Jumat, 13 Desember 2013

ANALISIS METODE ILMU Al-JARH WA Al-TA’DIL (Pendekatan Ontologi dan Epistemologi)



ANALISIS METODE ILMU Al-JARH WA Al-TA’DIL
(Pendekatan Ontologi dan Epistemologi) *
  Etey Qomariah, S.Pd.I *

ABSTRAK
Ilmu al-jarh wa ta’dil  adalah ilmu yang membahas hal ihwal rawi dengan menyoroti kesalehan dan kejelekannya, sehingga dengan demikian periwayatannya dapat diterima atau ditolak. Ilmu Al-Jarh wa Al-Ta’dil mempunyai posisi yang sangat penting dalam disiplin ilmu hadis. Kenyataan itu di dasarkan kepada bahwa ilmu ini merupakan salah satu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari ilmu-ilmu hadis lainnya dalam menentukan diterima atau ditolaknya suatu hadis. Jika seorang ahli hadis dinyatakan cacat maka periwayatannya ditolak, sebaliknya jika seorang perawi dipuji dengan pujian adil, maka periwayatannya diterima, selama syarat-syarat lain untuk menerima hadis di penuhi. Dengan pendekatan ontologi, setidaknya ilmu jarh wa ta’dil di mata filsafat, keilmuan merupakan bangunan ilmu dalam lingkup empiris manusia dan dalam ilmu kemanusiaan (human science). Oleh karenanya, ilmu ini harus memposisikan dirinya sebagai ilmu yang memiliki metode tertentu yang sistematis dan memiliki tata nilai kebenaran tertentu. Adapun pendekatan epistemologi, ilmu jarh wa ta’dil bisa melakukan penelitian yang dilandasi sikap kritis serta dasar argumen yang jelas dan mendalam terhadap para rawi yang dinilai.
Kata Kunci: Ilmu al-Jarh, al-Ta’dil, Ontologi dan Epistemologi

A.    PENDAHULUAN
Sebagai diketahui, banyak istilah untuk menyebut nama-nama hadis sesuai dengan fungsinya dalam menetapkan syari’at Islam.[1] Diantaranya ada hadis shahih, hadis hasan, dan hadis dha’if. Masing-masing memiliki persyaratannya sendiri-sendiri. Persyaratan itu ada yang berkaitan dengan persambungan sanad, kualitas para periwayat yang dilalui hadis, dan ada pula yang berkaitan dengan kandungan hadis itu sendiri. Maka persoalan yang ada dalam ilmu hadis ada dua. Pertama berkaitan dengan sanad, kedua berkaitan dengan matan. Ilmu yang berkaitan dengan sanad akan mengantar kita menelusuri apakah sebuah hadis itu bersambung sanadnya atau tidak, dan apakah para periwayat hadis yang dicantumkan di dalam sanad hadis itu orang-orang terpercaya atau tidak. Adapun ilmu yang berkaitan dengan matan akan membantu kita mempersoalkan dan akhirnya mengetahui apakah informasi yang terkandung di dalamnya berasal dari Nabi atau tidak. Misalnya, apakah kandungan hadis bertentangan dengan dalil lain atau tidak.
Para ahli hadis sepakat bahwa untuk menilai kualitas hadis, terlebih dahulu harus dilihat dari segi matan dan sanad-nya.[2] Dalam hubungannya dengan penelitian sanad, yang harus diteliti adalah rangkaian atau persambungan sanad dan keadaan pribadi periwayat (rawi) hadis menyangkut dua hal; pertama, ke-‘adil[3]-an yang berhubungan dengan kualitas pribadi peri-wayat dan kedua, ke-dhabit[4]-an yang berhubungan dengan kapasitas intelektualnya.[5] Apabila kedua hal tersebut ada pada periwayatan hadis maka periwayat itu dinyatakan tsiqah[6] dan hadis yang diriwayatkannya, dapat diterima sebagai hujjah. 
Berkaitan dengan sanad ada ilmu rijal al-hadis dan ilmu al-jarh wa al-ta’dil.  Dalam upaya memelihara ke-autentikan hadis sebagai sumber kedua dari ajaran Islam, maka para ulama terus  berusaha dalam menghimpun hadis-hadis Nabi SAW. Dengan cara menilai para periwayat secara  jarh atau ta’dil. Ilmu al-jarh wa at-ta’dil merupakan suatu ilmu untuk menyeleksi para periwayat hadis, apakah ia cacat atau adil sehingga hadis yang diriwayatkannya itu dapat diterima atau ditolak. Melalui syarat-syarat al-jarh wa at-ta’dil, lafal-lafal dan kaidah-kaidah tertentu, para ulama hadis menilai para periwayat dari segi jarh (cacat) dan ta’dil (bersih)nya. Dalam ilmu hadis, penyelidikan terhadap periwayat adalah kewajiban dalam rangka memelihara kemurnian sunnah Nabi yang didasarkan pada kaedah umum ajaran Islam.
Dalam kajian Ulumul Hadis, pembahasan mengenai keadaan pribadi periwayat hadis, baik mengenai kualitas pribadinya maupun kapasitas intelektualnya, merupakan fokus kajian ilmu Jarh dan Ta’dil.[7] Kedudukan ilmu Al-Jarh wa Al-Ta’dil  ini semakin signifikan ketika seseorang hendak melakukan penelitian hadis atau biasa dikenal dengan sebutan Takhrij Al-Hadis.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa yang di maksud ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil?
2.      Bagaimana sejarah dan perkembangan ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil?
3.      Apa kegunaan dan objek kajian ilmu al-Jarh Wa Al-Ta’dil?
4.      Bagaimana tingkatan dan hukum ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil?
5.      Bagaimana analisis metode ilmu al-jarh wa ta’dil dengan pendekatan ontologi dan epistemologi?

C.    DESKRIPSI
Sebelum mendiskripsikan tentang ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil terlebih dahulu memahami tentang peta konsep Ulumul Hadis:[8]


 


Oval: Ulum al-HadisDalam Sejarah Panjangnya Melahirkan

Oval: Anasir Hadis
(Sanad, Rawi dan Matan
Objek Kajian



 
Oval: Ilmu-ilmu terkaitEpistemologi dan Literatur Pendukung



 
Seperti


 
 Ilmu Rijal al-Hadis
Ilmu Jarh wa Ta’dil    
Asbabal Wurud, dll
Oval: Penilaian & PemahamanTujuan Akhir

1.        Pengertian Ilmu Al-Jarh Wa Al-Ta’dil
Menurut bahasa, al-Jarh (الجرح) dari kata Jaraha-Yajrahu جرح – يجرح  [9]  yang berarti cacat atau luka atau seseorang membuat luka pada tubuh orang lain yang ditandai dengan mengalirnya darah dari luka itu.[10] Istilah ini digunakan untuk menunjukkan “sifat jelek” yang melekat pada periwayat hadis, seperti: pelupa, pembohong dan sebagainya.[11] Apabila sifat itu dapat dikemukakan maka dikatakan bahwa periwayat tersebut cacat. Hadis yang dibawa oleh periwayat semacam ini di tolak, dan hadisnya di nilai lemah (dha’if). [12] Sedangkan kata Al-Ta’dil (التعديل) merupakan akar kata dari ‘Addala-Yu’addilu (عدل - يعدل) yang berarti mengadilkan, menyucikan, atau menyamakan.[13]. Istilah ini digunakan untuk menunjukkan sifat baik yang melekat pada periwayat, seperti: kuat hafalan, terpercaya, cermat, dan lain sebagainya. Orang yang mendapat penilaian seperti ini disebut ‘adil, sehingga, hadis yang dibawanya dapat diterima sebagai dalil agama. Hadisnya dinilai shahih, Sesuai dengan fungsinya sebagai sumber ajaran Islam, maka yang diambil adalah hadis shahih.[14]  Maka Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil adalah ilmu yang membahas tentang keadaan para perawi dari segi diterima atau ditolak riwayat mereka.[15]
2.      Sejarah dan Perkembangan Ilmu al-Jarh Wa Al-Ta’dil
Diantara hasil perjuangan yang sangat berfaedah dari ulama’ hadis ialah lahirnya Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil atau ilmu Mizani Rijal yaitu yang membahas perilaku para rawi, keterpercayaannya, atau sebaliknya. Ilmu yang tumbuh dalam rangka gerakan mulia ini, sepanjang sejarah  umat manusia di manapun, al-Jarh wa al-ta’dil-lah yang paling menonjol dan paling berfaedah. Adapun yang menyebabkan lahir dan tumbuhnya ilmu tentang prilaku para rawi ialah kesungguhan ulama dalam usaha menjaga kemurnian hadis.[16]
Munculnya ilmu  al-jarh wa al-ta’dil seiring bertumbuhnya periwayatan hadis. Namun perkembangannya, sejak terjadi al-fitnah al-kubra atau pembunuhan terhadap khalifah Utsman bin Affan pada tahun 36 H. Pada waktu itu, kaum muslimin telah terkotak-kotak kedalam berbagai kelompok yang masing-masing mereka merasa mamiliki atas tindakan yang mereka lakukan apabila mengutip hadis-hadis Rasulullah SAW. Jika tidak ditemukan, mereka kemudian membuat hadis-hadis palsu. Sejak saat itulah, para ulama hadis menyeleksi hadis-hadis Rasulullah S.W.A, tidak hanya dari segi matan atau materinya saja, tetapi mereka juga melakukan kritik terhadap sanad serta para perawi yang menyampaikan hadis tersebut. Diantara sahabat yang pernah membicarakan masalah ini adalah Ibnu Abbas (68 H), Ubaidah Ibnu Shamit (34 H), dan Anas bin Malik (39 H).
Apa yang dilakukan oleh para sahabat terus berlanjut pada masa tabi’in dan at-ba’ut tabi’in serta masa-masa sesudah itu untuk memperbincangkan kredibilitas serta akuntabilitas perawi-perawi hadis. Diantara para tabi’in yang membahas al-jarh wa al-ta’dil adalah Asy-Sya’bi (103 H), Ibnu Sirrin (110 H), dan Sa’id bin al-Musayyab (94 H). Ulama-ulama  al-jarh wa al-ta’dil menerangkan kejelasan para perawi, walaupun para rawi itu ayahnya, anaknya, ataupun saudaranya sendiri. Mereka berbuat demikian, semata-mata untuk memelihara agama dan mengharapkan ridha dari Allah SWT. Syu’bah Ibnu al-Hajjaj (82 H-160 H), pernah ditanyakan tentang hadis Hakim bin Zubair. Syu’bah menjawab: “Saya takut kepada neraka”. Hal yang sama pernah dilakukan kepada Ali bin al-Madini (161 H-234 H) tentang ayahnya sendiri. Ali bin al-Madini menjawab, “Tanyakanlah tentang hal itu kepada orang lain”. Kemudian orang yang bertanya itu mengulangi lagi pertanyaannya. Kemudian Ali berkata: “Ayahku adalah seorang yang lemah dalam bidang hadis”.[17]
Para ahli hadis sangat berhati-hati dalam memperkatakan keadaan para rawi hadis. Mereka mengetahui apa yang harus dipuji dan apa yang harus dicela. Mereka melakukan ini hanyalah untuk menerangkan kebenaran dengan rasa penuh tanggung jawab.
Ilmu al-jarh wa al-ta’dil  telah ada sejak zaman sahabat, berkembang sejalan dengan perkembangan periwayatan hadis dalam Islam. Beberapa ulama bekerja mengembangkan dan menciptakan berbagai kaidah, menyusun berbagai istilah, serta membuat berbagai metode penelitian sanad dan matan hadis, untuk “menyelamatkan” hadis Nabi dari “noda-noda” yang merusak dan menyesatkan.[18]
Demikianlah sesungguhnya ilmu al-jarh wa al-ta’dil  adalah kewajiban syar’i yang harus dilakukan. Penelitian terhadap para perawi dan keadilan bertujuan untuk mengetahui apakah rawi itu seorang yang amanah, alim terhadap agama, bertaqwa, hafal dan teliti pada hadis, tidak sering dan tidak peragu. Semua ini merupakan suatu keniscayaan. Kealpaan terhadap kondisi tersebut akan menyebabkan kedustaan kepada Rasulullah SAW.[19]
Al-Jarh dan al-ta’dil tidak dimaksudkan untuk memojokkan seorang rawi, tapi untuk menjaga kemurnian dan otentisitas agama Islam dari campur tangan para pendusta. Maka hal itu, merupakan suatu keharusan yang harus dilakukan. Sebab tanpa ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil tidak akan mungkin bisa, dibedakan mana hadis yang asli dan mana hadis yang palsu.
Pada abad ke-2 H, ilmu al-jarh wa al-ta’dil mengalami perkembangan pesat dengan banyaknya aktivitas para ahli hadis untuk men-tajrih dan men-ta’dil para perawi. Diantara ulama yang memberikan perhatian pada masalah ini adalah Yahya bin Sa’ad al-Qathtan (189H), Abdurrahman bin Mahdi (198 H), Yazim bin Harun (189 H), Abu Daud at-Thayalisi (240 H), dan Abdur Razaq bin Humam (211 H).[20]
Perkembangan ilmu al-jarh wa al-ta’dil mencapai puncaknya pada abad ke-3 H. pada masa ini muncul tokoh-tokoh besar dalam ilmu al-jarh wa al-ta’dil, seperti Yahya bin Ma’in (w.230 H), Ali bin Madini (w.234 H), Abu Bakar bin Abi Syaihab (w.235 H), dan Ishaq bin Rahawaih (w.237 H). Ulama-ulama lainnya adalah ad-Darimi (w.255 H), al-Bukhari (w.256 H), Muslim (w.261 H), al-Ajali (w.261 H), Abu Zur’ah (w.264 H), Abu Daud (w.257 H), Abu Hatim al-Razi (w.277 H), Baqi Ibnu Makhlad (w.276 H), dan Abu Zur’ah ad-Dimasqy (w.281 H).[21]
Setelah proses yang panjang kemudian di mulailah penulisan kitab tentang al-Jarh Wa al-Ta’dil. Adapun yang mula-mula menulis dan mempercakapkan mengenai masalah al-Jarh wa al-Ta’dil ialah; Yahya bin Mu’in (233 H), Ahmad bin Hambal (241 H), Muhammad bin Sa’d seorang penulis kitab al-Waqidi dan at-Tabaqot serta berkedudukan tinggi, dan Ali Almadani (234 H), dan setelah itu muncul-lah Imam Bukhari, Muslim, Abu Zar’ah, Abu Hatim Arraziyan, Abu Daud Assajastani, setelah itu diikuti ulama’ hingga akhir abad IX Hijriyyah. [22]
Kitab-kitab yang membahas masalah al-Jarh wa al-Ta’dil ada yang menghususkan dalam bidang tertentu, di antaranya:
Tabel: 1.1 Pembahasan Kitab dan Penulis
Bidang pembahasan
Kitab dan Penulis
-          Membahas tokoh-tokoh terpercaya.
Attsiqat karya Ibnu Qathlubigha (879 H),dan Attsiqat karya Khalil bin Syahin.
-          Membahas rawi-rawi dla’if.
Penulis; Al bukhari, Annasa’i, Ibnu Hibban, Addaru Quthni, Al’aqili, ibnul Jauzi, dan Ibnul ‘Adi (kitab yang paling lengkap adalah kitab Ibnul ‘Adi).
-          Membahas tokoh-tokoh, baik yang terpercaya ataupun yang dla’if.
Tarikh al-Bukhori: al-Kabir, Jarh  wa Ta’dil; karya Ibnu Hibban, Jarh Wa Ta’dil karya ibnu Abi Hatim, Arrazi, dan Atthabaqatul Kubro karya Ibnu sa’d.
Sedangkan kitab yang paling utama diantara kitab-kitab dalam bidang ini adalah: At-Takmil fi Mar’atis Tsiqah wa Dluafa wa al-Majahi, karya al-Hafidz Ibnu Katsir. Kitab ini menghimpun dua kitab yang telah ada, yaitu: At-Tadzhib karya al-Mazi, dan al-Mizan karya addzahabi, disertai tambahan ulasan yang jelas. Kitab ini sangat bermanfa’at bagi ahli hadis dan fiqih di masa berikutnya.[23]

3.       Kegunaan dan Objek/Sasaran Pokok Ilmu al-Jarh Wa al-Ta’dil
Ilmu al-jarh wa al-ta’dil ini dipergunakan untuk menetapkan apakah periwayatan seorang perawi itu bisa dierima atau harus ditolak. Apabila seorang rawi “di-jarh” oleh para ahli hadis sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak. Sebaliknya, bila dipuji maka hadisnya bisa diterima selama syarat-syarat yang lain dipenuhi.[24]
Kecacatan rawi itu bisa ditelusuri melalui perbuatan-perbuatan yang dilakukannya, biasanya dikategorikan kedalam lingkup perbuatan: bid’ah,[25]  mukhalafah,[26] ghalath,[27] jahalat al-hal,[28] dan da’wat al-inqitha’.[29]
Adapun informasi al- jarh dan ta’dilnya seorang rawi bisa diketahui melalui dua jalan yaitu:
a.    Popularitas para perawi di kalangan para ahli ilmu bahwa mereka dikenal sebagai orang    yang adil, atau rawi yang mempunyai ‘aib. Bagi yang sudah terkenal di kalangan ahli ilmu tentang keadilannya, maka mereka tidak perlu lagi diperbincangkan keadilannya, begitu juga dengan perawi yang terkenal dengan kefasikan  atau dustanya maka tidak perlu lagi dipersoalkan.
b.    Berdasarkan pujian atau pen-tajrih-an dari rawi lain yang adil. Bila seorang rawi yang adil menta’dilkan seorang rawi yang lain yang belum dikenal keadilannya, maka telah dianggap cukup dan rawi tersebut bisa menyandang gelar adil dan periwayatannya bisa diterima. Begitu juga dengan rawi yang di-tajrih. Bila seorang rawi yang adil telah mentajrih-nya maka periwayatannya menjadi tidak bisa diterima.[30]
Adapun objek/Sasaran pokok dalam mempelajari ilmu al-jarh wa al-ta’dil adalah sebagai berikut:
a)  Untuk menghukumi / mengetahui status perawi hadis
b)  Untuk mengetahui kedudukan hadis / martabat hadis, karena tidak mungkin mengetahui status suatu hadis tanpa mengetahui kaidah ilmu al-jarh wa al-ta’dil       
c)   Mengetahui syarat-syarat perawi yang maqbul. Bagaimana keadilannya, ke-dlabitan-nya serta perkara yang berkaitan dengannya.[31]
Syarat-syarat bagi orang yang menta’dil-kan dan mentajrih-kan yaitu: 1) Berilmu pengetahuan, 2) Taqwa, 3) wara’ (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiyat, syubhat-syubhat, dosa-dosa kecil dan makruhat/yang dibenci), 4) jujur, 5) menjauhi fanatik golongan, 6) mengetahui sebab-sebab untuk menta’dilkan dan untuk mentajrihkan.[32]
Jika terjadi ta’arudh (pertentangan) antara jarh dan ta’dil pada seseorang perawi, yakni sebagaian ulama’ menta’dilkan dan sebagaian ulama’ yang mentajrihkan, dalam hal itu terdapat empat pendapat:[33]
1)      Pendapat pertama mendahulukan jarh dari ta’dil. Maksudnya, informasi tentang cacatnya periwayat tersebut dipegang, sementara, informasi tentang ke’adilannya dikesampingkan, kendati, jumlah penyacat jauh lebih kecil dari pada yang memujinya sebagai orang ‘adil. Alasannya, pencacat dapat menunjukkan kelemahan periwayat yang tidak kelihatan oleh orang-orang yang memuji tadi.
2)      Pendapat kedua mengambil penilaian yang didukung oleh suara terbanyak. Bila pemujinya lebih banyak, maka periwayat itu dinilai ‘adil, sebaliknya, bila penyacatnya lebih banyak, maka periwayat tersebut dinilai cacat. Alasannya, suara terbanyak lebih mempunyai kekuatan. Pendapat kedua ini ditinggalkan oleh ulama pada umumnya.
3)      Pendapat ketiga mengambil/mendahulukan pujian atas celaan, kecuali apabila celaan disertai penjelasan tentang sebab-sebab cela’an (jarh). Hal ini sesuai dengan adab al-jarh wa al- ta’dil, bahwa untuk memuji seorang periwayat tidak perlu rincian, sementara, untuk menunjukkan cacat, rincian itu diperlukan.
4)      Pendapat keempat menangguhkan penilaian sampai ada bukti lain yang menguatkan apakah periwayat kontroversi itu termasuk orang ‘adil atau orang cacat.[34]
4.    Tingkatan Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil
Para perawi yang meriwayatkan hadis bukanlah semuanya dalam satu derajat dari segi ke’adilan[35] dan kedhabitan[36] , dan hafalan mereka sebagaimana yang kami jelaskan sebelumnya. Diantara mereka ada yang hafalannya sempurna, ada yang kurang dalam hafalan dan ketepatan, dan ada pula yang sering lupa dan salah padahal mereka orang yang ‘adil dan amanah, serta ada juga yang berdusta dalam hadis, maka Allah menyingkap perbuatannya ini melalui tangan ulama menetapkan tingkatan jarh dan ta’dil , dan lafadz-lafadz yang menunjukkan pada setiap tingkatan, sehingga tingkatan ta’dil ada enam tingkatan dan tingkatan jarh ada enam juga.[37]
Tabel: 1.2 Tingkatan dan Contoh al-Jarh wa al- Ta’dil
No
Tingkatan Ta’dil
dan Contohnya

Tingkatan Jarh
dan Contohnya
1
Ta’dil dengan menggunakan ungkapan / kata pujian yang bersangatan (mubalaghah).
Contohnyafulanun ilaihi al-muntaha fi at-tatsabbut (si Fulan itu paling tinggi keteguhannya), atau fulanun atsbata an-nas (si Fulan itu termasuk orang yang paling teguh).

Jarh dengan menggunakan ungkapan yang sangat buruk dan sangat memberatkan kepada orang yang di cacat karena kedusta’an-nya.
Contohnya:fulanun layuh tajju bihi (si Fulan tidak bisa dijadikan sebagai hujjah), atau dla’if (lemah), lahumanakir (dia hadisnya munkar).
2
Ta’dil dengan mengulangi kata pujian, baik dengan kata sama atau mirip.
Contohnya:
tsiqatun tsiqah (orang yang sangat-sangat tsiqah), atau tsiqatun tsabitun (orangnya tsiqah dan teguh).
Jarh dengan menggunakan kata sedikit lebih lunak, juga berkisar pada dusta.
Contohnya: fulanun  layyinun al-hadis (si Fulan hadisnya lunak), atau fihi maqalun (di dalamnya diperbincangkan).
3
Ta’dil dengan menggunakan kata-kata pujian tanpa pengulangan.
Contohnya: tsiqatun (orangnya tsiqah), atau hujjatun (orangnya ahli argumen).

Jarh dengan menggunakan kata yang lebih lunak dari tadi, yang menunjukkan bahwa hadisnya ditolak oleh orang banyak, atau tidak ditulis hadisnya.
Contohnya:
fulanun layuktabu haditsuhu 
(si Fulan hadisnya tidak bisa dicatat), 
la tahillu riwayatu ‘anhu 
(tidak boleh meriwayatkan hadis darinya), 
dla’if Jiddan (amat lemah), 
wahn bi marratin  (orang yang sering melakukan persangkaan).

4
Ta’dil dengan menggunakan kata-kata yang menggambarkan ke-baikan seseorang, tetapi tidak melukiskan kecermatan, atau kekuatan hafalan seperti yang digunakan ta’dil ke-tiga.
Contohnya:
shaduqun (orangnya jujur), atau yang sama kedudukannya dengan shaduq, atau la ba’sa (orangnya tidak punya masalah ­–cacat-).

Jarh dengan menggunakan kata yang lebih lunak lagi.
Contohnya:
fulanun muhtammun bi al-kadzib (si Fulan orang yang dituduh berbuat dusta), atau muthammun bi al-wadl’I (orang yang dituduh berbuat palsu), atau yasriqu al-hadis (yang mencuri hadis), atausaqithun (gugur), atau matruk (ditinggalkan), atau laisa bi tsiqatin (tidaktsiqah).
5
 Ta’dil dengan menggunakan kata yang tidak menunjukkan adanya cela’an.
Contohnya:
fu fulanun syaikhun (si Fulan itu seorang syekh/guru), atau ruwiya ‘anhu an-nas (manusia meriwayatkan dirinya)

Jarh dengan menggunakan kata yang menunjukkan tuduhan dusta atau pemalsuan hadis.
Contohnya: kadzdzab (pendusta),atau daj-jal,atau wadla’(pemalsu), atau yukadzdzibu (didustakan), atau yadla’u  (pembuat hadis palsu).
6
Ta’dil dengan menggunakan kata agak dekat pada celaan (jarh).
Contohnya:
fulanun shalih al-hadis (si Fulan orang yang hadisnya shalih), yuktabu hadistuhu (orang yang Hadisnya dicatat).

Jarh dengan menggunakan kata-kata yang menggunakan cacat ringan.
Contohnya:
fulanun akdzabu an-nas (si Fulan itu orang yang paling pendusta), ilaihi al-muntaha fi al-kadzbi (dia orang yang menjadi pangkalnya dusta), 
hawa ruknu al-kadzbi (dia orang yang menjadi penopang dusta)





Tabel. 1.3 Hukum tingkatan-tingkatan al-Jarh dan al-Ta’dil
adalah sebagai berikut:[38]
No
Hukum Tingkatan Ta’dil
Hukum Tingkatan Jarh
1
Untuk tingkat pertama, dapat dijadikan hujjah, meskipun sebagian mereka lebih kuat dari sebagian yang lain.
Untuk dua tingkatan pertama tidak bisa dijadikan hujjah terhadap hadis mereka, akan tetapi boleh ditulis untuk  diperhatikan saja, dan walaupun orang pada tingkatan kedua lebih rendah dari tingkatan pertama
2
Adapun tingkatan keempat dan kelima, tidak bisa dijadikan hujjah, tetapi hadis mereka boleh ditulis, dan diuji ke dhabithan mereka dengan membandingkan hadis mereka dengan hadis-hadis para tsiqah yang dhabith. Jika sesuai dengan hadis mereka, maka bisa dijadikan hujjah. Jadi jika tidak sesuai maka ditolak, meskipun dia dari tingkatan kelima yang lebih rendah dari pada tingkatan keempat.
Sedangkan empat tingkataan terakhir tidak boleh dijadikan sebagai hujjah, tidak boleh ditulis, dan tidak boleh dianggap sama sekali.
3
Sedangkan tingkatan keenam, tidak bisa dijadikan hujjah, tetapi hadis mereka ditulis untuk dijadikan sebagai pertimbangan saja bukan untuk pengujian, karena mereka tidak dhabith.

Dan ta’dil boleh diterima tanpa menyebutkan alasan dan sebabnya menurut pendapat yang shahih dan masyhur, karena sebabnya banyak sehingga sulit menyebutkannya. [39]
Sedangkan jarh tidak boleh diterima kecuali dengan alasannya, karena hal itu terjadi disebabkan satu masalah dan tidak sulit menyebutkannya. Dan karena setiap berbeda dalam sebab-sebab jarhnya. Ulama yang menjarh seorang perawi karena berdasarkan pada apa yang diyakininya sebagai jarh, belum tentu dapat dijadikan alasan bagi orang lain. Oleh karenanya harus dijelaskan sebabnya untuk dapat dilihat apakah itu benar  suatu cacat atau bukan. [40]
5.      Analisis Metode Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil dengan Pendekatan Ontologi dan Epistemologi
Berangkat dari realitas bahwa fokus keberadaan ilmu al-jarh wa ta’dil sangat diperlukan, karena menyangkut kajian kritik sanad adalah tentang kualitas para rawi. Sebab melalui ilmu ini telah mengungkap berbagai informasi, terkait dengan keadaan para rawi hadis yang terlibat  dalam periwayatan hadis.
Persoalan ini ialah banyaknya nama rawi yang terlibat, banyaknya nama rawi yang sama, rentang waktu yang panjang dari rawi awal hingga akhir, dll, sehingga apabila dirunut secara teliti memungkinkan terjadinya kekeliruan. Sehingga sejauhmana informasi yang diberikan dapat memberikan gambaran yang jelas tentang seorang rawi serta keberadaan para pengkritik (kritikus) itu sendiri, yakni bagaimana kondisi sosio-kultural, hubungan para pengkritik dengan rawi, spesialisasi, ukuran dan metode yang dipakai oleh para pengkritik dalam penilaian rawi  terhadap rawi yang dikritiknya.
Oleh karena itu bagaimana metode ilmu jarh wa ta’dil yang diberlakukan ulama hadis dengan pendekatan ontologi dan epistemologi.[41]  
  1. Pendekatan Ontologi
Keberadaan ilmu jarh wa ta’dil sebagai “ilmu”, mengharuskan ilmu ini untuk mengupayakan adanya aktifitas jarih dan mu’addil yang menggunakan metode tertentu dan menghasilkan sesuatu yang sistematis.[42] Secara ontologis, ilmu membatasi ruang lingkup kajiaannya pada wilayah yang terjangkau oleh pngalaman manusia.[43] Pengalaman yang berada pada pra dan pasca-dunia empirik manusia diserahkan pada pengetahuan lain, agama.[44]
Ontologi membicarakan hakikat sesuatu yang ada.[45] Persoalan yang muncul ialah apa sebenarnya yang menjadi kajian dan apa hakikat ilmu jarh wa ta’dil. Maka kajian terhadap klasifikasi dan konsep tentang ilmu perlu dipaparkan. Pada abad ke-18 dan ke-19, sewaktu rasionalisme memuncak dan semangat keilmuan sangat dipengaruhi oleh kemajuan ilmu alam, kategori ilmu dikhususkan bagi kajian yang memiliki dalil atau teori yang dapat digunakan sebagai rujukan. Akibatnya, ilmu-ilmu kemanusiaan (human science) tidak dapat dikategorikan sebagai “ilmu”.[46] Ilmu jarh wa ta’dil, rawi-rawi dalam rangkaian  sanad yang akan dinilai  jarh dan ta’dil-nya pada dasarnya mengambil rawi (manusia) sebagai objek kajiannya. Dengan demikian ilmu ini dikatagorikan ke dalam kelompok ilmu-ilmu kemanusiaan, yakni ilmu pengetahuan empiris yang mempelajari manusia dari segala aspek kehidupannya, ciri-ciri khasnya, tingkah lakunya, perorangan maupun bersama dan menjadikan manusia sebagai subjek sekaligus objek.[47]
Menjawab pertanyaan “ilmiahkah seperangkat aktivitas dalam ilmu jarh wa ta’dil dan apakah ilmu itu telah menempatkan dirinya pada dataran ilmu?” maka hal ini, harus dimulai dengan membuka kunci pengertian “ilmiah” itu sendiri. Secara umum aktivitas keilmuan dikatakan ilmiah dan ilmu dikatakan telah menempatkan diri pada posisinya apabila aktivitas yang dilakukannya dilandasi oleh dasar pembenaran, bersifat sistematik[48] dan inter-subjektif.[49]
Semangat ilmiah para pakar ilmu hadis berkaitan dengan ilmu  jarh wa ta’dil tampak dari sikap mereka yang memberikan perhatian yang cukup besar dan penekanan yang tegas akan pentingnya sikap kritis terhadap sanad (penelitian rawi). Dengan demikian berarti ilmu jarh wa ta’dil  diposisikan sebagai ilmu dalam ruang lingkup empiris dan jangkauan manusia.
Dengan pendekatan ontologi ini, terlihat bahwa ilmu jarh wa ta’dil di mata filsafat keilmuan merupakan bangunan ilmu dalam lingkup empiris manusia dan dalam ilmu kemanusiaan (human science). Oleh karenanya, ilmu ini harus memposisikan dirinya sebagai ilmu yang memiliki metode tertentu yang sistematis dan memiliki tata nilai kebenaran tertentu.[50]
  1. Pendekatan Epistemologi
Metodologi ilmu jarh wa ta’dil  ini difokuskan pada dua tokoh yang kredibilitasnya diakui oleh banyak ulama hadis, yakni Abu Hatim Ar-Razi dengan kitabnya al-jarh wa ta’dil yang mewakili masa klasik, dan Ibn Hajar al-Asqalani dengan kitabnya Tahdzhib al-Tahdzib yang mewakili periode tengah. Dipilihnya dua tokoh tersebut, disamping karena kredebilitas dan kapabilitas mereka yang handal, juga karena kedua kitab tersebut menjadi rujukan utama bagi ulama-ulama hadis sesudahnya.[51]
 Menurut Ali Syari’ati sebagaimana dikutip Mukti Ali, “untuk membaca seorang tokoh dengan segenap lingkup kehidupannya, setidaknya ada dua metode fundamental yang harus digunakan. Pertama, meneliti pikiran-pikirannya. Kedua meneliti biografinya sejak awal hingga akhir”.[52] 
Beberapa persoalan mendasar yang berkaitan dengan keberadaan jarih mu’addil (kritikus) dengan metodenya yang terlihat dalam kitab-kitab jarh wa ta’dil, ialah: Pertama, terlalu banyaknya rawi yang harus dinilai dan di kritik.[53] Kedua, dalam menilai, para kritikus tidak mengkhususkan diri menilai orang yang semasa.[54] Ketiga, penyusunan kitab tentang jarh wa ta’dil dengan informasi yang sangat minim.[55]  

D.    KESIMPULAN
1.      ilmu Jarh wa al-Ta’dil adalah ilmu yang membahas hal ihwal rawi dengan menyoroti kesalehan dan kejelekannya, sehingga dengan demikian periwayatannya dapat diterima atau ditolak.
2.      Sejarah dan perkembangan ilmu Jarh wa al-Ta’dil yaitu munculnya ilmu  jarh wa ta’dil seiring bertumbuhnya periwayatan hadis. Namun perkembangannya, sejak terjadi al-fitnah al-kubra atau pembunuhan terhadap khalifah Utsman bin Affan pada tahun 36 H. Pada waktu itu, kaum muslimin telah terkotak-kotak kedalam berbagai kelompok yang masing-masing mereka merasa mamiliki atas tindakan yang mereka lakukan apabila mengutip hadis-hadis Rasulullah SAW.
3.      Kegunaan dan objek kajian ilmu Jarh Wa Al-Ta’dil ialah untuk menetapkan apakah periwayatan seorang rawi itu dapat diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi sudah ditarjih sebagai rawi yang cacat maka periwayatannya ditolak dan apabila seorang rawi di ta’dilsebagai orang yang adil maka periwayatannya diterima.
4.      Tingkatan dan hukum ilmu Jarh wa al-Ta’dil Para perawi yang meriwayatkan hadis bukanlah semuanya dalam satu derajat dari segi ke’adilan dan kedhabitan , dan hafalan mereka sebagaimana yang kami jelaskan sebelumnya. Diantara mereka ada yang hafalannya sempurna, ada yang kurang dalam hafalan dan ketepatan, dan ada pula yang sering lupa dan salah padahal mereka orang yang ‘adil dan amanah, serta ada juga yang berdusta dalam hadis, maka Allah menyingkap perbuatannya ini melalui tangan ulama menetapkan tingkatan jarh dan ta’dil , dan lafadz-lafadz yang menunjukkan pada setiap tingkatan, sehingga tingkatan ta’dil ada enam tingkatan dan tingkatan jarh ada enam juga. Seperti yang dijelaskan.
5.      Metode ilmu jarh wa ta’dil yang diberlakukan ulama hadis dengan pendekatan ontologi yaitu bahwa ilmu jarh wa ta’dil di mata filsafat keilmuan merupakan bangunan ilmu dalam lingkup empiris manusia dan dalam ilmu kemanusiaan (human science). Oleh karenanya, ilmu ini harus memposisikan dirinya sebagai ilmu yang memiliki metode tertentu yang sistematis dan memiliki tata nilai kebenaran tertentu. Sedangkan ilmu jarh wa ta’dil dengan pendekatan epistemologi yaitu Metodologi ilmu jarh wa ta’dil  ini difokuskan pada dua tokoh yang kredibilitasnya diakui oleh banyak ulama hadis, yakni Abu Hatim Ar-Razi dengan kitabnya al-jarh wa ta’dil yang mewakili masa klasik, dan Ibn Hajar al-Asqalani dengan kitabnya Tahdzhib al-Tahdzib yang mewakili periode tengah. Dipilihnya dua tokoh tersebut, disamping karena kredebilitas dan kapabilitas mereka yang handal, juga karena kedua kitab tersebut menjadi rujukan utama bagi ulama-ulama hadis sesudahnya.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Muhammad dan Mudzakir, M., Ulumul Hadis, Bandung: Pustaka Setia, 1998
Al-Qaththan, Manna’, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005
Al-Khathib, Ajjaj, Ushul Al-Hadis Ulumuhu wa Mushthalahuhu,  Beirut: Darul Fikr, 1989
Almanar, Abduh, Studi Ilmu Hadis, Jakarta: gaung Persada Press, 2011
Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999
Ash Shiddieqy, Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1998
Assina’i, Musthafa , Al Hadits Sebagai Sumber Hukum, Bandung: Diponegoro, 1979
Berling, dkk, Pengantar Filsafat Ilmu, terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana
Ismail, M. Syuhdi, Kaidah-Kesahihan Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1995
Isma’il, M. Syuhdi, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992
Ismail, Syuhudi, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya,  Jakarta: Gema Insani Press, 1995
Izzan, Ahmad dan Nur, Saifuddin, Ulumul Hadis, Bandung: Tafakur, 2011
Khaeruman, Badri, Ulum Al-Hadis wa Musthalahuhu, Bandung: Pustaka Setia, 2010
Ma’luf, Louis, Kamus al-Munjid Fî al;-Lughah wa al-’Alam, Bairut: Dar al-Syarqy, 1976
Mudasir, Ilmu Hadis, Bandung: Pustaka Setia, 2008
Octoberrinsyah, dkk, Al-Hadis, Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005
Rahman, Fazlur dkk,  Wacana Studi Hadis Kontemporer, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990
Suryadilaga, M. Alfatih, Ulumul Hadits, Yogyakarta: Teras, 2010
Susanto, A., Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis, Jakarta: Bumi Aksara, 2011
Thahhan, Mahmud, Ulumul Hadis: Studi Kompleksitas Hadis Nabi, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2004
Thahan, Mahmud,  Ilmu Hadis Praktis, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2005
Zuhri, Muh., Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologis,  Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003

























* Makalah ini dipresentasikan pada matakuliah  Studi Hadis: Teori dan Metodologi yang di ampu oleh Bpk. Prof. Dr. Suryadi, M.A
* Salah satu mahasiswa alumni STAI Mathali’ul Falah Pati dan kini melanjutkan study Program Pasca Sarjana S2 semester pertama, Program Studi Pendidikan Islam (PI) Konsentrasi Pendidikan Bahasa Arab di Universitas Islam Negri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Tahun Ajaran 2013.
[1] Fazlur Rahman, dkk, Wacana Studi hadis kontemporer, (yogya: Tiara Wacana, 2002), hlm. 31
[2] M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Ulumul Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm. 155
[3]Ulama berbeda pendapat dalam memberikan pengertian ‘adalah. Di antara pengertiannya ialah sifat pribadi seseorang berupa ketakwaan kepada Allah dan memelihara muru’ah (adab kesopanan pribadi). Lebih jelas tentang pengertian ‘adalah lihat M. Syuhdi Ismail, Kaidah-Kesahihan Hadis, (Cet, II; Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm. 129-134
[4] Dhabit secara bahasa berarti yang kuat, yang kokoh, dan yang hafal hadis secara sempurna. Sedangkan dalam pengertian ilmu hadis, dhabit ialah sorang yang kuat hafalan hadisnya yang mampu menyampaikan hafalnnya itu kapan saja ia kehendaki. Lihat, M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Ulumul Hadis,...........hlm. 178  
[5] M. Syuhdi Isma’il, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 66
[6] Tsiqah yang dimaksud di sini adalah perpaduan sifat ‘adalah dan dhabit. 
[7] M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Ulumul Hadis, ......................hlm. 155
[8] Octoberrinsyah, dkk, Al-Hadis, (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005), hlm. 68

[9] Louis Ma’luf, Kamus al-Munjid Fî al;-Lughah wa al-’Alam, (Bairut: Dar al-Syarqy, 1976), hlm. 83.
[10] Ajjaj Al-Khathib, Ushul Al-Hadis Ulumuhu wa Mushthalahuhu, (Beirut: Darul Fikr, 1989) dikutip dari: Abduh Almanar, Studi Ilmu Hadis, (Jakarta: gaung Persada Press, 2011), hlm. 111
[11] Muh. Zuhri, Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologis,  (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), hlm. 120
[12] Mudasir, Ilmu Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 50
[13] Anis Ibrahim, Al-Mu’jam Al Wasith, (Kairo: TPN, 1972) dikutip dari: Abduh Almanar, Studi Ilmu Hadis, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2011), hlm. 110
[14] Muh. Zuhri, Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologis................... hlm. 120-121
[15] Ahmad Izzan dan Saifuddin Nur, , Ulumul Hadis, (Bandung: Tafakur, 2011), hlm. 122
[16] Ulama’ mengkaji biografi, termasuk pribadi, para rawi yang sezaman secara langsung. Sedang data mengenai rawi angkatan tersebut diteliti secara tidak langsung. Mereka mengungkapkan cacat adilnya rawi tanpa rasa takut ataupun rasa dosa, karena hal itu dilakukan demi kemurnian agama Allah dan Sunnah Rasulullah SAW semata-mata karena Allah. sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa kepada imam Bukhari ada yang berkata: “ banyak yang menentangmu karena kitab Tarikhmu. Mereka berpendapat bahwa dalam kitab tersebut ada banyak mempergunjingkan orang” Imam Bukhari menjawab “kami hanya mengungkapkan apa adanya dalam rangka periwayatan Hadits dan bukan pendapat subyektif.” Pengaduan kepada Imam Bukhari itu mungkin diajukan sehubungan dengan sabda Nabi SAW: “sebusuk-busuk kawan pergaulan ialah yang suka mengumpat orang lain”. Lihat,  Musthafa Assiba’i, Al-Hadits sebagai sumber Hukum, (Bandung: Diponegoro, 1979), hlm. 173-174
[17] Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang), hlm. 52
[18] Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995),  hlm.52
[19] Ibid., hlm. 52
[20] Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1998),  hlm. 13
[21] Ibid., hlm. 116
[22] Generasi demi generasi, mereka menulis dan membahas mengenai rijalul Hadis, dan menuntut lebih jauh lagi, sehingga orang tak perlu payah-payah lagi menemukan Tarikh dan Hadits mana saja yang terlintas padanya serta karya-karyanya dalam kitab hadits. Lihat, Musthafa Assiba’i, Al-Hadits sebagai sumber Hukum, (Bandung: Diponegoro, 1979), hlm. 175
[23] Musthafa Assiba’i, Al-Hadits sebagai sumber Hukum,.............................hlm. 176
[24] Badri Khaeruman, Ulum Al-Hadis wa Musthalahuhu, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 109
[25] Bid’ah, yakni melakukan tindakan tercela atau di luar ketentuan syariah.
[26] Mukhalafah, yakni berbeda dengan periwayatan dari rawi yang lebih tsiqqah. Ibid, hlm. 109
[27] Ghalath, yakni banyak melakukan kekeliruan dalam meriwayatkan hadis. Ibid, hlm. 109
[28] Jahalat al-hal, yakni tidak diketahui identitasnya secara jelas dan lengkap. Ibid, hlm. 109
[29] Da’wat al-inqitha’, yakni diduga penyandaran (sanad)-nya tidak bersambung. Ibid, hlm. 109
[30] Muh. Zuhri, Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologis,................., hlm. 122-123
[31] Badri Khaeruman, Ulum Al-Hadis wa Musthalahuhu,............................., hlm. 109
[32] Ahmad Izzan dan Saifuddin Nur, Ulumul Hadis, (Bandung: Tafakur, 2011), hlm. 125
[33] Ibid., hlm. 126
[34] Muh. Zuhri, Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologis....................... hlm. 127-128
[35] Keadilan: maksudnya bahwa rawi itu hendaklah orang muslim, baligh, berakal, selamat dari sebab kefasikan, selamat dari noda-noda kesopanan. Lihat, Mahmud Thahhan, Ulumul Hadis: Studi Kompleksitas Hadis Nabi, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2004) hlm. 142
[36] Dlabit: maksudnya bahwa rawi itu tidak menyalahi orang-orang kepercayaan, tidak jelek hafalannya, tidak banyak salah, tidak pelupa dan tidak banyak persangkaan. Ibid. hlm. 142
[37] Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), hlm. 88

[38] Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits,.................................. hlm. 89-40
[39] Ibid., hlm. 90
[40] Mahmud Thahan, Ilmu Hadis Praktis, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2005), hlm. 197-198
[41] Fazlur Rahman, Wacana Studi Hadis Kontemporer, (Yogya: Tiara Wacana, 2002), hlm. 31-32
[42] Ibid., hlm. 33
[43]  A. Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hlm. 90
[44] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990), hlm. 104-105
[45] A. Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis,.................hlm. 90
[46] Fazlur Rahman, Wacana Studi Hadis Kontemporer,...............hlm. 33
[47] Ibid...........................................................hlm. 34
[48] Bersifat sistematik berarti adanya sistem dalam susunan pengetahuan dan dalam cara memperoleh pengetahuan. Aktivitas keilmuan tidak membatasi diri pada suatu informasi, tetapi senantiasa meletakkan hubungan antar sejumlah input yang ada dalam satu kebulatan dengan cara komparasi, subsumasi, dan generalisasi. Lihat Berling, dkk, Pengantar Filsafat Ilmu, terj. Soejono Soemargono (Yogyakarta: Tiara Wacana), hlm. 6
[49] Bersifat inter-subjektif berarti bahwa kepastian pengetahuan ilmiah tidak didasarkan atas instuisi-intuisi  serta pemahaman seorang yang bersifat subjektif, tetapi harus didukung sebanyak mungkin oleh subjek-subjek yang lain. Ibid, hlm. 6
[50] Fazlur Rahman, Wacana Studi Hadis Kontemporer,....................hlm. 38
[51] Ibid. hlm. 32
[52] Meneliti pikiran sang tokoh bisa diperoleh dari kajian terhadap karya-karya yang ditulis orang lain tentangnya, sedang meneliti biografi dilakukan melalui dokumen-dokumen tertulis yang setidaknya menjawab pertanyaan 5 W: who, what where, when, dan why. Ibid. hlm. 39.
[53] Secara umum dapat dianalisis, bagaimana mungkin puluhan bahkan ratusan ribu rawi dengan mengerti betul keberadaan mereka masing-masing dari berbagai dimensi. Ibid. hlm. 40
[54] Memang mungkin bahwa pengetahuan seseorang terhadap orang lain yang tidak semasa bisa jadi lebih mendalam daripada orang yang hidup semasa. Ibid. hlm. 40 
[55] Mengingat banyaknya nama yang serupa untuk kurun waktu dan tempat yang berbeda. Ibid. hlm. 40  

1 komentar: