diri dipertahankan
untuk selalu berada pada status sebaik-baik manusia “Khair an-Nas”. Hal
ini dilakukan mulai dari memelihara hati (qalbu) untuk tidak berbuat
rencana dan angan-angan yang buruk.[27]
k.
Menepati Janji
Janji ialah
suatu ketetapan yang dibuat dan disepakati oleh seseorang untuk orang lain atau
dirinya sendiri untuk dilaksanakan sesuai dengan ketetapannya. Biarpun janji
yang dibuat sendiri tetapi tidak terlepas darinya, melainkan mesti ditepati dan
ditunaikan.[28]
Menepati janji
ialah menunaikan dengan sempurna apa-apa yang telah dijanjikan, baik berupa
kontrak maupun apa saja yang telah disepakati.
2.
Akhlak Tercela (Akhlak
al-Madzmumah)
Menurut Imam Ghazali, akhlak yang tercela ini dikenal dengan
sifat-sifat muhlikat, yakni segala tingkah laku manusia yang dapat
membawanya terhadap kebinasaan dan kehancuran diri, yang tentu saja
bertentangan dengan fitrahnya untuk selalu mengarah kepada kebaikan. Al-Ghazali
menerangkan 4 hal yang mendorong manusia melakukan perbuatan tercela (maksiat)
di antaranya:
a.
Dunia dan isinya, yaitu berbagai
hal yang bersifat material (harta, kedudukan) yang ingin dimiliki manusia
sebagai kebutuhan dalam melangsungkan hidupnya (agar bahagia).
b.
Manusia. Selain mendatangkan
kebaikan, manusia dapat mengakibatkan keburukan, seperti istri dan anak. Karena
kecintaanya terhadap mereka, misalnya; dapat melalaikan manusia dari
kewajibannya terhadap Allah dan terhadap sesama.
c.
Setan (Iblis). Setan adalah musuh
manusia yang paling nyata, ia menggoda manusia melalui batinnya untuk berbuat
jahat dan menjauhi tuhan.
d.
Nafsu. Nafsu ada kalanya baik (muthma’inah)
dan ada kalanya buruk (‘amarah), akan tetapi nafsu cenderung mengarah
kepada keburukan.
Akhlak tercela ialah perangai atau tingkah laku pada tutur kata yang tercermin
pada diri manusia, cenderung melekat dalam bentuk yang tidak menyenangkan orang
lain. Sifat ini telah ada sejak lahir, baik wanita maupun pria, yang tertanam
dalam jiwa setiap manusia. Akhlak secara fitrah manusia adalah baik, namun dapat berubah menjadi akhlak buruk apabila manusia itu lahir dari keluarga yang tabiatnya kurang
baik, lingkungannya buruk, pendidikan tidak baik, dan kebiasaan-kebiasaan tidak
baik sehingga menghasilkan akhlak yang buruk.[29]
Sifat tercela
merupakan perbuatan yang dapat merugikan orang lain dalam kehidupan
sehari-hari. Dalam ajaran Islam sifat tercela ini sangat dibenci oleh Allah.
Perbuatan tercela biasanya dilandaskan pada nafsu yang tidak baik. Melakukan
perbuatan tercela dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Perbuatan
tercela menghasilkan akhlak tercela,
merugikan keluarga, lingkungan, dan segala bentuk kebaikan.
Sifat-sifat buruk atau
akhlak tercela dalam kehidupan manusia tergamabar dari perkataan dan perbuatannya.
Sifat-sifat buruk itu secara umum adalah sebagai berikut.
a. Sifat Dengki
Dengki menurut bahasa berarti menaruh perasaan marah (benci, tidak suka)
karena sesuatu yang amat sangat kepada keberuntungan orang lain.[30]
Dengki ialah rasa benci dalam hati terhadap kenikmatan orang lain dan disertai
maksud agar nikmat itu hilang atau berpindah kepadanya. Bahata dengki sama
dengan iri hati bahkan dengki lebih tajam dan mengikat kadarnya. Orang dengki
tidak segan-segan mencari tipu daya untuk menghilangkan nikmat orang lain dan
merebutnya. Biasanya orang yang memiliki sifat ini, hidup mereka tidak tenang,
selalu dirasuki perasaan was-was, dijauhi sahabat karib di lingkungan tempat
tinggalnya. Orang dengki tidak lepas dari azab dunia dan akhirat di ancam dengan neraka.
b. Sifat Iri Hati
Kata iri
menurut bahasa artinya merasa kurang senang melihat kelebihan orang lain,
kurang senang melihat orang lain beruntung, cemburu dengan keberuntungan orang,
tidak rela apabila orang lain mendapat nikmat dan kebahagiaan. Iri hati
termasuk akhlaq tercela.
Adapun
perasaan iri hati adalah menginginkan nikmat yang sama dengan apa yang
dianugerahkan Allah kepada orang lain. Iri hati yang menyangkut urusan agama,
seperti mencari ilmu pengetahuan dan mengamalkannya, beribadah yang tekun,
zakat, infaq, sedekah, membantu orang lain dan sejenisnya dapat dibenarkan, ini
merupakan iri hati yang terpuji. Iri hati seperti ini sekiranya tidak berhasil
meraih sukses seperti orang lain ia pun tidak akan putus asa, karena ia
menyadari bahwa Tuhan telah menentukan bagian masing-masing.[31]
Allah berfirman:
وَلَا
تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ
نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا
اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
Artinya: “Dan
janganlah kamu terlalu mengharapkan (ingin mendapat) limpah kurnia yang Allah
telah berikan kepada sebahagian dari kamu (untuk menjadikan mereka) melebihi
sebahagian yang lain (tentang harta benda, ilmu pengetahuan atau pangkat
kebesaran). (kerana telah tetap) orang-orang lelaki ada bahagian dari apa yang
mereka usahakan, dan orang-orang perempuan pula ada bahagian dari apa yang
mereka usahakan; (maka berusahalah kamu) dan mohonkanlah kepada Allah akan
limpah kurnianya. Sesungguhnya Allah senantiasa mengetahui akan tiap-tiap
sesuatu”. (An-Nisa 4:32).
c. Sifat Angkuh (Sombong)
Angkuh merupakan pribadi seseorang, menjadi sifat yang telah melekat
pada diri orang tersebut. Sombong, yaitu menganggap dirinya lebih dari yang
lain sehingga ia berusaha menutupi dan tidak mau mengakui kekurangan dirinya,
selalu merasa lebih besar, lebih kaya, lebih pintar, lebih di hormati, lebih
mulia, dan lebih beruntung dari yang lain, maka biasanya orang seperti ini
memandang orang lain lebih buruk, lebih rendah dan tidak mau mengakui kelebihan
orang tersebut, sebab tindakan itu menurutnya sama dengan merendahkan dan
menghinakan sendiri.[32]
d. Sifat Riya
Riya ialah amal yang dikerjakan dengan niat tidak ikhlas. Amal itu
sengaja dikerjakan dengan maksud ingin dipuji orang lain. Riya merupakan
penyakit rohani, biasanya ingin mendapat pujian, sanjungan tetapi dapat
menghalang-halangi manusia dari jalan Allah.
C.
STRATEGI
PENDIDIKAN AKHLAK (KARAKTER)
Desain pembelajaran merupakan kegiatan
yang penting untuk dilaksanakan sebelum seorang guru melaksanakan aktifitas
pembelajaran di kelas. Desain sistem pembelajaran terdiri atas empat komponen
yang memiliki hubungan fungsional antara materi pembelajaran, kompetensi
pembelajaran, strategi pembelajaran dan evaluasi pembelajaran. Hubungan keempat
komponen tersebut digambarkan sebagai berikut;

Dalam dunia
pendidikan, menurut David (1976) strategi diartikan sebagai a plan, method,
or series of activities designed to achieves a particular educational goal. Maka
strategi dapat diartikan sebagai perencanaan yang berisi tentang serangkaian
kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. [33]
Tujuan
pendidikan akhlak adalah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong sepontan
untuk melahirkan semua perbuatan bernilai baik, sehingga mencapai kesempurnaan
dan memperoleh kebahagiaan yang sempurna. Pendidikan akhlak merupakan persoalan
utama dan mendasar bagi hidup manusia.[34] Akhlak yang memiliki nuansa religius tidak bisa terpisahkan dengan
proses pembentukan karakter seseorang yang memiliki kualitas atau kekuatan mental dan moral.
Pendidikan yang mengajarkan
hakikat karakter dalam tiga ranah cipta, rasa, dan karsa yang mampu mengolah
fikiran, hati dan jiwa. Akhlak atau
karakter merupakan pendidikan utama dan pertama yang harus dimiliki setiap
individu yang membawa implikasi positif bagi terbangunnya karakter yang lain,
yang mengacu pada sifat Nabi Muhammad SAW yang memiliki sifat; jujur (sidiq),
dapat di percaya (amanah), cerdas (fathanah) dan menyampaikan
yang benar (tabligh).[35]
Dengan
demikian, pendekatan strategi pendidikan akhlak bukan monolitik dalam
pengertian harus menjadi nama bagi suatu mata pelajaran atau lembaga sekolah,
melainkan terintegrasi ke dalam berbagai mata pelajaran atau lembaga; in
formal (keluarga), formal (sekolah) dan non formal (lingkungan masyarakat).[36]
1.
Tujuan dan Manfaat Mempelajari Ilmu Akhlak
Manusia sebenarnya mampu menyelidiki gerak
jiwanya, perkataan dan perbuatannya lalu memilah dan memilih
mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk. Dengan
ilmu akhlak, manusia mampu mengekspresikan perbuatan, tingkah laku, dan
perkataan yang sehat, baik dan bijak.
Pelajaran akhlak sebenarnya merupakan
penjabaran dari takwa sebagai akidah dan praktik ibadah. Dengan mempelajari
akhlak manusia diharapkan mampu mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang
buruk menuju ridha Allah SWT. Apa yang dilakukan manusia ini bersangkutan
dengan dirinya sendiri, keluarga, dan masyarakat. Setelah manusia mengetahui
mana yang baik dan buruk maka kemudian diresapkan dalam hati sehingga
perbuatannya akan timbul dari kesadaran sendiri, bukan paksaan dari luar.
Seseorang lalu tersadar bahwa dirinya adalah mahluk pribadi sekaligus mahluk
sosial.
Ilmu akhlak berujuan memberikan panduan
kepada manusia agar mampu menilai dan menentukan mana perbuatan baik dan buruk.
Setelah mengetahui hal-hal yang baik, maka seseorang terdorong untuk
melakukannya dan mendapatkan manfaat darinya, sebaliknya setelah mengetahui
hal-hal buruk, maka seseorang terdorong untuk meninggalkannya.
Adapun manfaatnya; 1) untuk membersihkan
diri manusia dari perbuatan tercela, 2) akhlak yang mulia berguna mengarahkan
dan mewarnai berbagai aktifitas kehidupan manusia di segala bidang. 3)
kehidupan yang lebih baik, bahagia, tenang yang dirasakan manusia dalam kehidupan
perseorangan, berkeluarga, bertetangga, bermasyarakat, dan bernegara.
Ilmu akhlak diharapkan manusia mampu
mengendalikan diri, memperhatikan kepentingan orang lain, penuh tenggang rasa,
dan mampu memupuk rasa persatuan dan kesatuan dalam hidup bermasyarakat dan
bernegara. Dan semuanya ini memerlukan penanaman iman dan takwa.[37]
Proses dan tujuan pendidikan melalui
pembelajaran tiada lain adanya perubahan kualitas tiga aspek pendidikan, yakni;
kognitif, afektif, dan psikomotorik.[38]
Tujuan pembelajaran sebagai peningkatan
wawasan, perilaku, dan ketrampilan, dengan berlandaskan empat pilar pendidikan.
Tujuan akhirnya adalah terwujudnya insan yang berilmu dan berkarakter. Karakter
yang diharapkan tidak tercerabut dari budaya asli Indonesia sebagai perwujudan
nasionalisme dan sarat muatan agama (religius).[39] Untuk lebih jelsnya perhatikan gambar sebagai berikut;

2.
Materi Pendidikan Akhlak
Materi
pendidikan akhlak secara garis besar mencakup;
1) Pendidikan
akhlak manusia kepada Allah (Taqwa, Cinta dan Ridha, Ikhlas, Khauf dan
Raja’, Tawakkal, Syukur, Muraqabah, Taubat)
dan Rasulullah SAW (Mencintai dan memuliakan Rasul, Mengikuti dan
menaati rasul, mengucapkan shalawat dan salam),yang didasari
nilai-nilai pengetahuan ilahiah.
2) Pendidikan Akhlak manusia kepada diri
sendiri atau pribadi (shidiq, amanah, istiqamah, iffah, mujahadah, syaja’ah,
tawadhu’, malu, sabar, pemaaf),
3) Pendidikan Akhlak manusia
kepada sesama manusia, (berkeluarga,
bermasyarakat, bernegara) yang bermuara dari nilai-nilai kemanusiaan.
4) Pendidikan Akhlak manusia
terhadap alam fauna, flora, dan benda-benda.
Yang berdasarkan ilmu
pengetahuan.
3.
Proses-Proses Pembentukan Akhlak
Di samping diperlukan ilmu (pemahaman yang
benar tentang mana yang baik dan mana yang buruk), untuk membentuk akhlak
seseorang diperlukan strategi pendidikan akhlak melalui; keluarga, sekolah,
masyarakat, dan lain-lain. Proses pembentukan akhlak yang nantinya harus terus
dibina, karena pembinaan akhlak bagi setiap muslim merupakan sebuah kewajiban
yang harus dilakukaan terus menerus tanpa henti, baik melalui pembinaan orang lain
maupun pembinaan diri sendiri tanpa harus dituntun oleh orang lain. Proses-proses
pembentukan akhlak, antara lain;
Pertama, melalui
keteladanan (Qudwah, uswah). Orang tua dan guru yang bisa memberikan
keteladanan mengenai perilaku baik, maka biasanya akan ditiru oleh anak-anaknya
dan muridnya dalam mengembangkan pola prilaku mereka. Imam al-Ghazali pernah
mengibaratkan bahwa “orang tua itu seperti cermin bagi anak-anaknya”. Artinya;
perilaku orang tua itu biasanya akan ditiru oleh anak-anaknya. Karena dalam
diri anak-anak terdapat kecenderungan suka meniru (hubbu al taqlid). Oleh
sebab itu, keteladan moral di dalam keluarga khususnya moral orang tua sangat
penting bagi pendidikan moral anak. Bahkan hal itu jauh lebih bermakna dari
pada sekedar nasihat lisan (indoktrinasi). Jangan berharap anak akan
bersifat sabar, sopan, bertutur kata lembut dan lain-lain, jika kita sebagai
orang tua memberi contoh sikap yang tidak baik. Keteladanan yang baik merupakan
kiat yang mujarab dalam mengembangkan prilaku moral bagi anak.
Kedua, melalui
pengajaran (ta’lim). Mislanya, dengan mengajarkan empati dengan sikap
disiplin. Kita tidak perlu menggunakan cara-cara kekuasaan dan kekuatan. Sebab
cara tersebut cenderung mengembangkan moralitas yang eksternal, yaitu anak
berbuat baik sekedar takut hukuman orang tua atau guru yang berakibat
menjadikan anak kurang kreatif, inovatif dalam berpikir dan bertindak. Anak
jangan dibikin takut kepada orang tua atau guru, melainkan ditanamkan sikap
hormat dan segan.
Ketiga pembiasaan (ta’wid).
Melatih anak atau murid dengan perbuatan terpuji yang bisa membentuk
karakter kepribadiannya. Sebagai contoh anak sejak kecil dibiasakan membaca
basmalah sebelum makan, makan dengan tangan kanan, bertutur kata dengan baik,
dan sifat terpuji lainnya. Jika hal itu dibiasakan, maka akan menjadi akhlak
mulia bagi anak ketika ia tumbuh dewasa.
Keempat pemberian
motivasi. Memberikan motivasi baik berupa pujian atau hadiah tertentu, akan
menjadi salah satu latihan positif dalam proses pembentukan akhlak, terutama
ketika ia masih kecil. Motivasi itu pada
awalnya mungkin masih bersifat material, tetapi nantinya akan meningkat menjadi
motivasi yang spiritual, memberikan kesadaran beribadah karena kebutuhan kita
untuk mendapatkan ridha pada Allah S.W.T.
Kelima, pemberian
ancaman dan sangsi hukuman. Dalam rangka proses pembentukan akhlak kadang
diperlukan ancaman, sehingga anak tidak bersifat dan bersikap sembrono. Dengan begitu, anak ketika mau melanggar
norma tertentu akan merasa enggan, apalagi jika sangsi hukumannya cukup berat.[40]
4.
Penilaian Akhlak
Menurut Ahlus Sunnah berpendapat bahwasannya
“perbuatan atau akhlak yang tidak
terkandung dalam perintah atau larangan agama (Islam), tidak dapat dinilai baik
atau buruk; wajib atau haram; mulia atau hina. Maka perbuatan yang tercantum
dalam agama itulah yang dapat diberi penilaian yang demikian; sehingga ada yang
menjadi baik dan ada pula yang buruk”. Maksudnya Ahlus sunnah memandang
bahwa perbuatan manusia, bukan merupakan sifat asasi dalam diri setiap manusia
yang berwujud baik atau buruk, akan tetapi perbuatan itu dapat dinilai baik
atau buruk, bila dinilai baik atau buruk oleh agama. Oleh karena itu, orang
yang berbuat baik menurut ketentuan agama, maka diberinya pahala oleh Allah
SWT, dan sebaliknya bila ia berbuat buruk menurut ketentuan agama, maka
diberinya ganjaran atau ancaman oleh-Nya.
Jadi yang mampu memberikan penilaian
akhlak hanyalah dirinya dalam arti menggunakan penilaian hati nurani yakni sesuatu kekuatan batin dalam hati yang
mendapatkan nur ilahi; sehingga manusia dapat melihat hakikat sesuatu dan
kenyataannya, dengan pusat pandangan batin dalam dirinya yang akan dipertanggung jawabkan pada Allah
SWT dan sesama manusia (hamba Allah yang
dimuliakan).
Penilaian
akhlak tercermin dalam sikap hidup seseorang yang sudah mencapai tujuan
akhlak. Dalam sikap hidup yang
dimaksudkan ada empat macam sebagai berikut:[41]
a. Arif atau bijaksana; yaitu
kemampuan jiwa yang dapat mengekang hawa nafsu, emngendalikan amarahnya dan
sanggup melakukan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan larangan-larangan Allah
di setiap saat.
b. Menjaga kesucian diri; yaitu menahan diri dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan
menjahui hal-hal yang tidak mengandung kebaikan, sehingga sikap hidup seseorang
selalu terhindar dari perbuatan yang hina, lalu terarah kepada perbuatan yang
mulia.
c. Keberanian; yaitu sikap hidup yang selalu berani membela kebenaran agama dan
negara dari berbagai ancaman tanpa ragu-ragu, karena ia sadar tentang kewajiban
dan tanggung jawabnya untuk membela kebenaran itu.
d. Keadilan; yaitu sikap hidup yang selalu menempatkan sesuatu pada porsi yang
sebenarnya; baik ia sebagai pemimpin rumah tangga atau masyarakat, maupun
sebagai orang yang dipimpin, sehingga ia dapat memberikan hak-hak orang lain
dengan sebaik-baiknya.
IV KESIMPULAN
1.
Akhlak Menurut pendekatan
etimologi, perkataan “akhlaq” berasal dari bahasa Arab yang sudah
di-Indonesiakan.[42]
Kata akhlaq adalah jama’ dari bentuk mufradnya “khuluqun”
( خُلُقٌ ) yang
menurut istilah diartikan: budi pekerti, perangai, kesopanan, tingkah laku,
tabiat, watak (karakter), kesusilaan (kesadaran etik dan moral). Dari
pengertian tersebut dapat diketahui bahwa akhlak adalah sifat-sifat yang dibawa
manusia sejak lahir yang tertanam dalam jiwanya dan selalu ada padanya. Sifat
itu dapat lahir berupa perbuatan baik yang disebut akhlak yang mulia atau
terpuji, ataupun perbuatan buruk yang disebut akhlak tercela sesuai
pembinaannya. Secara terminologi menurut
Ibrahim Anis mengatakan akhlak ialah
ilmu yang obyeknya membahas nilai-nilai yang berkaitan dengan perbuatan
manusia, dapat disifatkan dengan baik dan buruknya.
2.
Akhlak terpuji Menurut Al-Ghazali,
berakhlak mulia atau terpuji artinya “menghilangkan semua adat kebiasaan yang
tercela yang sudah digariskan dalam agama Islam serta menjauhkan diri dari
perbuatan tercela tersebut, kemudian membiasakan adat kebiasaan yang baik,
melakukannya dan mencintainya”. dan akhlak tercela Menurut Imam Ghazali, akhlak
yang tercela ini dikenal dengan sifat-sifat muhlikat, yakni segala
tingkah laku manusia yang dapat membawanya terhadap kebinasaan dan kehancuran
diri, yang tentu saja bertentangan dengan fitrahnya untuk selalu mengarah
kepada kebaikan.
3.
Strategi dapat diartikan sebagai
perencanaan yang berisi tentang serangkaian kegiatan yang didesain untuk
mencapai tujuan pendidikan tertentu. Tujuan pendidikan akhlak adalah terwujudnya
sikap batin yang mampu mendorong sepontan untuk melahirkan semua perbuatan
bernilai baik, sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan yang
sempurna. Pendidikan akhlak merupakan persoalan utama dan mendasar bagi hidup
manusia. pendekatan strategi pendidikan akhlak terintegrasi ke dalam
berbagai mata pelajaran atau lembaga; in formal (keluarga), formal (sekolah)
dan non formal (lingkungan masyarakat).
DAFTAR PUSTAKA
al-Qur’an terjemahan, Kudus: Menara
Kudus, 1427 H
Abdullah, Yatimin, Studi Akhlak dalam Perspektif Al Qur’an, Jakarta: Azah,
2007

Adisusilo, Sutarjo, Pembelajaran
Nilai-Karakter; Konstruksi dan VCT Sebagai Inovasi Pendekatan Pembelajaran
Efektif, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2012
Ainusysyam, Fadlil Yani, Pendidikan
Akhlak, di dalam buku Ilmu dan Aplikasi Pendidikan; Bagian III
Pendidikan Disiplin Ilmu, Bandung: PT. Imtima, 2007
al-Mawardi, Abu al-Hasan Ali
al-Bashri, Etika Jiwa; Menuju Kejernihan Jiwa dalam Sudut Pandang Islam, Bandung:
CV Pustaka Setia, 2003
al-Qardhawi, Yusuf, Ash-shabr fi
al-Qur’an, Kairo: Maktabah Wahbah,
1989
Amin, Ahmad, Etika (Ilmu
Akhlak), Jakarta: Bulan Bintang, 1983
Anwar, Rosihon, Akidah Akhlak, Bandung: CV Pustaka
Setia, 2008
Asmaran As, Pengantar Studi
Akhlak; Edisi Revisi, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2002
Barnawi & M. Arifin, Strategi
& Kebijakan; Pendidikan Karakter, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012
Ilyas , Yunahar, Kuliah Akhlaq,
Yogyakarta: LPPI, 2011
Khalid, ‘Amr Muhammad Hilmi, Akhlak
Mukmin Sejati, Bandung: Media Qalbu, 2004
Khoiri, Alwan,dkk, Akhlaq/Tasawuf,
Yogyakarta: Pokja Akademik, 2005
Laila, Abu & Muhammad Thohir, Akhlaq
Seorang Muslim, Bandung: PT. Al Ma’arif, 1995
Latif, Zaky
Mubarok dkk, Akidah Islam, Jogjakarta: UII Press, 2006
Mahyuddin, Kuliah Akhlaq
Tasawuf, Jakarta: Kalam Mulia, 2003
Ma’luf, Luis, Kamus Al-Munjid, Bairut: al-Maktabah
al-Katukuliyah, t.t.,
Mustaqim, Abdul, Akhlaq Tasawuf;
Jalan Menuju Revolusi Spiritual, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2007
Rakhmat, Jalaluddin, Dahulukan
Akhlak di Atas Fiqih, Bandung: Mizan Media Utama, 2007
Rifa’i, Moh., Akhlaq
Seorang Muslim, Semarang: Wicaksana, 1992
Salam, Burhanuddin, Etika
Individual, Jakarta: Rineka Cipta, 2000
Saebani, Beni Ahmad & Abdul
Hamid, Ilmu Aaakhlak, Bandung: Pustaka Setia, 2010
Sinaga, Hasanudin & Zainudin, Pengantar
Studi Akhlak, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2004
Sholihin, M. & Anwar, M.
Rosyid, Akhlak Tasawuf; Manusia, Etika dan Makna Hidup, Bandung: Nuansa,
2005
Suwito, Filsafat Pendidikan
Akhlak; Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu
Pengetahuan, Yogyakarta: Belukar, 2004
Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. Ke-9,
Jakarta: Balai Pustaka, 1997
Yunus, Mohammad, Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Erlangga, 1994
Zahruddin & Sinaga,
Hasanuddin, Pengantar Studi Akhlak, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2004
[1] Makalah ini kami presentasikan pada matakuliah Studi al-Qur’an; Teori dan Metodologi yang di ampu oleh Bpk. Dr. K. H. Sukamta,
M.A
[2] Lihat, Zaky Mubarok Lathif, dkk, Akidah
Akhlak, (Jogjakarta: IKAPI, 2006), hlm. 43-44
[3] Lihat, Barnawi & M. Arifin, Strategi & Kebijakan; Pendidikan
Karakter, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm. 5
[5] Luis
Ma’luf, Kamus Al-Munjid, (Bairut: al-Maktabah al-Katukuliyah, t.t.,).,
hlm. 194
[6] Prof. Dr. Amin mengatakan bahwa akhlak ialah
kebebasan akan sesuatu maka kebiasaannya itu disebut akhlak. Contohnya,
bila kehendak itu dibiasakan memberi, maka kebiasaan itu ialah akhlak dermawan.
Di dalam Ensiklopedi Pendidikan dikatakan bahwa akhlak yaitu kelakuan
baik yang merupakan akibat dari sikap jiwa yang benar terhadap khaliknya dan
terhadap sesama. Lihat, Zainudin &
Hasanudin Sinaga, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: PT Rajagrafindo,
2004), hlm. 1
[7] Dari definisi akhlak secara subtansial tampak
saling melengkapi di antaranya; 1) akhlak adalah perbuatan yang telah
tertanam kuat dalam jiwa seorang sehingga menjadi kepribadiannya atau karakter.
2) akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa
pemikiran. 3) akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang
yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar, 4) akhlak adalah
perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena
sandiwara, 5) akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan ihlas
semata-mata karena Allah SWT. Lihat, dalam bukunya Beni Ahmad Saebani dan Abdul
Hamid, Ilmu Akhlak, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm15
[9] Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq,
(Yogyakarta: LPPI, 2011) hlm. 3
[11] Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq....hlm. 3
[12] Dengan demikian, secara terminologis
pengertian akhlak adalah tindakan yang berhubungan dengan tiga unsur penting,
yaitu sebagai berikut; 1) kognitif; yaitu pengetahuan dasar manusia
melalui potensi intelektualitasnya, 2)afektif, yaitu pengembangan potensi
akal manusia melalui upaya menganalisis berbagai kejadian sebagi bagian dari
pengembangan ilmu pengetahuan. 3) psikomotorik; yaitu pelaksanaan pemahaman rasional ke dalam
bentuk perbuatan konkret. Lihat Beni Ahmad Saebani dan Abdul Hamid, Ilmu
Akhlak,…hlm. 15-16
[13] AL-Qur’an Terjemahan, (Kudus: Menara Kudus,
1427 H), hlm. 564
[14] Al-Qur’an terjemahan, (Kudus: Menara Kudus,
1427 H), hlm. 564
[16] Alwan Khoiri,dkk, Akhlaq/Tasawuf,
(Yogyakarta: Pokja Akademik, 2005), hlm. 20
[17] Ibid, hlm 24
[18] Akhlak memiliki karakteristik sebagai
berikut; 1) akhlak yang di dasari nilai-nilai pengetahuan ilahiah, 2) akhlak
yang bermuara dari nilai-nilai kemanusiaan 3) akhlak yyang berdasarkan ilmu
pengetahuan. Lihat, Beni Ahmad Saebani dan Abdul Hamid, Ilmu Akhlak,…hlm. 16
[19] Ibid, hlm. 25-26
[20] Zahrudin & Hasanuddin Sinaga, Pengantar
Studi Akhlak........hlm. 158
[22] Yusuf al-Qardhawi, Ash-Shabr fi al-Qur’an,
(Kairo: Maktabah Wahbah, 1989), hlm. 8
[24] Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq.....hlm
97
[25] Burhanuddin Salam, Etika Individual,
(Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hlm. 184
[26] Abu Laila & Muhammad Thohir, Akhlaq
Seorang Muslim, (Bandung: PT. Al Ma’arif, 1995), terj, hlm. 303
[28] Moh. Rifa’i, Akhlaq Seorang Muslim,
(Semarang: Wicaksana, 1992), hlm. 116
[30] Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Cet. Ke-9, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), hlm. 372
[33] Dari rumusan tersebut ada dua hal
yang perlu diperhatikan; pertama, strategi pembelajaran merupakan
rencana tindakan termasuk metode dan pemanfaatan berbagai sumber daya dalam
pembelajaran. Kedua, strategi disusun untuk mencapai tujuan tertentu.
Oleh sebab itu, sebelum menentukan strategi harus dirumuskan terlebih dahulu tujuan
pembelajaran sebagai suatu kegiatan pembelajaran yang ingin dicapai. Maka
strategi pembelajaran sebagai suatu kegiatan pembelajaran harus dikerjakan baik
oleh pendidik maupun peserta didik agar tujuan pembelajaran dapat dicapai
secara efektif dan efesien. Lihat, Sutarjo Adisusilo, Pembelajaran
Nilai-Karakter; Konstruksi dan VCT Sebagai Inovasi Pendekatan Pembelajaran
Efektif, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2012), hlm. 85
[34] Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak; Kajian
atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta:
Belukar, 2004), hlm. 116
[35] Barnawi & M. Arifin, Strategi &
Kebijakan; Pendidikan Karakter, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm. 24
[36] Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak; Kajian
atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan,…………. hlm. 38
[37] M. Sholihin dan M. Rosyid Anwar, Akhlak
Tasawuf; Manusia, Etika dan Makna Hidup, ( Bandung: Nuansa, 2005), hlm.
61-63
[38] Dengan demikian, secara terminologis
pengertian akhlak adalah tindakan yang berhubungan dengan tiga unsur penting,
yaitu sebagai berikut; 1) kognitif; yaitu pengetahuan dasar manusia
melalui potensi intelektualitasnya, 2)afektif, yaitu pengembangan
potensi akal manusia melalui upaya menganalisis berbagai kejadian sebagi bagian
dari pengembangan ilmu pengetahuan. 3) psikomotorik; yaitu pelaksanaan
pemahaman rasional ke dalam bentuk perbuatan konkret. Lihat Beni Ahmad Saebani
dan Abdul Hamid, Ilmu Akhlak,…hlm. 15-16
[40] Abdul Mustaqim, Akhlaq Tasawuf; Jalan
Menuju Revolusi Spiritual, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2007), hlm. 9-11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar