ANALISIS
METODE ILMU Al-JARH
WA Al-TA’DIL
(Pendekatan Ontologi dan Epistemologi) *
Etey Qomariah, S.Pd.I *
ABSTRAK
Ilmu al-jarh
wa ta’dil adalah ilmu yang membahas hal ihwal rawi dengan
menyoroti kesalehan dan kejelekannya, sehingga dengan demikian periwayatannya
dapat diterima atau ditolak. Ilmu Al-Jarh wa Al-Ta’dil mempunyai
posisi yang sangat penting dalam disiplin ilmu hadis. Kenyataan itu di dasarkan
kepada bahwa ilmu ini merupakan salah satu bagian yang tidak dapat dipisahkan
dari ilmu-ilmu hadis lainnya dalam menentukan diterima atau ditolaknya suatu
hadis. Jika seorang ahli hadis dinyatakan cacat maka periwayatannya ditolak,
sebaliknya jika seorang perawi dipuji dengan pujian adil, maka periwayatannya
diterima, selama syarat-syarat lain untuk menerima hadis di penuhi. Dengan pendekatan ontologi, setidaknya ilmu jarh wa
ta’dil di
mata filsafat, keilmuan merupakan bangunan ilmu dalam lingkup empiris manusia
dan dalam ilmu kemanusiaan (human science). Oleh karenanya, ilmu ini harus
memposisikan dirinya sebagai ilmu yang memiliki metode tertentu yang sistematis
dan memiliki tata nilai kebenaran tertentu.
Adapun pendekatan epistemologi, ilmu jarh wa ta’dil bisa
melakukan penelitian yang dilandasi sikap kritis serta dasar argumen yang jelas
dan mendalam terhadap para rawi yang
dinilai.
Kata
Kunci:
Ilmu al-Jarh, al-Ta’dil, Ontologi dan Epistemologi
A.
PENDAHULUAN
Sebagai diketahui, banyak istilah untuk menyebut
nama-nama hadis sesuai dengan fungsinya dalam menetapkan syari’at Islam.[1]
Diantaranya ada hadis shahih, hadis hasan, dan hadis dha’if.
Masing-masing memiliki persyaratannya sendiri-sendiri. Persyaratan itu ada yang
berkaitan dengan persambungan sanad, kualitas para periwayat yang dilalui
hadis, dan ada pula yang berkaitan dengan kandungan hadis itu sendiri. Maka
persoalan yang ada dalam ilmu hadis ada dua. Pertama berkaitan dengan sanad,
kedua berkaitan dengan matan. Ilmu yang berkaitan dengan sanad
akan mengantar kita menelusuri apakah sebuah hadis itu bersambung sanadnya
atau tidak, dan apakah para periwayat hadis yang dicantumkan di dalam sanad
hadis itu orang-orang terpercaya atau tidak. Adapun ilmu yang berkaitan dengan matan
akan membantu kita mempersoalkan dan akhirnya mengetahui apakah informasi yang
terkandung di dalamnya berasal dari Nabi atau tidak. Misalnya, apakah kandungan
hadis bertentangan dengan dalil lain atau tidak.
Para ahli hadis sepakat bahwa untuk menilai kualitas
hadis, terlebih dahulu harus dilihat dari segi matan dan sanad-nya.[2]
Dalam hubungannya dengan penelitian sanad,
yang harus diteliti adalah rangkaian atau persambungan sanad dan keadaan pribadi periwayat (rawi) hadis menyangkut dua hal; pertama,
ke-‘adil[3]-an
yang berhubungan dengan kualitas pribadi peri-wayat dan kedua, ke-dhabit[4]-an
yang berhubungan dengan kapasitas intelektualnya.[5]
Apabila kedua hal tersebut ada pada periwayatan hadis maka periwayat itu
dinyatakan tsiqah[6]
dan hadis yang diriwayatkannya, dapat diterima sebagai hujjah.
Berkaitan dengan sanad ada ilmu rijal al-hadis
dan ilmu al-jarh wa al-ta’dil. Dalam upaya memelihara ke-autentikan
hadis sebagai sumber kedua dari ajaran Islam, maka para ulama
terus berusaha dalam menghimpun hadis-hadis Nabi SAW. Dengan cara
menilai para periwayat secara jarh atau ta’dil.
Ilmu al-jarh wa at-ta’dil merupakan suatu ilmu untuk
menyeleksi para periwayat hadis, apakah ia cacat atau adil sehingga hadis yang
diriwayatkannya itu dapat diterima atau ditolak. Melalui syarat-syarat al-jarh
wa at-ta’dil, lafal-lafal dan kaidah-kaidah tertentu, para ulama hadis
menilai para periwayat dari segi jarh
(cacat) dan ta’dil (bersih)nya.
Dalam ilmu hadis, penyelidikan terhadap periwayat adalah kewajiban dalam rangka
memelihara kemurnian sunnah Nabi yang didasarkan pada kaedah umum ajaran Islam.
Dalam kajian Ulumul
Hadis, pembahasan mengenai keadaan
pribadi periwayat hadis, baik mengenai kualitas pribadinya maupun kapasitas
intelektualnya, merupakan fokus kajian ilmu Jarh
dan Ta’dil.[7]
Kedudukan ilmu Al-Jarh wa
Al-Ta’dil ini semakin signifikan ketika seseorang hendak melakukan
penelitian hadis atau biasa dikenal dengan sebutan Takhrij Al-Hadis.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa
yang di maksud ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil?
2. Bagaimana
sejarah dan perkembangan ilmu al-Jarh
wa al-Ta’dil?
3. Apa
kegunaan
dan objek kajian ilmu al-Jarh Wa
Al-Ta’dil?
4. Bagaimana
tingkatan dan hukum ilmu al-Jarh
wa al-Ta’dil?
5. Bagaimana
analisis metode ilmu al-jarh wa
ta’dil dengan pendekatan ontologi
dan epistemologi?
C.
DESKRIPSI
Sebelum mendiskripsikan
tentang ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil
terlebih dahulu memahami tentang peta konsep Ulumul Hadis:[8]
![]() |



![]() |

![]() |
Seperti
![]() |
Ilmu Rijal al-Hadis
|
![]() |
Asbabal Wurud,
dll
|




1.
Pengertian Ilmu Al-Jarh Wa Al-Ta’dil
Menurut bahasa, al-Jarh (الجرح) dari kata
Jaraha-Yajrahu جرح – يجرح [9] yang berarti cacat atau luka atau seseorang membuat luka pada tubuh
orang lain yang ditandai dengan mengalirnya darah dari luka itu.[10]
Istilah ini digunakan untuk menunjukkan “sifat jelek” yang melekat pada periwayat
hadis, seperti: pelupa, pembohong dan sebagainya.[11]
Apabila sifat itu dapat dikemukakan maka dikatakan bahwa periwayat tersebut
cacat. Hadis yang dibawa oleh periwayat semacam ini di tolak, dan hadisnya di nilai
lemah (dha’if). [12]
Sedangkan kata Al-Ta’dil (التعديل) merupakan akar kata dari ‘Addala-Yu’addilu (عدل - يعدل) yang berarti mengadilkan, menyucikan,
atau menyamakan.[13].
Istilah ini digunakan untuk menunjukkan sifat baik yang melekat pada periwayat,
seperti: kuat hafalan, terpercaya, cermat, dan lain sebagainya. Orang yang
mendapat penilaian seperti ini disebut ‘adil,
sehingga, hadis yang dibawanya dapat diterima sebagai dalil agama. Hadisnya
dinilai shahih, Sesuai dengan fungsinya sebagai sumber ajaran Islam, maka yang
diambil adalah hadis shahih.[14] Maka Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil adalah ilmu yang membahas tentang
keadaan para perawi dari segi diterima atau ditolak riwayat mereka.[15]
2.
Sejarah
dan Perkembangan Ilmu al-Jarh Wa Al-Ta’dil
Diantara hasil perjuangan yang sangat berfaedah dari
ulama’ hadis ialah lahirnya Ilmu al-Jarh
wa al-Ta’dil atau ilmu Mizani Rijal
yaitu yang membahas perilaku para rawi, keterpercayaannya, atau sebaliknya.
Ilmu yang tumbuh dalam rangka gerakan mulia ini, sepanjang sejarah umat manusia di manapun, al-Jarh wa al-ta’dil-lah yang paling menonjol dan paling
berfaedah. Adapun yang menyebabkan lahir dan tumbuhnya ilmu tentang prilaku
para rawi ialah kesungguhan ulama dalam usaha menjaga kemurnian hadis.[16]
Munculnya ilmu
al-jarh wa al-ta’dil seiring bertumbuhnya periwayatan
hadis. Namun perkembangannya, sejak terjadi al-fitnah al-kubra atau
pembunuhan terhadap khalifah Utsman bin Affan pada tahun 36 H. Pada waktu itu,
kaum muslimin telah terkotak-kotak kedalam berbagai kelompok yang masing-masing
mereka merasa mamiliki atas tindakan yang mereka lakukan apabila mengutip
hadis-hadis Rasulullah SAW. Jika tidak ditemukan, mereka kemudian membuat
hadis-hadis palsu. Sejak saat itulah, para ulama hadis menyeleksi hadis-hadis
Rasulullah S.W.A, tidak hanya dari segi matan atau materinya saja, tetapi
mereka juga melakukan kritik terhadap sanad serta para perawi yang menyampaikan
hadis tersebut. Diantara sahabat yang pernah membicarakan masalah ini adalah
Ibnu Abbas (68 H), Ubaidah Ibnu Shamit (34 H), dan Anas bin Malik (39 H).
Apa yang
dilakukan oleh para sahabat terus berlanjut pada masa tabi’in dan at-ba’ut
tabi’in serta masa-masa sesudah itu untuk memperbincangkan kredibilitas serta akuntabilitas perawi-perawi hadis. Diantara para tabi’in yang
membahas al-jarh wa al-ta’dil adalah Asy-Sya’bi (103 H), Ibnu
Sirrin (110 H), dan Sa’id bin al-Musayyab (94 H). Ulama-ulama al-jarh
wa al-ta’dil menerangkan kejelasan para perawi, walaupun para rawi itu
ayahnya, anaknya, ataupun saudaranya sendiri. Mereka berbuat demikian,
semata-mata untuk memelihara agama dan mengharapkan ridha dari Allah SWT. Syu’bah Ibnu al-Hajjaj (82 H-160 H), pernah
ditanyakan tentang hadis Hakim bin Zubair. Syu’bah menjawab: “Saya takut kepada neraka”. Hal yang sama
pernah dilakukan kepada Ali bin al-Madini (161 H-234 H) tentang ayahnya
sendiri. Ali bin al-Madini menjawab, “Tanyakanlah
tentang hal itu kepada orang lain”. Kemudian orang yang bertanya itu
mengulangi lagi pertanyaannya. Kemudian Ali berkata: “Ayahku adalah seorang yang lemah dalam bidang hadis”.[17]
Para ahli
hadis sangat berhati-hati dalam memperkatakan keadaan para rawi hadis. Mereka
mengetahui apa yang harus dipuji dan apa yang harus dicela. Mereka melakukan
ini hanyalah untuk menerangkan kebenaran dengan rasa penuh tanggung jawab.
Ilmu al-jarh
wa al-ta’dil telah ada sejak zaman sahabat, berkembang sejalan dengan
perkembangan periwayatan hadis dalam Islam. Beberapa ulama bekerja
mengembangkan dan menciptakan berbagai kaidah, menyusun berbagai istilah, serta
membuat berbagai metode penelitian sanad dan matan hadis, untuk “menyelamatkan”
hadis Nabi dari “noda-noda” yang merusak dan menyesatkan.[18]
Demikianlah
sesungguhnya ilmu al-jarh wa al-ta’dil adalah kewajiban syar’i
yang harus dilakukan. Penelitian terhadap para perawi dan keadilan bertujuan
untuk mengetahui apakah rawi itu seorang yang amanah, alim terhadap agama, bertaqwa, hafal dan teliti pada hadis,
tidak sering dan tidak peragu. Semua ini merupakan suatu keniscayaan. Kealpaan
terhadap kondisi tersebut akan menyebabkan kedustaan kepada Rasulullah SAW.[19]
Al-Jarh dan al-ta’dil tidak
dimaksudkan untuk memojokkan seorang rawi, tapi untuk menjaga kemurnian dan
otentisitas agama Islam dari campur tangan para pendusta. Maka hal itu, merupakan
suatu keharusan yang harus dilakukan. Sebab tanpa ilmu al-Jarh wa
al-Ta’dil tidak akan mungkin
bisa, dibedakan mana hadis yang asli dan mana hadis yang palsu.
Pada abad
ke-2 H, ilmu al-jarh wa al-ta’dil mengalami perkembangan pesat
dengan banyaknya aktivitas para ahli hadis untuk men-tajrih dan men-ta’dil para
perawi. Diantara ulama yang memberikan perhatian pada masalah ini adalah Yahya
bin Sa’ad al-Qathtan (189H), Abdurrahman bin Mahdi (198 H), Yazim bin Harun
(189 H), Abu Daud at-Thayalisi (240 H), dan Abdur Razaq bin Humam (211 H).[20]
Perkembangan
ilmu al-jarh wa al-ta’dil mencapai puncaknya pada abad ke-3 H.
pada masa ini muncul tokoh-tokoh besar dalam ilmu al-jarh wa al-ta’dil, seperti
Yahya bin Ma’in (w.230 H), Ali bin Madini (w.234 H), Abu Bakar bin Abi Syaihab
(w.235 H), dan Ishaq bin Rahawaih (w.237 H). Ulama-ulama lainnya adalah ad-Darimi
(w.255 H), al-Bukhari (w.256 H), Muslim (w.261 H), al-Ajali (w.261 H), Abu
Zur’ah (w.264 H), Abu Daud (w.257 H), Abu Hatim al-Razi (w.277 H), Baqi Ibnu
Makhlad (w.276 H), dan Abu Zur’ah ad-Dimasqy (w.281 H).[21]
Setelah proses yang panjang kemudian di mulailah
penulisan kitab tentang al-Jarh Wa al-Ta’dil.
Adapun yang mula-mula menulis dan mempercakapkan mengenai masalah al-Jarh
wa al-Ta’dil
ialah; Yahya bin Mu’in (233 H), Ahmad bin Hambal (241 H), Muhammad bin Sa’d
seorang penulis kitab al-Waqidi dan at-Tabaqot serta berkedudukan tinggi,
dan Ali Almadani (234 H), dan setelah itu muncul-lah Imam Bukhari, Muslim, Abu
Zar’ah, Abu Hatim Arraziyan, Abu Daud Assajastani, setelah itu diikuti ulama’
hingga akhir abad IX Hijriyyah. [22]
Kitab-kitab yang membahas masalah al-Jarh
wa al-Ta’dil
ada yang menghususkan dalam bidang tertentu, di antaranya:
Tabel:
1.1 Pembahasan Kitab dan Penulis
Bidang
pembahasan
|
Kitab
dan Penulis
|
-
Membahas
tokoh-tokoh terpercaya.
|
Attsiqat
karya Ibnu Qathlubigha (879 H),dan Attsiqat
karya Khalil bin Syahin.
|
-
Membahas
rawi-rawi dla’if.
|
Penulis; Al bukhari, Annasa’i, Ibnu
Hibban, Addaru Quthni, Al’aqili, ibnul Jauzi, dan Ibnul ‘Adi (kitab yang
paling lengkap adalah kitab Ibnul ‘Adi).
|
-
Membahas
tokoh-tokoh, baik yang terpercaya ataupun yang dla’if.
|
Tarikh
al-Bukhori: al-Kabir, Jarh wa Ta’dil; karya Ibnu
Hibban, Jarh Wa Ta’dil karya ibnu
Abi Hatim, Arrazi, dan Atthabaqatul
Kubro karya Ibnu sa’d.
|
Sedangkan kitab yang paling utama diantara
kitab-kitab dalam bidang ini adalah: At-Takmil
fi Mar’atis Tsiqah wa Dluafa wa al-Majahi,
karya al-Hafidz Ibnu Katsir. Kitab ini menghimpun dua kitab yang telah ada,
yaitu: At-Tadzhib karya al-Mazi, dan al-Mizan karya addzahabi, disertai
tambahan ulasan yang jelas. Kitab ini sangat bermanfa’at bagi ahli hadis dan
fiqih di masa berikutnya.[23]
3. Kegunaan dan Objek/Sasaran Pokok Ilmu al-Jarh
Wa al-Ta’dil
Ilmu al-jarh
wa al-ta’dil ini dipergunakan untuk menetapkan apakah periwayatan seorang
perawi itu bisa dierima atau harus ditolak. Apabila seorang rawi “di-jarh”
oleh para ahli hadis sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya harus
ditolak. Sebaliknya, bila dipuji maka hadisnya bisa diterima selama
syarat-syarat yang lain dipenuhi.[24]
Kecacatan
rawi itu bisa ditelusuri melalui perbuatan-perbuatan yang dilakukannya, biasanya
dikategorikan kedalam lingkup perbuatan: bid’ah,[25]
mukhalafah,[26]
ghalath,[27]
jahalat al-hal,[28]
dan da’wat al-inqitha’.[29]
Adapun
informasi al- jarh dan ta’dilnya seorang
rawi bisa diketahui melalui dua jalan yaitu:
a. Popularitas
para perawi di kalangan para ahli ilmu bahwa mereka dikenal sebagai
orang yang adil, atau rawi yang mempunyai ‘aib. Bagi
yang sudah terkenal di kalangan ahli ilmu tentang keadilannya, maka mereka
tidak perlu lagi diperbincangkan keadilannya, begitu juga dengan perawi yang terkenal
dengan kefasikan atau dustanya maka tidak perlu lagi dipersoalkan.
b. Berdasarkan
pujian atau pen-tajrih-an dari rawi lain yang adil. Bila seorang rawi
yang adil menta’dilkan seorang rawi yang lain yang belum dikenal keadilannya,
maka telah dianggap cukup dan rawi tersebut bisa menyandang gelar adil dan
periwayatannya bisa diterima. Begitu juga dengan rawi yang di-tajrih.
Bila seorang rawi yang adil telah mentajrih-nya maka periwayatannya
menjadi tidak bisa diterima.[30]
Adapun
objek/Sasaran pokok dalam mempelajari ilmu al-jarh wa al-ta’dil adalah
sebagai berikut:
a) Untuk menghukumi / mengetahui status
perawi hadis
b) Untuk mengetahui kedudukan hadis / martabat
hadis, karena tidak mungkin mengetahui status suatu hadis tanpa mengetahui
kaidah ilmu al-jarh wa al-ta’dil
c) Mengetahui syarat-syarat perawi yang maqbul.
Bagaimana keadilannya, ke-dlabitan-nya serta perkara yang berkaitan
dengannya.[31]
Syarat-syarat
bagi orang yang menta’dil-kan dan mentajrih-kan yaitu: 1) Berilmu
pengetahuan, 2) Taqwa, 3) wara’
(orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiyat, syubhat-syubhat,
dosa-dosa kecil dan makruhat/yang
dibenci), 4) jujur, 5) menjauhi fanatik golongan, 6) mengetahui sebab-sebab
untuk menta’dilkan dan untuk mentajrihkan.[32]
Jika
terjadi ta’arudh (pertentangan)
antara jarh dan ta’dil pada seseorang perawi, yakni sebagaian ulama’ menta’dilkan dan sebagaian ulama’ yang mentajrihkan, dalam hal itu terdapat empat
pendapat:[33]
1) Pendapat pertama mendahulukan jarh dari ta’dil. Maksudnya, informasi tentang cacatnya periwayat tersebut
dipegang, sementara, informasi tentang ke’adilannya
dikesampingkan, kendati, jumlah penyacat jauh lebih kecil dari pada yang
memujinya sebagai orang ‘adil.
Alasannya, pencacat dapat menunjukkan kelemahan periwayat yang tidak kelihatan
oleh orang-orang yang memuji tadi.
2) Pendapat kedua mengambil penilaian
yang didukung oleh suara terbanyak. Bila pemujinya lebih banyak, maka periwayat
itu dinilai ‘adil, sebaliknya, bila
penyacatnya lebih banyak, maka periwayat tersebut dinilai cacat. Alasannya,
suara terbanyak lebih mempunyai kekuatan. Pendapat kedua ini ditinggalkan oleh
ulama pada umumnya.
3) Pendapat ketiga
mengambil/mendahulukan pujian atas celaan, kecuali apabila celaan disertai
penjelasan tentang sebab-sebab cela’an (jarh).
Hal ini sesuai dengan adab al-jarh
wa al- ta’dil, bahwa untuk
memuji seorang periwayat tidak perlu rincian, sementara, untuk menunjukkan
cacat, rincian itu diperlukan.
4) Pendapat keempat menangguhkan
penilaian sampai ada bukti lain yang menguatkan apakah periwayat kontroversi
itu termasuk orang ‘adil atau orang
cacat.[34]
4.
Tingkatan
Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil
Para
perawi yang meriwayatkan hadis bukanlah semuanya dalam satu derajat dari segi
ke’adilan[35]
dan kedhabitan[36]
, dan hafalan mereka sebagaimana yang kami jelaskan sebelumnya. Diantara mereka
ada yang hafalannya sempurna, ada yang kurang dalam hafalan dan ketepatan, dan
ada pula yang sering lupa dan salah padahal mereka orang yang ‘adil dan amanah, serta ada juga yang
berdusta dalam hadis, maka Allah menyingkap perbuatannya ini melalui tangan
ulama menetapkan tingkatan jarh dan ta’dil , dan lafadz-lafadz yang
menunjukkan pada setiap tingkatan, sehingga tingkatan ta’dil ada enam tingkatan dan tingkatan jarh ada enam juga.[37]
Tabel: 1.2 Tingkatan dan Contoh al-Jarh
wa al- Ta’dil
No
|
Tingkatan
Ta’dil
dan
Contohnya
|
Tingkatan
Jarh
dan
Contohnya
|
1
|
Ta’dil dengan menggunakan ungkapan / kata pujian yang
bersangatan (mubalaghah).
Contohnya: fulanun ilaihi al-muntaha fi at-tatsabbut (si
Fulan itu paling tinggi keteguhannya), atau fulanun atsbata an-nas (si
Fulan itu termasuk orang yang paling teguh).
|
Jarh dengan menggunakan ungkapan yang sangat buruk dan sangat
memberatkan kepada orang yang di cacat karena kedusta’an-nya.
Contohnya:fulanun layuh tajju bihi (si Fulan tidak bisa
dijadikan sebagai hujjah), atau dla’if (lemah), lahumanakir (dia
hadisnya munkar).
|
2
|
Ta’dil dengan mengulangi kata pujian, baik dengan kata sama atau
mirip.
Contohnya:
tsiqatun tsiqah (orang
yang sangat-sangat tsiqah), atau tsiqatun tsabitun (orangnya tsiqah dan
teguh).
|
Jarh dengan menggunakan kata sedikit lebih lunak, juga
berkisar pada dusta.
Contohnya: fulanun layyinun al-hadis (si
Fulan hadisnya lunak), atau fihi maqalun (di dalamnya
diperbincangkan).
|
3
|
Ta’dil dengan menggunakan kata-kata pujian tanpa pengulangan.
Contohnya: tsiqatun (orangnya tsiqah), atau hujjatun (orangnya
ahli argumen).
|
Jarh dengan menggunakan kata yang lebih lunak dari tadi, yang
menunjukkan bahwa hadisnya ditolak oleh orang banyak, atau tidak ditulis
hadisnya.
Contohnya:
fulanun layuktabu haditsuhu
(si Fulan hadisnya tidak bisa dicatat),
la tahillu riwayatu ‘anhu
(tidak boleh meriwayatkan hadis darinya),
dla’if Jiddan (amat
lemah),
wahn bi marratin (orang
yang sering melakukan persangkaan).
|
4
|
Ta’dil dengan menggunakan kata-kata yang menggambarkan ke-baikan
seseorang, tetapi tidak melukiskan kecermatan, atau kekuatan hafalan seperti
yang digunakan ta’dil ke-tiga.
Contohnya:
shaduqun (orangnya
jujur), atau yang sama kedudukannya dengan shaduq, atau la
ba’sa (orangnya tidak punya masalah –cacat-).
|
Jarh dengan menggunakan kata yang lebih lunak lagi.
Contohnya:
fulanun muhtammun bi al-kadzib (si Fulan orang yang dituduh berbuat dusta),
atau muthammun bi al-wadl’I (orang yang dituduh berbuat
palsu), atau yasriqu al-hadis (yang mencuri hadis), atausaqithun (gugur),
atau matruk (ditinggalkan), atau laisa bi tsiqatin (tidaktsiqah).
|
5
|
Ta’dil dengan menggunakan kata yang
tidak menunjukkan adanya cela’an.
Contohnya:
, fu fulanun syaikhun (si Fulan itu
seorang syekh/guru), atau ruwiya ‘anhu an-nas (manusia
meriwayatkan dirinya)
|
Jarh dengan menggunakan kata yang menunjukkan tuduhan dusta
atau pemalsuan hadis.
Contohnya: kadzdzab (pendusta),atau daj-jal,atau wadla’(pemalsu),
atau yukadzdzibu (didustakan), atau yadla’u
(pembuat hadis palsu).
|
6
|
Ta’dil dengan menggunakan kata agak dekat pada celaan (jarh).
Contohnya:
fulanun shalih al-hadis (si
Fulan orang yang hadisnya shalih), yuktabu hadistuhu (orang
yang Hadisnya dicatat).
|
Jarh dengan menggunakan kata-kata yang menggunakan cacat
ringan.
Contohnya:
fulanun
akdzabu an-nas (si Fulan itu orang yang paling
pendusta), ilaihi al-muntaha fi al-kadzbi (dia orang yang
menjadi pangkalnya dusta),
hawa ruknu al-kadzbi (dia
orang yang menjadi penopang dusta)
|
Tabel.
1.3 Hukum tingkatan-tingkatan al-Jarh
dan al-Ta’dil
adalah
sebagai berikut:[38]
No
|
Hukum Tingkatan Ta’dil
|
Hukum Tingkatan Jarh
|
1
|
Untuk tingkat
pertama, dapat dijadikan hujjah, meskipun sebagian mereka lebih kuat dari
sebagian yang lain.
|
Untuk dua
tingkatan pertama tidak bisa dijadikan hujjah terhadap hadis mereka, akan
tetapi boleh ditulis untuk
diperhatikan saja, dan walaupun orang pada tingkatan kedua lebih
rendah dari tingkatan pertama
|
2
|
Adapun
tingkatan keempat dan kelima, tidak bisa dijadikan hujjah, tetapi hadis
mereka boleh ditulis, dan diuji ke dhabithan
mereka dengan membandingkan hadis mereka dengan hadis-hadis para tsiqah yang dhabith. Jika sesuai dengan hadis mereka, maka bisa dijadikan
hujjah. Jadi jika tidak sesuai maka ditolak, meskipun dia dari tingkatan
kelima yang lebih rendah dari pada tingkatan keempat.
|
Sedangkan
empat tingkataan terakhir tidak boleh dijadikan sebagai hujjah, tidak boleh
ditulis, dan tidak boleh dianggap sama sekali.
|
3
|
Sedangkan
tingkatan keenam, tidak bisa dijadikan hujjah, tetapi hadis mereka ditulis untuk
dijadikan sebagai pertimbangan saja bukan untuk pengujian, karena mereka
tidak dhabith.
|
|
Dan ta’dil
boleh diterima tanpa menyebutkan alasan dan sebabnya menurut pendapat yang
shahih dan masyhur, karena sebabnya banyak sehingga sulit menyebutkannya. [39]
Sedangkan jarh
tidak boleh diterima kecuali dengan alasannya, karena hal itu terjadi
disebabkan satu masalah dan tidak sulit menyebutkannya. Dan karena setiap
berbeda dalam sebab-sebab jarhnya.
Ulama yang menjarh seorang perawi
karena berdasarkan pada apa yang diyakininya sebagai jarh, belum tentu dapat dijadikan alasan bagi orang lain. Oleh
karenanya harus dijelaskan sebabnya untuk dapat dilihat apakah itu benar suatu cacat atau bukan. [40]
5.
Analisis
Metode Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil dengan Pendekatan Ontologi dan
Epistemologi
Berangkat dari realitas bahwa fokus keberadaan ilmu al-jarh wa ta’dil sangat diperlukan, karena
menyangkut kajian kritik sanad adalah tentang kualitas para rawi. Sebab melalui
ilmu ini telah mengungkap berbagai informasi, terkait dengan keadaan para rawi hadis yang terlibat dalam periwayatan hadis.
Persoalan ini ialah banyaknya nama rawi yang terlibat, banyaknya nama rawi
yang sama, rentang waktu yang panjang dari rawi
awal hingga akhir, dll, sehingga apabila dirunut secara teliti memungkinkan
terjadinya kekeliruan. Sehingga sejauhmana informasi yang diberikan dapat
memberikan gambaran yang jelas tentang seorang rawi serta keberadaan para pengkritik (kritikus) itu sendiri, yakni
bagaimana kondisi sosio-kultural, hubungan para pengkritik dengan rawi, spesialisasi, ukuran dan metode
yang dipakai oleh para pengkritik dalam penilaian rawi terhadap rawi yang
dikritiknya.
Oleh karena itu bagaimana metode ilmu jarh wa ta’dil yang diberlakukan ulama
hadis dengan pendekatan ontologi dan epistemologi.[41]
- Pendekatan Ontologi
Keberadaan ilmu
jarh wa ta’dil sebagai “ilmu”, mengharuskan ilmu ini untuk mengupayakan
adanya aktifitas jarih dan mu’addil yang menggunakan metode
tertentu dan menghasilkan sesuatu yang sistematis.[42]
Secara ontologis, ilmu membatasi ruang lingkup kajiaannya pada wilayah yang
terjangkau oleh pngalaman manusia.[43]
Pengalaman yang berada pada pra dan pasca-dunia empirik manusia diserahkan pada
pengetahuan lain, agama.[44]
Ontologi membicarakan hakikat sesuatu yang ada.[45]
Persoalan yang muncul ialah apa sebenarnya yang menjadi kajian dan apa hakikat
ilmu jarh wa ta’dil. Maka kajian
terhadap klasifikasi dan konsep tentang ilmu perlu dipaparkan. Pada abad ke-18 dan ke-19, sewaktu
rasionalisme memuncak dan semangat keilmuan sangat dipengaruhi oleh kemajuan
ilmu alam, kategori ilmu dikhususkan bagi kajian yang memiliki dalil atau teori
yang dapat digunakan sebagai rujukan. Akibatnya, ilmu-ilmu kemanusiaan (human science) tidak dapat dikategorikan
sebagai “ilmu”.[46] Ilmu jarh wa ta’dil, rawi-rawi dalam rangkaian sanad
yang akan dinilai jarh dan ta’dil-nya pada
dasarnya mengambil rawi (manusia)
sebagai objek kajiannya. Dengan demikian ilmu ini dikatagorikan ke dalam
kelompok ilmu-ilmu kemanusiaan, yakni ilmu pengetahuan empiris yang mempelajari
manusia dari segala aspek kehidupannya, ciri-ciri khasnya, tingkah lakunya,
perorangan maupun bersama dan menjadikan manusia sebagai subjek sekaligus
objek.[47]
Menjawab pertanyaan “ilmiahkah seperangkat aktivitas
dalam ilmu jarh wa ta’dil dan apakah
ilmu itu telah menempatkan dirinya pada dataran ilmu?” maka hal ini, harus
dimulai dengan membuka kunci pengertian “ilmiah” itu sendiri. Secara umum
aktivitas keilmuan dikatakan ilmiah dan ilmu dikatakan telah menempatkan diri
pada posisinya apabila aktivitas yang dilakukannya dilandasi oleh dasar
pembenaran, bersifat sistematik[48]
dan inter-subjektif.[49]
Semangat ilmiah para pakar ilmu hadis berkaitan
dengan ilmu jarh wa ta’dil tampak dari sikap mereka yang memberikan perhatian
yang cukup besar dan penekanan yang tegas akan pentingnya sikap kritis terhadap
sanad (penelitian rawi). Dengan demikian berarti ilmu jarh wa ta’dil diposisikan
sebagai ilmu dalam ruang lingkup empiris dan jangkauan manusia.
Dengan pendekatan ontologi ini, terlihat bahwa ilmu jarh wa ta’dil di mata filsafat
keilmuan merupakan bangunan ilmu dalam lingkup empiris manusia dan dalam ilmu
kemanusiaan (human science). Oleh karenanya, ilmu ini harus
memposisikan dirinya sebagai ilmu yang memiliki metode tertentu yang sistematis
dan memiliki tata nilai kebenaran tertentu.[50]
- Pendekatan Epistemologi
Metodologi ilmu jarh
wa ta’dil ini difokuskan pada dua
tokoh yang kredibilitasnya diakui oleh banyak ulama hadis, yakni Abu Hatim
Ar-Razi dengan kitabnya al-jarh wa ta’dil yang mewakili masa
klasik, dan Ibn Hajar al-Asqalani dengan kitabnya Tahdzhib al-Tahdzib yang mewakili periode tengah. Dipilihnya dua
tokoh tersebut, disamping karena kredebilitas dan kapabilitas mereka yang
handal, juga karena kedua kitab tersebut menjadi rujukan utama bagi ulama-ulama
hadis sesudahnya.[51]
Menurut Ali Syari’ati
sebagaimana dikutip Mukti Ali, “untuk membaca seorang tokoh dengan segenap
lingkup kehidupannya, setidaknya ada dua metode fundamental yang harus
digunakan. Pertama, meneliti
pikiran-pikirannya. Kedua meneliti
biografinya sejak awal hingga akhir”.[52]
Beberapa persoalan mendasar yang berkaitan dengan
keberadaan jarih mu’addil (kritikus)
dengan metodenya yang terlihat dalam kitab-kitab jarh wa ta’dil, ialah: Pertama,
terlalu banyaknya rawi yang harus
dinilai dan di kritik.[53]
Kedua, dalam menilai, para kritikus
tidak mengkhususkan diri menilai orang yang semasa.[54]
Ketiga, penyusunan kitab tentang jarh wa ta’dil dengan informasi yang
sangat minim.[55]
D.
KESIMPULAN
1. ilmu
Jarh wa al-Ta’dil adalah ilmu yang membahas hal ihwal
rawi dengan menyoroti kesalehan dan kejelekannya, sehingga dengan demikian
periwayatannya dapat diterima atau ditolak.
2. Sejarah
dan perkembangan ilmu Jarh wa al-Ta’dil yaitu munculnya ilmu jarh
wa ta’dil seiring bertumbuhnya periwayatan hadis. Namun perkembangannya,
sejak terjadi al-fitnah al-kubra atau pembunuhan terhadap
khalifah Utsman bin Affan pada tahun 36 H. Pada waktu itu, kaum muslimin telah
terkotak-kotak kedalam berbagai kelompok yang masing-masing mereka merasa
mamiliki atas tindakan yang mereka lakukan apabila mengutip hadis-hadis
Rasulullah SAW.
3. Kegunaan
dan objek kajian ilmu Jarh Wa Al-Ta’dil ialah untuk menetapkan apakah
periwayatan seorang rawi itu dapat diterima atau harus ditolak sama sekali.
Apabila seorang rawi sudah ditarjih sebagai rawi yang cacat maka
periwayatannya ditolak dan apabila seorang rawi di ta’dilsebagai orang
yang adil maka periwayatannya diterima.
4. Tingkatan
dan hukum ilmu Jarh wa al-Ta’dil
Para perawi yang meriwayatkan hadis
bukanlah semuanya dalam satu derajat dari segi ke’adilan dan kedhabitan ,
dan hafalan mereka sebagaimana yang kami jelaskan sebelumnya. Diantara mereka
ada yang hafalannya sempurna, ada yang kurang dalam hafalan dan ketepatan, dan
ada pula yang sering lupa dan salah padahal mereka orang yang ‘adil dan amanah, serta ada juga yang
berdusta dalam hadis, maka Allah menyingkap perbuatannya ini melalui tangan
ulama menetapkan tingkatan jarh dan ta’dil , dan lafadz-lafadz yang
menunjukkan pada setiap tingkatan, sehingga tingkatan ta’dil ada enam tingkatan dan tingkatan jarh ada enam juga. Seperti yang dijelaskan.
5. Metode
ilmu jarh wa ta’dil yang diberlakukan
ulama hadis dengan pendekatan ontologi yaitu bahwa ilmu jarh wa ta’dil di mata filsafat keilmuan merupakan bangunan ilmu
dalam lingkup empiris manusia dan dalam ilmu kemanusiaan (human science). Oleh
karenanya, ilmu ini harus memposisikan dirinya sebagai ilmu yang memiliki
metode tertentu yang sistematis dan memiliki tata nilai kebenaran tertentu.
Sedangkan ilmu jarh wa ta’dil dengan pendekatan epistemologi yaitu
Metodologi ilmu jarh wa ta’dil ini difokuskan pada dua tokoh yang
kredibilitasnya diakui oleh banyak ulama hadis, yakni Abu Hatim Ar-Razi dengan
kitabnya al-jarh wa ta’dil yang mewakili masa klasik, dan Ibn Hajar al-Asqalani
dengan kitabnya Tahdzhib al-Tahdzib yang
mewakili periode tengah. Dipilihnya dua tokoh tersebut, disamping karena
kredebilitas dan kapabilitas mereka yang handal, juga karena kedua kitab
tersebut menjadi rujukan utama bagi ulama-ulama hadis sesudahnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad, Muhammad dan Mudzakir, M., Ulumul Hadis, Bandung: Pustaka Setia,
1998
Al-Qaththan, Manna’, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005
Al-Khathib, Ajjaj,
Ushul Al-Hadis Ulumuhu wa Mushthalahuhu, Beirut: Darul Fikr, 1989
Almanar, Abduh,
Studi Ilmu Hadis, Jakarta: gaung Persada Press, 2011
Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits,
Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999
Ash
Shiddieqy, Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 1998
Assina’i, Musthafa , Al Hadits Sebagai Sumber Hukum, Bandung: Diponegoro, 1979
Berling,
dkk, Pengantar Filsafat Ilmu, terj.
Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana
Ismail, M. Syuhdi, Kaidah-Kesahihan Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1995
Isma’il, M. Syuhdi, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992
Ismail,
Syuhudi, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya,
Jakarta: Gema Insani Press, 1995
Izzan, Ahmad dan Nur, Saifuddin, Ulumul Hadis, Bandung: Tafakur, 2011
Khaeruman,
Badri, Ulum Al-Hadis wa Musthalahuhu, Bandung: Pustaka Setia, 2010
Ma’luf, Louis,
Kamus al-Munjid Fî al;-Lughah wa al-’Alam, Bairut: Dar al-Syarqy, 1976
Mudasir, Ilmu Hadis, Bandung: Pustaka Setia, 2008
Octoberrinsyah, dkk, Al-Hadis, Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005
Rahman, Fazlur dkk,
Wacana Studi Hadis Kontemporer,
Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1990
Suryadilaga, M. Alfatih, Ulumul Hadits, Yogyakarta: Teras, 2010
Susanto, A., Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan
Aksiologis, Jakarta: Bumi Aksara, 2011
Thahhan, Mahmud, Ulumul
Hadis: Studi Kompleksitas Hadis Nabi, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2004
Thahan,
Mahmud, Ilmu Hadis Praktis, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2005
Zuhri, Muh., Hadis
Nabi: Telaah Historis dan Metodologis,
Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003
* Makalah ini dipresentasikan pada matakuliah Studi
Hadis: Teori dan Metodologi yang
di ampu oleh Bpk. Prof. Dr. Suryadi, M.A
* Salah satu mahasiswa alumni STAI
Mathali’ul Falah Pati dan kini melanjutkan study Program Pasca Sarjana S2 semester
pertama, Program Studi Pendidikan Islam (PI) Konsentrasi Pendidikan Bahasa Arab
di Universitas Islam Negri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Tahun Ajaran 2013.
[1] Fazlur Rahman, dkk, Wacana Studi hadis kontemporer, (yogya:
Tiara Wacana, 2002), hlm. 31
[2] M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Ulumul Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2010),
hlm. 155
[3]Ulama berbeda pendapat dalam
memberikan pengertian ‘adalah. Di
antara pengertiannya ialah sifat pribadi seseorang berupa ketakwaan kepada
Allah dan memelihara muru’ah (adab
kesopanan pribadi). Lebih jelas tentang pengertian ‘adalah lihat M. Syuhdi Ismail, Kaidah-Kesahihan
Hadis, (Cet, II; Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm. 129-134
[4] Dhabit secara bahasa berarti yang kuat, yang kokoh, dan yang hafal
hadis secara sempurna. Sedangkan dalam pengertian ilmu hadis, dhabit ialah sorang yang kuat hafalan
hadisnya yang mampu menyampaikan hafalnnya itu kapan saja ia kehendaki. Lihat,
M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Ulumul Hadis,...........hlm.
178
[5] M. Syuhdi Isma’il, Metodologi Penelitian Hadis Nabi
(Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 66
[6] Tsiqah yang dimaksud di sini adalah perpaduan sifat ‘adalah dan dhabit.
[7] M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Ulumul Hadis, ......................hlm.
155
[8] Octoberrinsyah,
dkk, Al-Hadis, (Yogyakarta: Pokja
Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005), hlm. 68
[9] Louis Ma’luf, Kamus al-Munjid Fî al;-Lughah wa
al-’Alam, (Bairut: Dar al-Syarqy, 1976), hlm. 83.
[10] Ajjaj Al-Khathib, Ushul Al-Hadis Ulumuhu wa
Mushthalahuhu, (Beirut: Darul Fikr, 1989) dikutip dari: Abduh
Almanar, Studi Ilmu Hadis, (Jakarta: gaung Persada Press,
2011), hlm. 111
[11] Muh. Zuhri, Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologis, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), hlm. 120
[12] Mudasir, Ilmu Hadis, (Bandung: Pustaka Setia,
2008), hlm. 50
[13] Anis Ibrahim, Al-Mu’jam Al Wasith, (Kairo:
TPN, 1972) dikutip dari: Abduh Almanar, Studi Ilmu Hadis, (Jakarta:
Gaung Persada Press, 2011), hlm. 110
[14] Muh. Zuhri, Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologis...................
hlm. 120-121
[15] Ahmad Izzan dan Saifuddin Nur, , Ulumul Hadis, (Bandung: Tafakur, 2011),
hlm. 122
[16] Ulama’ mengkaji biografi,
termasuk pribadi, para rawi yang sezaman secara langsung. Sedang data mengenai
rawi angkatan tersebut diteliti secara tidak langsung. Mereka mengungkapkan
cacat adilnya rawi tanpa rasa takut ataupun rasa dosa, karena hal itu dilakukan
demi kemurnian agama Allah dan Sunnah Rasulullah SAW semata-mata karena Allah.
sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa kepada imam Bukhari ada yang berkata: “
banyak yang menentangmu karena kitab Tarikhmu. Mereka berpendapat bahwa dalam
kitab tersebut ada banyak mempergunjingkan orang” Imam Bukhari menjawab “kami
hanya mengungkapkan apa adanya dalam rangka periwayatan Hadits dan bukan
pendapat subyektif.” Pengaduan kepada Imam Bukhari itu mungkin diajukan
sehubungan dengan sabda Nabi SAW: “sebusuk-busuk kawan pergaulan ialah yang
suka mengumpat orang lain”. Lihat,
Musthafa Assiba’i, Al-Hadits
sebagai sumber Hukum, (Bandung: Diponegoro, 1979), hlm. 173-174
[17] Hasbi
Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, (Jakarta: Penerbit
Bulan Bintang), hlm. 52
[18] Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar,
dan Pemalsunya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hlm.52
[19] Ibid., hlm. 52
[20] Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu
Hadis, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1998), hlm. 13
[22] Generasi demi generasi, mereka
menulis dan membahas mengenai rijalul
Hadis, dan menuntut lebih jauh lagi, sehingga orang tak perlu payah-payah lagi
menemukan Tarikh dan Hadits mana saja yang terlintas padanya serta
karya-karyanya dalam kitab hadits. Lihat, Musthafa Assiba’i, Al-Hadits sebagai sumber Hukum,
(Bandung: Diponegoro, 1979), hlm. 175
[23] Musthafa Assiba’i, Al-Hadits sebagai sumber Hukum,.............................hlm.
176
[30] Muh. Zuhri, Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologis,.................,
hlm. 122-123
[32] Ahmad Izzan dan Saifuddin Nur, Ulumul Hadis, (Bandung: Tafakur, 2011),
hlm. 125
[33] Ibid., hlm. 126
[34] Muh. Zuhri, Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologis.......................
hlm. 127-128
[35] Keadilan:
maksudnya bahwa rawi itu hendaklah orang muslim, baligh, berakal, selamat dari
sebab kefasikan, selamat dari noda-noda kesopanan. Lihat, Mahmud Thahhan, Ulumul Hadis: Studi Kompleksitas Hadis Nabi,
(Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2004) hlm. 142
[36] Dlabit: maksudnya bahwa rawi itu
tidak menyalahi orang-orang kepercayaan, tidak jelek hafalannya, tidak banyak
salah, tidak pelupa dan tidak banyak persangkaan. Ibid. hlm. 142
[37] Manna’
Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits,
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), hlm. 88
[38] Manna’
Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits,..................................
hlm. 89-40
[39] Ibid., hlm.
90
[40] Mahmud
Thahan, Ilmu Hadis Praktis, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2005),
hlm. 197-198
[41] Fazlur Rahman, Wacana Studi Hadis Kontemporer, (Yogya: Tiara
Wacana, 2002), hlm. 31-32
[42] Ibid., hlm. 33
[43]
A. Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu
Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2011), hlm. 90
[44] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1990), hlm. 104-105
[45] A. Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis,
dan Aksiologis,.................hlm. 90
[46] Fazlur Rahman, Wacana Studi Hadis Kontemporer,...............hlm.
33
[47] Ibid...........................................................hlm.
34
[48] Bersifat sistematik berarti
adanya sistem dalam susunan pengetahuan dan dalam cara memperoleh pengetahuan.
Aktivitas keilmuan tidak membatasi diri pada suatu informasi, tetapi senantiasa
meletakkan hubungan antar sejumlah input yang ada dalam satu kebulatan dengan
cara komparasi, subsumasi, dan generalisasi. Lihat Berling, dkk, Pengantar Filsafat Ilmu, terj. Soejono
Soemargono (Yogyakarta: Tiara Wacana), hlm. 6
[49] Bersifat inter-subjektif berarti
bahwa kepastian pengetahuan ilmiah tidak didasarkan atas instuisi-intuisi serta pemahaman seorang yang bersifat
subjektif, tetapi harus didukung sebanyak mungkin oleh subjek-subjek yang lain.
Ibid, hlm. 6
[50] Fazlur Rahman, Wacana Studi Hadis Kontemporer,....................hlm. 38
[51] Ibid. hlm. 32
[52] Meneliti pikiran sang tokoh bisa
diperoleh dari kajian terhadap karya-karya yang ditulis orang lain tentangnya,
sedang meneliti biografi dilakukan melalui dokumen-dokumen tertulis yang
setidaknya menjawab pertanyaan 5 W: who,
what where, when, dan why. Ibid. hlm. 39.
[53] Secara umum dapat dianalisis,
bagaimana mungkin puluhan bahkan ratusan ribu rawi dengan mengerti betul keberadaan mereka masing-masing dari
berbagai dimensi. Ibid. hlm. 40
[54] Memang mungkin bahwa pengetahuan
seseorang terhadap orang lain yang tidak semasa bisa jadi lebih mendalam
daripada orang yang hidup semasa. Ibid. hlm.
40
[55] Mengingat banyaknya nama yang
serupa untuk kurun waktu dan tempat yang berbeda. Ibid. hlm. 40
Jazakumullahukhoiron kak...ilmunya berguna banget......
BalasHapus