Dualisme
Hakikat-Majaz dan Masalah Ta’wil *
Etey
Qomariah, S. Pd. I *
ABSTRAK
Hubungan makna dengan lafal atau
bentuk teks terdapat aliran dualisme yang menyatakan antara isi (makna) dan
bentuk teks dapat dipisahkan, dengan kata lain bahwa masing-masing mempunyai
eksistensinya tersendiri, meskipun ada hubungan tetapi hubungan tersebut tidak
kompleks. Peranan
majaz dalam mengungkapkan dunia makna yang digunakan sebagai pendekatan dalam
memahami kalamullah di dalam al-Qur’an memiliki makna yang sangat plural.
Penggunaan majaz berkaitan erat dengan keterbatasan fungsi deskriptif bahasa,
secara lebih luas, lebih dalam, dan lebih kompleks dari pada bahasa itu
sendiri. Keterbatasan bahasa tersebut tampak baik pada bahasa majaz ataupun
haqiqi. Kajian ini mengajukan pendekatan majaz sebagai interpretasi teks di
dalam al-Qur’an, dalam arti bahwa suatu lafal atau teks yang dipandang sebagai
majaz itu perlu ta’wil atau pemahaman yang tersirat. Majaz dan ta’wil diantara
keduanya bagaikan sisi mata uang yang sama.
Kata
Kunci: Dualisme, Hakikat, Majaz, dan Masalah Ta’wil
A.
Pendahuluan
Filsafat bahasa
merupakan salah satu cabang filsafat yang mengandalkan analisis penggunaan
bahasa yang bersifat objektif dan subjektif.[1]
Tugas filsafat bahasa memecahkan persoalan yang timbul akibat ketidakpahaman
terhadap bahasa dan juga harus dapat menjelaskan apa yang dapat dikatakan dan
apa yang tidak dapat dikatakan, sehingga memberikan kejelasan hubungan antara
berpikir dan berbicara, antara fungsi ekspresi dan representatif.
Sejarah bahasa Arab
tidak pernah mengenal suatu masa di mana bahasa berkembang sedemikian pesatnya
melainkan tokoh-tokoh dan guru-gurunya bertekuk lutut di hadapan bayan
qur’ani, sebagai manifestasi pengakuan akan ketinggiannya dan mengenali
misteri-misterinya.[2] Para ahli bahasa Arab telah
menekuni ilmu bahasa ini dengan segala variasinya sejak bahasa itu tumbuh
sampai remaja dan mekar dan menjadi raksasa perkasa yang tegar dalam masa
kemudaannya. Mereka mengubah puisi dan prosa, kata-kata bijak dan masal yang
tunduk pada aturan bayan dan diekspresikan dalam uslub-uslubnya yang
memukau, dalam gaya hakiki dan majazi (metafora), itnab
dan ijaz, serta tutur dan ucapannya.
Di dalam kamus linguistik, majaz
atau metafora
(metaphor) berarti pemakaian suatu kata atau ungkapan untuk suatu obyek atau
konsep, berdasarkan kias atau persamaan. Itu berarti suatu kosakata atau
susunan kata yang pada mulanya digunakan untuk makna tertentu (secara lateral
atau harfiah) dialihkan kepada makna lain.
Dalam disiplin ilmu al-Qur’an, pengalihan arti itu disebut ta’wil, atau
oleh ulama-ulama sesudah abad ke 3 H., diartikan sebagai “mengalihkan arti
suatu kata atau kalimat dari makna asalnya yang hakiki ke makna lain
berdasarkan indikator-indikator atau argumentasi-argumentasi yang menyertainya”. Salah satu cabang disiplin ilmu bahasa Arab yaitu ilmu
al-bayan menggunakan istilah majaz.
Peradaban Arab-Islam adalah peradaban teks maka tidak keliru apabila
kita katakan sebagai peradaban ta’wil, karena ta’wil merupakan
sisi lain dari teks. Banyak orang terjebak dalam kesalahan
ketika mereka menginginkan agar Qur’an mengandung segala teori ilmiah. Setiap
lahir teori baru mereka mencarikan untuknya kemungkinannya dalam ayat, lalu
ayat ini mereka ta’wilkan sesuai dengan teori ilmiah tersebut.[3] Al-Qur’an adalah Teks yang berupa bahasa (nasshun
Lughowiyyun) sebuah perkataan- kalâmullah di dalam al-Qur’an
merupakan perkataan-yang diungkapkan dengan bahasa tertentu yang dapat
memberikan petunjuk (dalalah)[4]
Gaya bahasa Al-Qur’an memiliki hakikat yang khusus, berbeda dengan
bahasa-bahasa yang lain. Hal
ini karena sifat hakikat al-Qur’an itu sendiri, yaitu sebagai sarana komunikasi
antara Tuhan dan mahluk-Nya.
Sedangkan, bahasa dalam pengertian umum hanya merupakan sarana
komunikasi antara manusia satu dengan yang lainnya.[5]
Atomisme logis mengatakan bahwa hakikat bahasa adalah melukiskan dunia sehingga
struktur logis bahasa sepadan dengan struktur logis dunia. Sementara
positivisme logis lebih jauh mengatakan bahwa makna bahasa harus dapat diverifikasi
secara empiris dan logis. Berbeda
dengan bahasa al-Qur’an, ia bukan hanya mengacu pada dunia melainkan mengatasi
ruang dan waktu, bersifat metafisik, mengacu pada dimensi Ilahiyah dan
adikodrati.
Mengingat hakikat
bahasa al-Qur’an yang mengacu pada dimensi tersebut di atas, maka untuk
memahami ayat-ayat al-Qur’an tidak mungkin hanya berdasarkan pada kaidah-kaidah
linguistik semata. Sebab itu
dalam upaya mengatasi stagnasi bahasa, terutama kaitannya dengan dimensi
Ilahiyah, dimensi metafisik, dan dimensi adikodrati, maka sangat realistis
bilamana kemudian dikembangkan bahasa metafora dan anlogi (majaz-tasybih).
Karena bahasa metafora dan analogi dapat memberikan jembatan rasio
manusia yang terbatas dengan dimensi Ilahiyah, metafisik, adikodrati yang serba
tidak terbatas, bahkan juga mengatasi ruang dan waktu. Hal ini berdasarkan pada suatu kenyataan
tentang hakikat bahasa bahwa bahasa sebagai simbol pasti memiliki suatu acuan.
Karena itu, tidak mengherankan apabila dalam bahasa al-Qur’an banyak ditemukan
ungkapan metaforik-simbolik, atau yang populer di kalangan pemikir disebut majaz.
Begitu juga menurut pendapat Mu’tazilah, pengetahuan
tentang maksud pembicaraan menusia dapat diketahui melalui pengetahuan
keniscayaan, sedangkan pengetahuan tentang maksud kalâmullah dapat
diketahui melalui pengetahuan argumentatif atau rasional. Rumusan tersebut,
mengidentifikasi bahwa jika ada kalâmullah (signifikansi syari’at)
secara lahiriah bertentangan dengan pendekatan rasional, maka kalâmullah tersebut
harus ditakwilkan karena kedua pendekatan ini tidak pernah bertentangan.
Dengan demikian ta’wil
merupakan pendekatan yang harus dikedepankan untuk menghindari pertentangan
antara argumentasi akal dan argumentasi wahyu secara lahiriah. Penggunaan majaz,
sebagai senjata ta’wil.[6]
Bentuk bahasa mencakup makna khabar (berita). Sebuah berita tidak
mungkin menjadi berita yang bermakna kecuali dihiasi dengan maksud dan kehendak
dari penuturnya. Dan maksud penuturnya akan lebih jelas dan indah, bila
diekspresikan dalam bentuk majaz. Oleh karena itu, pembagian dan
tujuannya menjadi objek kajian yang terkait dengan majaz dan ta’wil.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa yang
dimaksud dengan dualisme hakikat-majaz?
2.
Bagaimana majaz; Asal Usul dan Perkembangannya?
3.
Apa saja macam-macam majaz; pembagian dan bentuk-bentuk majaz?
4.
Apa permasalahan
majaz dan ta’wil?
5.
Apa yang
dimaksud ta’wil dan perbedaan pendapat; tafsir dan ta’wil?
6.
Apa masalah ta’wil?
7.
Apa ruang lingkup masalah ta’wil?
8.
Apa yang dimaksud ta’wil tercela?
9.
Bagaimana syarat-syarat menta’wil?
C.
Pembahasan
Sebelum
memahami lebih jauh tentang dualisme hakikat-majaz mari kita memahami
peta konsep asal-usul hakikat dan majaz, sebagai berikut;
![]() |
(Bagan 1: Pengklasifikasian Lafal dan makna
)
1.
Pengertian
Dualiseme Hakikat-Majaz
Dualisme (dualism)
berasal dari kata Latin yaitu duo
(dua). Dualisme adalah konsep
filsafat yang menyatakan ada dua substansi
yang
berlainan dan bertolak belakang
atau bertentangan atau kebalikan.[7] Para ahli bahasa
sepakat bahwa setiap kata memiliki makna (semantik atau dalalah), yakni
pengertian yang terkandung dalam kata tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut,
diantaranya ada dua jenis makna yang sering menyertai penggunaan sebuah kata
dalam bahasa, yaitu hakikat dan majaz:
a)
Hakikat
(Makna Asli); yaitu, kata yang dalam penggunaannya
tetap menurut makna sebenarnya atau makna asal yang dimiliki oleh kata
tersebut.[8]
Sebagaimana yang terdapat dalam kamus. Sehingga disebut juga dengan ma’na
mu’jamy (makna leksikal). Hakikat terbagi menjadi 3 jenis, yaitu;
1) Hakikat Lughawi; yaitu kata yang
dalam penggunaannya secara bahasa tetap menurut makna sebenarnya. Misalnya,
harimau untuk nama seekor binatang buas.
2) Hakikat Syar’i; yaitu kata yang
dalam penggunaannya menurut syari’at agama tetap menurut makna
sebenarnya. Misalnya, shalat untuk nama suatu ibadah tertentu, dimulai
dengan takbir dan diakhiri dengan salam.
3) Hakikat Urf; yaitu kata yang
secara adat/ istilah menggunakan makna yang sebenarnya. Misalnya, daabbah
untuk nama binatang berkaki empat menurut pengertian adat orang Arab, walaupun
menurut bahasa adalah segala yang merayap/berjalan di muka bumi.[9]
b)
Majaz
(Makna Kiasan); yaitu, kata yang (dipakai) diluar makna
aslinya atau makna baru yang muncul dari penggunaan sebuah bahasa atau
seringkali disebut ma’na far’i (makna tambahan) karena tidak
menunjukkan lagi makna asalnya.[10]
Prosedur perubahan kata hingga ia memiliki makna majaz, ada 4 cara,
yaitu:
1) Ziyadah (menambahkan kata);
misalnya dalam firman Allah:
“ Tiada
sesuatu yang seperti Tuhan”. [11]
ليس كمثله شيئ
(Kata
seperti yang pertama adalah tambahan, tidak perlu diberi makna).
2) Nuqshan (mengurangi kata);
misalnya dalam firman Allah:
(yang
dimaksud adalah bertanya kepada penduduk desa (أهل).
Kata “ahli” disimpan, tidak ditampakkan.
3)
Naql (memindah
arti); misalnya, lafal الغائط untuk nama
kotoran yang keluar dari manusia. Padahal, arti alasannya ; tempat yang
tentram/sunyi, sebab biasanya orang yang buang air besar menuju ke sana.
4)
Isti’arah
(meminjam kata untuk arti lain); misalnya, dalam firman Allah
SWT:
(yang dimaksud dengan kata ‘ingin’ di atas adalah hampir
roboh. Kata ‘ingin’ semestinya untuk manusia hidup. Tetapi disini dipinjam
untuk benda mati (dinding).[14]
Sebagai contoh lain dalam Ilmu Balaghoh
terkait makna Hakikat dan
majaz perhatikan dan bandingkan beberapa ungkapan berikut
ini:
طلعت الشمس
عند المشرق
“Matahari
itu terbit dari timur”
خطبت الشمس
أمام القوم
“Matahari
itu berpidato di depan masyarakat”
قطفت زهرة
في الحديقة
“Aku memetik sekuntum bunga”
أرسلت رسالة إلى
زهرة تتبسم
“ Aku mengirim sepucuk surat
kepada bunga yang tersenyum”
Kata “matahari”,
pada contoh pertama, menunjukkan makna asal yang sebenarnya dimiliki oleh kata
tersebut, yaitu benda langit yang memiliki cahaya yang muncul di siang hari.
Inilah yang disebut ma’na haqiqi. Sedangkan pada contoh kedua, kata
“matahari” tidak digunakan dalam makna asal-sebagaimana contoh pertama-tetapi
digunakan pada makna baru, yaitu orang yang tinggi derajatnya dan berwibawa
serta bercahaya seperti matahari. Inilah yang disebut ma’na majazi.
Begitu juga
dengan ungkapan-ungkapan yang menggunakan kata “bunga”. Kata “bunga”, pada
contoh ketiga, menunjukkan ma’na haqiqi-nya, untuk kembang yang muncul
dari tumbuhan tertentu. Sebagaimana yang kita saksikan di taman-taman.
Sementara pada contoh keempat, kata “bunga” lebih menunjukkan ma’na majazi-nya
yaitu gadis cantik yang biasa tersenyum, seperti bunga yang sedang mekar.[15]
Adapun pengertian majaz dari sudut istilah balaghah dapat
dikaitkan dengan pengertiannya dari sudut bahasa. Secara bahasa, majaz
berarti melewati, sedangkan secara istilah adalah pengertian yang melewati
batas arti fisikal yang eksplisit menuju kearah abstrak yang implisit.
Pengertian majaz yang dinamik ini dapat terwujud jika dilihat dari
kerangka wacana, bukan dari kerangka kata per-kata atau kalimat per-kalimat.[16]
Dalam bidang ulum
al-Qur’an, pengertian majaz berkaitan dengan ta’wil: suatu
ungkapan majazi dipandang perlu untuk dita’wil yakni pengalihan
makna lahir ke dalam makna batin (tetapi bukan dalam arti batiniyyah),
melainkan makna di balik yang tampak atas dasar konteks kebahasaan atau
alasan-alasan rasional dengan mempertimbangkan kaidah-kaidah kebahasaan. Ta’wil
melibatkan alasan-alasan rasional karena sesuatu ungkapan atau kata tidak
menunjuk kepada maknanya dengan dirinya sendiri tetapi karena dijadikan alat
untuk berpikir sehingga ia mempunyai makna.[17]
Kajian ini
berupaya menyingkap sejauh mana makna yang terkandung dalam al-Qur’an dapat
dipahami melalui pendekatan majazi sebagai suatu gaya bahasa yang tidak
berkaitan dengan salah atau benar, sebagaimana pada makna konstatif, melainkan
bagaimana kata-kata digunakan itu dapat mempengaruhi seseorang melakukan
sesuatu yang diinginkan, sehingga menuntut pembacanya selalu berupaya
meningkatkan pemahaman lebih dalam lagi tentang makna yanng terkandung di
dalamnya.
Jadi yang dimaksud dualisme hakikat-majaz adalah
dua kata antara makna yang sebenarnya (denotatif) dan makna yang tidak
sebenarnya (konotatif), yang keduanya menyatakan ada dua
substansi makna yang
berlainan dan bertolak belakang
atau bertentangan. Dan makna majaz inilah yang menjadi pembahasan
selanjutnya.
2.
Majaz; Asal Usul dan Perkembangannya
Al-Jahiz (w.
255/868) adalah sarjana pertama yang memahami majaz, secara substansial,
sebagai lawan dari haqiqah atau veritatif, meskipun, jika dibandingkan
dengan penerusnya seperti al-Qadi Abd al-Jabbar (w.400/417) atau Abd al-Qahir
al-Jurjani (w.471/1078), bahasan al-Jahiz belum begitu sistematis. Beberapa
sarjana kontemporer telah menetapkan bahwa, secara historis, setidaknya ada
tiga group atau kelompok berbeda yang memposisikan lafal majaz sebagai
lawan dari haqiqah.[18]
Tiga kelompok yang dimaksud adalah; pertama, Mu’tazilah, yang secara
dogmatis ajarannya banyak bersinggung dengan majaz, kedua, Zahiriyah,
kelompok yang menolak keberadaan majaz baik dalam bahasa secara
keseluruhan maupun dalam al-Qur’an, dan sebagai konsekwensinya juga menolak ta’wil.
Dan ketiga, Asy’ariyah, kelompok yang mengakui adanya majaz dalam
kondisi tertentu dan di bawah persyaratan-persyaratan yang ketat.[19]
Pembuka dan awal
perbedaan pendapat berkenaan dengan eksistensi majaz dalam al-Qur’an
adalah perbedaan analisis dan kesimpulan tentang asal-muasal bahasa. Memang istlah
majaz merupakan istilah yang baru, dalam arti belum dikenal dimasa Nabi.
Akan tetapi, karena pada hakikatnya cara penngungkapan majazi merupakan
kebutuhan manusia, maka upaya menelusuri munculnya gagasan-gagasan ke arah konsep
majaz ini sejak awal sangat penting dilakukan.[20]
Majaz telah berkembang dalam kajian bidang balaghah,
konsep majaz pada umumnya berintikan tiga hal, yaitu; 1) adanya makna
asal, 2) adanya makna baru, baik berkaitan dengan makna kata per-kata atau hubungan
antar kata yang satu dengan lainnya dalam kalimat tersebut, dan 3) adanya
hubungan antara makna asal dan makna yang baru. Jika bukan dalam arti
sebenarnya (arti majazi), lalu bagaimana hubungan arti baru ini dengan
arti asal, apakah perserupaan (musyabahah) sehingga disebut isti’arah
atau bukan perserupaan (ghairu musyabahah) sehingga disebut majaz
mursal.[21]
Pada dasarnya,
gaya bahasa majaz digunakan karena kebutuhan manusia: kebutuhan akan
cara pengungkapan pengertian-pengertian konseptual yang abstrak agar mudah
ditangkap atau dipahami, sekaligus menimbulkan rasa estetik (keindahan). Fungsi
kognitif dan estetik ini inheren dalam gaya bahasa majaz, tetapi pada
umumnya hanya fungsi estetiknya saja yang banyak dibicarakan.
Ketika suatu gagasan yang amat kompleks itu
dieksplisitkan dalam bentuk bahasa maka akan tampak keterbatasan bahasa itu,
lantaran keterbatasan fungsi deskriptif bahasa itu sendiri. Sebaliknya, mungkin
terjadi penafsiran atau pemahaman yang beragam terhadap suatu gagasan (makna)
yang sudah dieksplisitkan dalam bentuk bahasa, baik bahasa tulis maupun bahasa
lisan. Karena
penafsiran terhadap suatu teks akan dipengaruhi oleh faktor-faktor yang diluar
teks.
Dengan
pendekatan majaz, dimaksudkan agar pesan-pesan universal al-Qur’an
sebagai petunjuk bagi manusia (hudan li an-nas) dapat dipahami.
Pendekatan majazi di sini berkaitan dengan persoalan makna, bukan
sebagai gaya bahasa yang memperindah ungkapan saja, melainkan lebih sebagai
cara pengungkapan pengertian konseptual yang abstrak (mujarrad) dengan
ungkapan yang bersifat kongkrit fisikal, baik dalam bentuk kata, kalimat satu
kata pada yang lain atau suatu wacana. Perhatikan penjelasan yang digambarkan
sebagai berikut:
(Gambar 2: Tataran konsep yang bersifat konseptual abstrak)








![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
||||||
![]() |
Teks yang
menggunakan bahasa filsafat konkret
Kolom A adalah teks yang menggunakan bahasa fisikal
konkret, sedangkan kolom B merupakan pengertian konseptual yang bersifat
abstrak yang ditarik dari bahasa fisikal konkrit. Kolom C, D, dan seterusnya merupakan penerjemahan dari
pengertian konseptual abstrak, menggunakan bahasa atau ungkapan yang sesuai
dengan situasi dan kondisinya masing-masing. [22]
Memahami suatu
teks dengan pendekatan majazi, adalah dengan cara melewati makna yang
bersifat fisikal menuju makna konseptual sehingga suatu ungkapan menjadi luas
kandungan maknanya (kaya makna), kemudian diterapkan kembali dalam pengertian
keseharian secara kontekstual. Pendekatan ini dapat digunakan untuk menggali
makna-makna yang terkandung dalam al-Qur’an sedemikian rupa sehingga
pesan-pesan yang disampaikannya selalu dinamis, sesuai dengan tuntutan situasi
dan kondisi. Persoalannya adalah bagaimana makna konseptual yang bersifat
universal dari sebuah teks itu ditarik, dan bukan sekedar membedakan apakah
suatu kata atau kalimat itu dalam arti haqiqi-nya atau majazi-nya,
sehingga tidak terjebak pada masalah parsial yang semakin menjauhkan dari inti
pesan al-Qur’an itu sendiri.
3.
Macam-macam Majaz; Pembagian
dan Bentuk-Bentuk
Majaz
Secara singkat
dan mudah, mari kita memahami peta konsep untuk mengetahui macam-macam majaz;
pembagian dan bentuk-bentuk majaz seperti yang ada di bawah ini:
![]() |
a. Pembagian Majaz
Penjelasan pembagian majaz; terbagi menjadi
dua yaitu majaz lughawi dan majaz’aqli.
majaz lughawi atau majaz menurut bahasa adalah jalan penyebrangan.
Sementara yang dimaksudkan dengan majaz dalam pembahasan ini adalah
sebuah kata yang digunakan bukan pada makna lain, karena ada hubungan diantara
kedua makna tersebut, serta ada indikator atau sebab yang menghalangi
pengguanaan kata tersebut dari makna aslinya. Pengertian terminologis seperti
ini, memberikan gambaran bahwa makna sebuah kata dalam majaz telah
melakukan “penyebrangan” dari makna asal ke makna yang lain; dari makna
denotatif ke makna konotatif.
Contoh:1
رأيت أسدا يرمي عدوه “aku
melihat seekor singa sedang menembak musuhnya” dan contoh ke-2التي كنا فيها واسأل القرية
“dan tanyalah
(penduduk) negri
yang kami berada di situ”
Secara skematis penjelasan dari dua contoh di atas
dapat di jelaskan seperti yang ada dibawah ini:
Majaz
|
Makna
asli
(hakikat
/denotatif)
|
Makna Majaz
(konotatif)
|
Hubungan
|
Tanda
|
أسد
|
Binatang buas
|
Seorang
pemberani
|
Kesamaan dalam
sifat keberanian
|
Kata menembak
|
القرية
|
desa/kampung/sebuah
daerah hunian
|
Penduduk
kampung
|
Tempat dengan
yang menempati
|
Kata tanyalah
|
(Bagan 4: Contoh-contoh Hakikat-Majaz)
1)
Pembagian Majaz Lughawi Berdasarkan Hubungan
Pembagian majaz lughawi berdasarkan hubungan
antara makna hakiki dan majazi dibagi menjadi dua yaitu 1) majaz
isti’arah[24]
dan 2) majaz mursal[25].
Adapun
majaz isti’arah dibagi dua yaitu; isti’arah Tashrihiyah dan isti’arah
makaniyah.[26]
Sedangkan majaz mursal macamnya antara lain; juziyah, mahalliayah,
haliyah, musyababiyah, kulliyah, sababiyah, i’tibaru makana, i’tibaru mayakunu.
2) Pembagian Majaz
aqli
Majaz aqli adalah majaz yang
menghubungkan sebuah kata kerja atau yang semakna dengannnya. Majaz aqli menghubungkan
fi’il dengan waktu, tempat, penyebab, atau masdar dari kejadian
tersebut.
b. Bentuk-Bentuk Majaz
![]() |
(Bagan 5: Bentuk-Bentuk Majaz)
Bentuk-bentuk majaz yang diuraikan oleh para
sarjana klasik merupakan langkah lanjut dalam penelitian wacana susastra
al-Qur’an sangatlah beragam.[27]
Menarik untuk dicermati bahwa bentuk-bentuk majaz tersebut dielaborasi
agar prespektif “madzhab” tafsir susastra al-Qur’an bisa dipaparkan dengan
jelas. Bentuk-bentuk majaz tersebut di antaranya adalah isti’arah,
tasybih, tamtsil, dan kinayah.[28]
4.
Permasalahan
Majaz dan Ta’wil
Perkembangan pemikiran dan semakin meluasnya wilayah
Islam serta pergesekan dengan dunia luar sejak paruh kedua abad kedua Hijriah,
semakin menambah khazanah pemikiran Islam dan kebahasaan Arab. Sudah barang
tentu perkembangan pemikiran tersebut memunculkan perdebatan pendapat atau
sebaliknya, perbedaan pendapat mendorong perkembangan pemikiran, termasuk dalam
masalah majaz dan pada gilirannya juga masalah ta’wil, karena
jika sesuatu ungkapan dipandang sebagai ungkapan majazi maka diperlukan ta’wil.[29]
Permasalahan pokoknya adalah:
a. Jika,
pengertian majaz adalah pengertian tidak sebagaimana yang tertulis atas
dasar alasan tertentu, yakni adanya alaqah keterhubungan antara arti
asal dengan arti baru, maka untuk memahami ungkapan majazi (bagi yang
meyakini adanya) dalam al-Qur’an diperlukan pemahaman lain. Karena majaz adalah
penggunaan pemahaman selain yang tertulis, maka kaum zahiri menolak
adanya majaz dalam al-Qur’an. Di antaranya adalah; Abu Ishaq
al-Isfirayini (w.418 H), Abu Ali al-Farisi, dan Daud az-Zahiri (w.270 H).
b. Jika
pemahaman tidak sebagaimana yang tersurat diterapkan pada al-Qur’an, misalnya
pada ayat-ayat mutsyabihat, apakah yang demikian ini bukan pemaksaan
terhadap makna sesuai dengan masing-masing orang atau golongan. Padahal yang
lebih tahu membahasakan tentang Zat Allah adalah Allah SWT sendiri, sehingga
perlu pemahaman tertulis. Akan tetapi, jika dipahami secara tertulis maka
berarti ada perserupaan antara Tuhan dengan manusia, padahal ditegaskan oleh
al-Qur’an ليس كمثله شيئ [30] karena itu sebagian ulama memilih diam (tawaqquf)
tidak mau berkomentar lebih dari yang tersurat menghadapi ayat-ayat mutsyabihat,
misalnya Imam Malik, Ibnu Taimiah, Ibnu al-Qoyyim.
c. Jika
al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, sebagaiman dinyatakannya sendiri,
padahal dalam bahasa Arab, juga dalam bahasa lain, ungkapan majazi banyak
ditemukan lantaran keterbatasan bahasa, dan bukan berkaitan dengan masalah
kebohongan, maka tentunya majaz juga ada dalam al-Qur’an. Hal ini dikemukakan oleh kaum mu’tazilah, juga oleh
jumhur ulama. Maka ayat-ayat mutsyabihat dipandang sebagai ayat-ayat
yang mengandung ungkapan-ungkapan majazi yang perlu dita’wil.[31]
d. Akar
masalahnya ada pada bahasa (bayan), maka ahl al-irfan menghadapi ayat-ayat
mutasyabihat tidak berpijak pada epistemologi bayani melainkan irfani,
sebagaimana oleh Ibnu Arabi. Ia
juga menggunakan istilah ta’wil irfani. Berbeda dengan ta’wil bayani,
ta’wil irfani adalah ta’wil yang berupaya menembus epistemologi irfani
dalam rangka menemukan “hakikat” sebagaimana yang diisyaratkan oleh redaksi
lahir dari suatu teks (zahir al-lafz). Sementara ta’wil dalam
epistemologi bayani tidak lebih dari pemindahan makna “asli” ke makna
lain yang biasa pula di gunakan orang-orang arab pada masa jahiliyah maupun
awal Islam, karena adanya hubungan alasan (qarinah) tertentu. Ibnu Arabi
membagi ta’wil menjadi dua; 1) ta’wil terhadap wujud yaitu dengan
menembus sesuatu yang zahir hissi ke arah yang batin ruhi. 2) ta’wil
terhadap teks yaitu dengan melewati bahasa manusia dengan keterbatasnnya ke
arah bahasa ilahiyyah dalam
kemutlakan-Nya dan arti obyektif-Nya.[32]
e. Permasalahan
yang akan timbul berkenaan dengan penerapan konsep majaz dan ta’wil terhadap
al-Qur’an adalah jika konsep ini diterapkan terlalu jauh dan luas mencakup
seluruh isi al-Qur’an. Hal itu karena orang dapat berkesimpulan bahwa apa yang
disebutkan dalam al-Qur’an, termasuk; syurga, neraka, malaikat dan sebagainya
hanya dipandang sebagai suatu hal yang tidak ada dalam kenyataan dan hanya
merupakan gambaran saja.
5. Pengertian Ta’wil dan Perbedaan
Pendapat;Tafsir dan Ta’wil
a. Pengertian Ta’wil
Secara etimologi, menurut sebagian ulama’, kata ta’wil
memiliki makna yang sama dengan kata tafsir, yakni “menerangkan” dan
“menjelaskan”.[33] Ta’wil
secara bahasa berasal dari kata “ala-ya’ulu”[34], yang bermakna kembali dan berpaling.
Dilafalkan
dengan shighat untuk memfaedahkan ta’diyah (supaya berarti
mengembalikan), ada
juga yang mengatakan, diambil dari kata “ail” yang berarti
“memalingkan”, yakni: memalingkan ayat dari makna yang dzahir
kepada sesuatu makna yang dapat diterima olehnya. [35]
أول
الكلم تأويلا artinya; memikirkan, memperkirakan dan menafsirkannya.
Sedangkan yang dikamaksud dengan ta’wil
secara istilah ialah :
1.
Menurut Ulama Salaf : “Menafsirkan
dan mejelaskan makna suatu ungkapan baik yang
bersesuaian dengan makna ataupun bertentangan. Hakikat yang sebenarnya yang dikehendaki suatu ungkapan.”
2.
Menurut Khalaf : “Mengalihkan suatu lafaz
dari maknanya yang rajih kepada makna yang marjuh karena ada indikasi untuk
itu.”
3.
Pengertian ta’wil menurut
istilah adalah suatu usaha untuk memahami lafaz-lafaz (ayat-ayat)
Al-Qur’an melalui pendekatan pemahaman arti yang dikandung oleh lafaz itu.
Jadi ta’wil
adalah pengertian-pengertian yang samar atau yang tersirat yang di-istinmbath-kan
(diproses) dari ayat-ayat al-Qur’an, yang memerlukan renungan dan pemikiran dan
merupakan prosesing membuka tabir atau makna yang terkandung didalamnya.
Ayat yang mempunyai kemungkinan beberapa pengertian dinyatakan oleh mufassir mana yang lebih kuat
dan pantas berdasarkan pandangan dan istidlal (lagkah pengambilan
dalil).[36]
Selanjutnya pemaknaan ta’wil menurut
terminologi dapat dikemukakan sebagai berikut:
Kata sebagian ulama’:
التأويل ترجيع الشئ الى غايته, بيان مايراد منه
“Ta’wil ialah: mengembalikan sesuatu kepada ghayahnya, yakni
menerangkan apa yang dimaksudkannya”.[37]
Sebagian yang
lain berkata:
التأويل بيان احد محتملات اللفظ
“Ta’wil
ialah menerangkan salah satu makna yang dapat diterima oleh lafal.”
Kata As Said al-Jurjany mengemukakan:
التأويل: صرف
اللفظ عن معناه الظاهر إلى معنى يحتمله إذا كان للمحتمل الذي يراه موافقا للكتاب
والسنة
“Ta’wil ialah: memalikngkan
lafal dari maknanya yang tersurat kepada makna lain (batin) yang
dimiliki lafal itu, jika makna lain tersebut dipandang sesuai dengan ketentuan
al-Qur’an dan al-Sunnah”.[38]
Sebagiannya, seperti Ahmad al-Maraghiy mengemukakan:
أما التأويل: فهو
أن يكون للآية معان محتملة فمهما ذكرت للسامع معنى ثم معنى وقف وقفه للمتردد في اختيار
أقربها إلى نفسه ومن ثم كان التأويل أكثرما يستعمل في جانب
المتشابهات
Adapun ta’wil ialah: ayat yang memiliki kemungkinan
sejumlah makna yang terkandung di dalamnya, maka manakala dikemukakan makna
demi makna kepada pendengar, ia menjadi sangsi dan bingung mana yang hendak
dipilihnya. Karena itu, takwil lebih banyak digunakan untuk ayat-ayat mutsyabihat.[39]
Muhammad Ali al-Shabuniy mendefinisikan ta’wil
sebagai berikut:
التأويل: فهو
ترجيح بعض المعاني المحتملة من الآيات الكريمة التي تحتمل عدة معان
Ta’wil ialah: memandang kuat sebagian dari
makna-makna tertentu yang terkandung di dalam ayat al-Qur’an dari sekian banyak
kemungkinan makna yang ada.[40]
Dengan merujuk
kepada makna ta’wil (at-ta’wil)
maka akan jelas bahwa lafaz ta’wil digunakan
untuk menunjukkan tiga makna:
1)
Memalingkan sebuah lafal dari makna yang kuat (rajih) kepada makna yang
lemah (marjuh) karena ada suatu dalil yang menghendakinya. Inilah
pengertian ta’wil
yang dimaksud
mayoritas ulama muta’akhirin.
2)
Ta’wil dengan
makna tafsir (menerangkan, menjelaskan), yaitu pembicaraan untuk menafsirkan
lafal-lafal agar maknanya dapat dipahami.
3)
Ta’wil adalah hakikat (substansi) yang
kepadanya pembicaraan dikembalikan. Maka, ta’wil dari
pada yang diberitakan Allah tentang zat dan sifat-sifat-Nya ialah hakikat
zat-Nya itu sendiri yang kudus dan hakikat sifat-sifat-Nya. Dan ta’wil dari
apa yang diberitakan Allah tentang hari kemudian adalah substansi yang ada pada
hari kemudian itu sendiri.[41]
b.
Perbedaan
Pendapat; Tafsir dan Ta’wil
Perbedaan pendapat tentang tafsir dan ta’wil, lebih
singkatnya bisa difahami sebagai berikut:
(Tabel
6: Perbadaan Tafsir
dan Ta’wil)
No
|
Tafsir
|
No
|
Ta’wil
|
1
|
Pemakaiannya banyak terdapat pada
lafal-lafal dan leksikologi (mufrodat)
|
1
|
Penggunaannya lebih banyak pada
makna-makna dan susunan kalimat
|
2
|
Jelas diterangkan dalam al-Qur’an dan
hadis-hadis shohih
|
2
|
Kebanyakan diistimbatkan oleh
para ulama’
|
3
|
Banyak berhubungan dengan riwayat
|
3
|
Lebih banyak berhubungan dengan dirayah
(nalar, ‘aqliy)
|
4
|
Digunakan dalam ayat-ayat yang muhkamat
(jelas,terang)
|
4
|
Digunakan dalam ayat-ayat mutasyabihat
(samar, tidak jelas)
|
5
|
Bersifat menerangkan petunujuk yang
dikehendaki
|
5
|
Menerangkan hakikat yang dikehendaki
|
Dengan memperhatikan perbedaan tafsir dan ta’wil
sebagaimana dikemukakan oleh para ulama’ di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ta’wil
dikatakan sebagai menafsirkan perkataan dan menjelaskan makna yang tersirat
dibalik lafal yang tersurat, maka ta’wil dan tafsir adalah dua
kata yang berdekatan atau hampir sama, bila tidak dikatakan sama. Termasuk
kedalam pengertian ini adalah do’a Rasulullah SAW untuk Ibnu Abbas yang
berbunyi:
اللهم
فقه في الدين وعلمه التأويل.
“Ya Allah
berikanlah kepadanya kemampuan untuk memahami agama secara mendalam dan
ajarkanlah ta’wil kepadanya”.
Atas dasar
itulah tampaknya, ulama’ terdahulu (al-mutaqaddimun), termasuk di
dalamnya Ibnu Jarir al-Thabariy (w.310 H) memandang sama antara pengertian
tafsir dan ta’wil.
Sebaliknya, bila
ta’wil dikatakan sebagai menggali esensi dari sesuatu perkataan yang
berada dalam realitas (bukan dalam pikiran), sedang tafsir dikatakan sebagai “syarah”
dan penjelasan bagi suatu perkataan, dan penjelasan ini berada dalam lisan
(perkataan) dengan ungkapan yang menunjukkannya, atas dasar ini maka perbedaan
antara tafsir dengan ta’wil cukup signifikan.[42]
Pendapat lain ada juga yang membedakan makna antara
kata tafsir dan ta’wil. Namun Abu Zayd memilih menggunakan ta’wil
ke timbang tafsir-dan kata “ pembacaan”-(Qira’ah, reading) pun dia
gunakan dalam pengertian ta’wil ini, sebagaimana yang lazim digunakan
dalam kritik sastra, bukan dalam pengertian upaya penguakan makna luar
sebagaimana yang akan digambarkan diagram seperti yang ada di bawah ini:
(Gambar 7: Perbedaan antara Qira’ah,
Tafsir, dan Ta’wil)
|
|







Ta’wil
![]() |
||||
|
Maksudnya adalah ta’wil berkaitan dengan
proses penguakan dan penemuan (istinbath) yang tidak dapat dicapai
melalui tafsir yang hanya menyentuh makna luar saja. Dalam ta’wil, peran
pembaca dalam pemahaman dan menguakan makna teks adalah lebih signifikan
ketimbang tafsir.[43]
Kata ta’wil berdasar pada firman Allah di dalam al-Qur’an, surat
Ali ‘Imran (3):
7,.. ومايعلم تأويله إلاالله..... “padahal tidak ada yang mengetahui
ta’wilnya melainkan Allah”.[44]
Karena fungsi keduanya sama-sama menjelaskan makna suatu ayat yang samar, maka
ada kalangan ulama’ yang menyamakan maksud tafsir dan ta’wil.[45]
Di samping itu, terdapat pula ulama yang membedakannya, seperti al-Raghib
al-Ashfahani, Ibn Mansur, al-Maturidi dan Abu Thalib al-Taghlibi. Mereka
berpendapat bahwa tafsir lebih umum dibandinng ta’wil, sebab tafsir
umumnya berfungsi menerangkan maksud yang terkandung dalam susunan kalimat. Ta’wil
digunakan untuk menjelaskan pengertian kitab-kitab suci, sedangkan tafsir
selain fungsi demikian juga berfungsi menerangkan hal-hal yang lain.[46]
6. Masalah Ta’wil; Ayat-ayat Mutsyabihat
Allah S.W.T
telah
menurunkan
Al-Qur’an dengan dua macam ayat; muhkamat dan mutasyabihat.[47] Sejak zaman dahulu para ulama telah berselisih faham
dalam masalah ini, yaitu dalam penafsiran makna ayat-ayat mutasyabihat
dan pengalihannya ke dalam makna lain, dan hal inilah yang disebut dengan “Ta’wil”.
Kaitan antara ta’wil dengan ayat-ayat mutasyabihat
adalah wacana yang menarik banyak perhatian para ulama. Perdebatan itu
berkisar sekitar pengertian ayat-ayat mutasyabihat, siapa yang
mengetahui maksud sebenarnya yang terkandung dalam ayat-ayat tersebut, atau
siapa yang mengetahui ta’wilnya, dan bagi yang berpendapat bahwa
sebagian manusia juga dapat mengetahui ta’wilnya; bagaimana ta’wil terhadap
ayat-ayat mutasyabihat tersebut.
Sasaran ta’wil pada umumnya adalah menyangkut
ayat-ayat mutasyabihat atau ayat-ayat yang mempunyai sejumlah
kemungkinan makna yang terkandung di dalamnya. Dalam hal ini, ayat-ayat mutsyabihat ialah
ayat-ayat yang tidak terang maknanya. Menurut ulama’ dari kalangan mutakallimin,
ayat-ayat mutasyabihat itu biasanya menyangkut tentang Dzat Allah dan
sifat-sifat-Nya. Kebalikannya adalah ayat-ayat muhkamat, yaitu ayat-ayat
yang tegas dan terang maknanya.
Bagi para Ulama’ salaf, ayat-ayat mutsyabihat
tidaklah begitu banyak, sebab mereka mempunyai kemampuan untuk memahaminya
dengan kedalaman bahasa Arab yang dimilikinya. Namun setelah itu, lebih-lebih
setelah kemampuan memahami bahasa Arab semakin lemah, maka jumlah atau bilangan
ayat-ayat mutasyabihat menjadi semakin banyak. Sehubungan dengan itu,
kebanyakan ayat-ayat yang disebut mutsyabihat itu oleh ulama’ulama’ yang
muncul belakangan disebabkan oleh lemahnya dalam memahami bahasa Arab. Ayat-ayat mutsayabihat lebih banyak
menyangkut persoalan kepercayaan atau keyakinan, yang didalamnya berhubungan
dengan eskatalogi (hal yang ga’ib, akhirat). Jadi, ayat-ayat mutsayabihat
umumnya menyangkut soal akidah.[48]
Adapun hikmah penyamaran ini, antara lain, mendorong
orang untuk berpikir suatu kegiatan yang amat penting dalam kehidupan manusia
untuk mencari kebenaran.
a. Pengertian Ayat-ayat Mutasyabihat
Dari segi kesamaran dan kejelasannya, ayat-ayat
al-Qur’an dapat dibagi menjadi dua, yaitu muhkam dan mutasyabih.
Dasarnya adalah ayat, sebagaimana firman Allah yang ada di bawah ini:
uqèd ü“Ï%©!$# tAt“Rr& y7ø‹n=tã |=»tGÅ3ø9$# çm÷ZÏB ×M»tƒ#uä ìM»yJs3øt’C £`èd ‘Pé& É=»tGÅ3ø9$# ãyzé&ur ×M»ygÎ7»t±tFãB ( $¨Br'sù tûïÏ%©!$# ’Îû óOÎgÎ/qè=è% Ô÷÷ƒy— tbqãèÎ6®KuŠsù $tB tmt7»t±s? çm÷ZÏB uä!$tóÏGö/$# ÏpuZ÷GÏÿø9$# uä!$tóÏGö/$#ur ¾Ï&Î#ƒÍrù's? 3 $tBur ãNn=÷ètƒ ÿ¼ã&s#ƒÍrù's? žwÎ) ª!$# 3[49] tbqã‚Å™º§9$#ur ’Îû É[50]Où=Ïèø9$# tbqä9qà)tƒ $¨ZtB#uä ¾ÏmÎ/ @@ä. ô`ÏiB ωZÏã $uZÎn/u‘ 3 $tBur ã©.¤‹tƒ HwÎ) (#qä9'ré& É=»t6ø9F{$# ÇÐÈ
Artinya:
“Dialah yang menurunkan al-Kitab (Qur’an) kepadamu.
Di antara (isi)-Nya ada ayat-ayat muhkamat, itulah pokok-pokok isi
Qur’an dan yang (ayat-ayat) mutsyabihat. Adapun orang-orang yang dalam
hatinya condong kepada kesesatan, mereka mengikuti ayat-ayat yang mutsyabihat
dari padannya untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta’wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya
melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata:
kami beriman kepada ayat-ayat mutsyabihat. Semuanya itu dari sisi Tuhan kami…”(Ali ‘Imran [3] : 7 ).[51]
Secara bahasa, istilah mutsyabihat
merupakan
bentuk isim fail dari kata اشتبه yang berarti hal-hal yang bermiripan (متماثلات ). Pada
umumnya, orang akan merasa sulit untuk membedakan sesuatu yang mirip dengan
yang lain, hal ini disebabkan adanya kesamaran atau ketidakpastian. Pengertian
secara istilah tidak jauh berkaitan dengan arti mutsyabihatat, tetapi pada umumnya
pengertian tersebut berkisar sekitar pengertian kesamaran arti lantaran apa
yang dimaksud bukan yang tersurat atas dasar alasan akal atau kebahasaan, atau
dengan kata lain berarti ayat-ayat yang pengertiannya disamarkan sedimikian
rupa.
b.
Siapa yang mengetahui maksudnya atau ta’wilnya?
Sebagaimana
telah disinggung di atas, ayat mutsyabihat adalah ayat yang maksudnya
disamarkan. Sehingga, menurut pendapat umum para ulama, hanya Allah lah yang
mengetahui pengertian sebenarnya atau ta’wilnya, dengan me-waqf-kan
ayat pada إلاالله . Sementara itu,
Abu al-Hasan al-Asy’ari, juga Abu Ishaq asy-Syairazi berpandangan bahwa ta’wil
ayat-ayat tersebut juga diketahui oleh selain Allah, yakni orang-orang yang
mendalam ilmunya dengan mewaqafkan ayat pada Où=Ïèø9$#’Îûbqã‚Å™º§9$#ur dengan
alasan bahwa disebutkannaaya Où=Ïèø9$#’Îûbqã‚Å™º§9$#ur
adalah
dalam rangka pujian terhadap mereka, maka selayaknya jika mereka tahu akan ta’wilnya.
7.
Ruang Lingkup Masalah Ta’wil
Adapun ruang lingkup masalah ta’wil menurut Ash-Shaukani dalam Irsyadul Fuhul ada dua[52], diantaranya;
a.
Ta’wil dalam
masalah-masalah furu’, yakni; dalam nash-nash yang berkaitan dengan
hukum-hukum syariah.[53]
Ta’wil dalam ruang lingkup ini tidak diperselisihkan lagi mengenai
bolehnya di kalangan ulama.
b.
Ta’wil dalam masalah-masalah
ushul, yakni nash-nash yang berkaitan dengan masalah aqidah.[54]
Seperti, nash tentang sifat-sifat Allah Azza wa Jalla, bahwa Allah
memiliki tangan, wajah, dan sebagainya. Selain itu, termasuk juga huruf muqattha’ah
di permulaan surat-surat.
8.
Ta’wil tercela
Ta’wil yang tercela
adalah ta’wil
yang pengertian pertama, memalingkan lafal dari makna rajih kepada makna
marjuh karena ada dalil yang menyertainya. Ta’wil semacam ini
banyak dipergunakan oleh sebagian besar ulama’ mutaakhirin, dengan
tujuan untuk lebih memahasucikan Allah SWT dari keserupaan-Nya dengan mahluk
seperti yang mereka sangka.
Dugaan ini sungguh batil karena dapat
menjatuhkan mereka ke dalam kekhawatiran yang sama dengan apa yang mereka
takuti, atau bahkan lebih dari itu. Misalnya, ketika mentakwilkan tangan (al-yad)
dengan kekuasaan (al-qudrah). Maksud mereka adalah untuk
menghindarkan penetapan “tangan” bagi khaliq mengingat mahluk pun memiliki
tangan. Oleh karena lafal al-yad ini bagi mereka menimbulkan kekaburan
maka dita’wilkan dengan al-qudrah.
Hal semacam ini mengandung kontradiktif,
karena memaksa mereka untuk menetapkan sesuatu makna yang serupa dengan makna
yang mereka sangka harus ditiadakan, mengingat mahluk pun mempunyai kekuasaan, al-Qudrah,
pula. Apabila qudrah yang mereka tetapkan itu hak dan mungkin, maka
penetapan “tangan” dianggap batil dan terlarang karena menimbulkan keserupaan
menurut dugaan mereka, maka penetapan “kekuasaan” juga batil dan terlarang.
Dengan demikian, maka tidak dapat
dikatakan bahwa lafal ini dita’wilkan, dalam arti dipalingkan dari makna yang
rajih kepada makna yang marjuh. Cela’an terhadap para ta’wil yang datang
dari para ulama’ salaf dan lainnya itu ditujukan kepada mereka yang mena’wilkan
lafal-lafal yang kabur maknanya bagi mereka, tetapi tidak menurut ta’wil
yang sebenarnya, sekalipun yang demikian tidak kabur bagi orang lain.[55]
9.
Syarat-Syarat Melakukan ta’wil
Beberapa persyaratan bagi orang yang ingin melakukan ta’wil terhadap
ayat-ayat Al-Qur’an dengan kriteria yang cukup ketat, yang juga merupakan
kriteria bagi seorang mujtahid dan mufassir, di antaranya:
a.
Memiliki ilmu tentang Al-Qur’an;
mengetahui dan mengusai ayat-ayat Al Qur’an
terutama ayat-ayat hukum dan tidak disyaratkan harus menghafalnya.
b.
Memiliki ilmu tentang As-Sunnah;
mengetahui dan mengusai hadis-hadis hukum dan mampu menyebutkannya, serta
membedakannya mana yang shahih dan mana yang dhaif, mengetahui nasikh
dan mansukh, mengetahui ijma’, dan perbedaan-perbedaan pendapat
para ulama.
c.
Mengusai ilmu ushul fiqh
sebagai modal ijtihad.
d.
Mengusai bahasa Arab dengan baik dan
mengetahui makna-makna dari setiap katanya, karena ta’wil-ta’wil
batil kebanyakan berasal dari orang ajam yang tidak mengusai bahasa
Arab.
e.
Mengetahui maqashid shari’ah
dengan baik.
f.
Ber-aqidah yang lurus, terpercaya, dan
wara’.[56]
D.
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian diatas tentang dualisme hakikat-majaz dan masalah ta’wil
maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Yang dimaksud dengan dualisme
hakikat-majaz adalah
dua kata antara hakikat
yaitu makna yang
sebenarnya (denotatif) dan majaz
makna yang tidak sebenarnya
(konotatif), yang keduanya menyatakan ada dua substansi makna
yang
berlainan dan bertolak belakang
atau bertentangan.
2.
Majaz; Asal Usul dan Perkembangannya yaitu; Al-Jahiz (w. 255/868) adalah sarjana pertama yang memahami
majaz, secara substansial, sebagai lawan dari haqiqah atau
veritatif, meskipun, jika dibandingkan dengan penerusnya seperti al-Qadi Abd
al-Jabbar (w.400/417) atau Abd al-Qahir al-Jurjani (w.471/1078).
Beberapa sarjana kontemporer
telah menetapkan bahwa, secara historis, setidaknya ada tiga group atau
kelompok berbeda yang memposisikan lafal majaz sebagai lawan dari haqiqah.
Tiga kelompok yang dimaksud adalah; pertama, Mu’tazilah, yang secara
dogmatis ajarannya banyak bersinggung dengan majaz, kedua, Zahiriyah,
kelompok yang menolak keberadaan majaz baik dalam bahasa secara
keseluruhan maupun dalam al-Qur’an, dan sebagai konsekwensinya juga menolak ta’wil.
Dan ketiga, Asy’ariyah, kelompok yang mengakui adanya majaz dalam
kondisi tertentu dan di bawah persyaratan-persyaratan yang ketat. Majaz
telah berkembang dalam kajian bidang balaghah, konsep majaz pada
umumnya berintikan tiga hal, yaitu; 1) adanya makna asal, 2) adanya makna baru,
baik berkaitan dengan makna kata per-kata atau hubungan antar kata yang satu
dengan lainnya dalam kalimat tersebut, dan 3) adanya hubungan antara makna asal
dan makna yang baru.
3. Macam-macam
majaz; pembagiannya menjadi dua yaitu; majaz lughawi dan majaz’aqli adapun bentuk-bentuk majaz yaitu isti’arah,
tasybih, tamtsil, dan kinayah
4. Permasalahan majaz dan ta’wil, yaitu;
1) Jika, pengertian majaz adalah pengertian tidak sebagaimana yang
tertulis atas dasar alasan tertentu, yakni adanya alaqah keterhubungan
antara arti asal dengan arti baru, maka untuk memahami ungkapan majazi (bagi
yang meyakini adanya) dalam al-Qur’an diperlukan pemahaman lain. Ta’wil dan
perbedaan pendapat; tafsir dan ta’wil, 2) Jika pemahaman tidak
sebagaimana yang tersurat diterapkan pada al-Qur’an, misalnya pada ayat-ayat mutsyabihat,
apakah yang demikian ini bukan pemaksaan terhadap makna sesuai dengan
masing-masing orang atau golongan, 3) Jika al-Qur’an diturunkan dalam bahasa
Arab, sebagaiman dinyatakannya sendiri, padahal dalam bahasa Arab, juga dalam
bahasa lain, ungkapan majazi banyak ditemukan lantaran keterbatasan
bahasa, dan bukan berkaitan dengan masalah kebohongan, maka tentunya majaz
juga ada dalam al-Qur’an, 4) Akar masalahnya ada pada bahasa (bayan),
maka ahl al-irfan menghadapi ayat-ayat mutasyabihat tidak
berpijak pada epistemologi bayani melainkan irfani, 5) Permasalahan
yang akan timbul berkenaan dengan penerapan konsep majaz dan ta’wil terhadap
al-Qur’an adalah jika konsep ini diterapkan terlalu jauh dan luas mencakup
seluruh isi al-Qur’an.
5. Pengertian
ta’wil yaitu secara bahasa berasal dari kata “ala-ya’ulu”
bermakna kembali dan berpaling, secara istilah mengalihkan suatu lafaz dari
maknanya yang rajih kepada makna yang marjuh.
Adapun perbedaan pendapat; tafsir dan ta’wil dapat disimpulkan bahwa ta’wil
dikatakan sebagai menafsirkan perkataan dan menjelaskan makna yang tersirat
dibalik lafal yang tersurat, maka ta’wil dan tafsir adalah dua
kata yang berdekatan atau hampir sama.
6.
Masalah ta’wil yaitu pada umumnya
adalah menyangkut ayat-ayat mutasyabihat atau ayat-ayat yang mempunyai
sejumlah kemungkinan makna yang terkandung di dalamnya. Dalam hal ini, ayat-ayat mutsyabihat ialah
ayat-ayat yang tidak terang maknanya.
7.
Ruang lingkup masalah ta’wil
yaitu
1) Ta’wil dalam
masalah-masalah furu’, yakni; dalam nash-nash yang berkaitan dengan hukum-hukum
syariah, 2) Ta’wil dalam masalah-masalah ushul, yakni nash-nash
yang berkaitan dengan masalah aqidah
8.
Ta’wil tercela adalah ta’wil
yang pengertian pertama, memalingkan lafal dari makna rajih kepada makna
marjuh karena ada dalil yang menyertainya.
9.
Syarat-syarat menta’wil diantaranya; a) Memiliki ilmu
tentang Al-Qur’an, b) Memiliki ilmu tentang As-Sunnah, c) Mengusai ilmu ushul
fiqh, d) Mengusai bahasa Arab, e) Mengetahui maqashid shari’ah, f) Ber-aqidah
yang lurus, terpercaya, dan wara’.
DAFTAR PUSTAKA
al-Qur’an terjemahan, Kudus: Menara
Kudus, 1427 H
Abu Zaid, Nashr Hamid, al-Ittijah al-Aqli fi
al-Tafsir; Dirasah fi qodiyah al-Majaz fi al-Qur’an ‘inda al-Mu’tazilah, Bairut:
al-Markaz Astiqofi al-‘Araby, 1996
------------------------,
Penggagas Kajian
Tekstualitas Al-Qur’an Menalar Firman Tuhan; Wacana Majas dalam Al-Qur’an
Menurut Mu’tazilah,
Bandung: Mizan, 2003
------------------------,
Hermeneutika Inklusif; Mengatasi Problematika Bacaan dan Cara-Cara
Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan, Yogyakarta: LKiS, 2004
------------------------,
Edisi Revisi Tekstualitas Al-Qur’an; Kritik terhadap Ulumul Qur’an, Yogyakarta:
LKiS
Pelangi Aksara, 2005
Abdillah, Zamzam
Afandi, Majaz; Mesin Kreatif “Ta’wil Ideologis” Mu’tazilah, Adabiyyat,
vol. IX, No. 2, Desember 2010
al-Jarim, Ali, dkk, Terjemahan
al-Balaghatul Wadhihah, Bandung: Sinar Baru al-Gensindo, 2005
al-Wasilah, A. Chaedar, Filsafat
bahasa dan Pendidikan, Bandung: Rosda, 2008
al-Qattan, Manna’ Khalil, Studi
Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2009
------------------------, Pembahasan Ilmu Al-Qur’an, Jakarta:PT
Rineka Cipta, 1995
al-Shiddieqy, T.M.
Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir al-Qur’an, Jakarta: Bulan
Bintang, 1974
al-Syirbashi, Ahmad, Sejarah Tafsir al-Qur’an,
terj. Tim Pustaka Firdaus, T.t.p: Pustaka Firdaus, 1994
Anwar, Rosihin, Ulumul Qur’an,
Bandung: Pustaka Setia, 2006
Ash Shidieqy,
Teungku
Muhammad Hasbi,
Sejarah
dan Pengantar; Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Semarang:
Pustaka Rizqi Putra, 2000
Asy-Syaukani, Muhammad ‘Ali, Irsyadul Fuhul ila Tahqiq Al-Haq min Ilm
Al-Ushul, Riyadh: Dar Al-Fadhilah, 2000. vol. II
Bisri, Adib dan Munawwir AF, Al-Bisri; Kamus
Indonesia-Arab, Surabaya: Pustaka Progressif, 1999
Djojosuroto, Kinayati, Filsafat
Bahasa, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007
Ichwan,
Moch.
Nur, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur’an; Teori Hermeneutika Nashr Abu Zayd,
Jakarta: Teraju, 2003
Kaelan, Filsafat Bahasa; Masalah dan Perkembangannya, Yogyakarta:
Paradigma, 2002
Ma’luf, Luis, Kamus Al-Munjid, Bairut: al-Maktabah
al-Katukuliyah, t.t.,
Muhammad ‘Ali al-Shabuniy, al-Tibyan fi Ulum
al-Qur’an, Bairut: Dar al-Irsyad, 1970
Nawawi, Rifa’at
Syauqi & M. ali Hasan, Pengantar Ilmu Tafsir, Jakarta: Bulan
Bintang, 1988
Setiawan, M. Nur Kholis, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, Yogyakarta: eLSAQ Press, 2006
Soeharso dan Ana Retnoningsih, Kamus Bahasa
Indonesia Lengkap, Semarang: Grand Media Pustaka, 2007
Sukamta, Majaz
dan Pluralitas Makna dalam al-Qur’an, Yogyakarta: Adab Press, 2009
Suryadilaga,
M. Alfatih, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta: TERAS, 2010
Syafa,
Hanum, “Tafsir dan Ta’wil”
di
akses dari http://hanumsyafa.wordpress.com/2010/01/28/tafsir-takwil-dan-terjemah/org. Akses tanggal 19 Oktober 2013
Taufiqurrochman, H.R, Leksikologi Bahasa Arab, Malang:
UIN-Malang Press, 2008
Towilah, Abdul Wahhab Abdussalam, Atsar al-Lughoh Fi Ikhtilaf
al-Mujtahidin, Kairo: Dar al-Salam, tt.
Usman, Ulumul Qur’an, Yogyakarta:
Teras, 2009
Wahyuddin, Yuyun,
Menguasai Balaghah Cara Cerdas Berbahasa, Yogyakarta: Nurma Media Idea,
2007
Wijaya, Aksin, Teori
Interpretasi al-Qur’an Ibnu Rusyd; Kritik Ideologis-Hermeneutis, Yogyakarta:
LKiS, 2009
* Makalah ini dipresentasikan pada
matakuliah Filsafat Bahasa yang di ampu oleh Bpk. Dr. Zamzam Afandi Abdillah, Ph.D, M.A
* Salahsatu mahasiswi alumni STAI Mathali’ul Falah
Pati, yang kini melanjutkan study Pasca Sarjana
S2 semester pertama, Program Studi Pendidikan
Islam (PI) Konsentrasi Pendidikan
Bahasa Arab di Universitas Islam Negri (UIN) Sunan Kalijaga, 2013.
[1] Bersifat
objektif apabila makna yang diungkapkan merupakan makna yang dikandung secara
leksikal atau denotasi dalam sebuah wacana lisan atau tulisan, sedangkan
filsafat bersifat subjektif apabila makna yang diungkap ada dalam mata si
pembaca dan merupakan makna struktural, yaitu apa yang ada dibalik makna kata
tersebut atau konteksnya. Lihat, Kinayati Djojosuroto, Filsafat Bahasa,
(Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), hlm. 34-35
[2] Kata-kata “ilmu”
adalah kata jenis yang meliputi segala macam
ilmu yang membahas cara mengucapkan lafal-lafal Qur’an. Mengacu kepada
ilmu qira’at, petunjuk-petunjuknya adalah pengertian yang ditunjukkan oleh
lafal-lafal itu. Ini mengacu kepada ilmu bahasa yang diperlukan dalam ilmu
(tafsir) ini. Kata-kata hukum-hukmunya baik ketika berdiri sendiri maupun
ketika tersusun meliputi pengertiannya yang hakiki dan majazi,
sebab suatu susunan kalimat (tarakib) terkadang menurut lahirnya
menghendaki sesuatu makna tetapi untuk membawanya ke makna lahir itu terdapat
penghalang sehingga tarkib tersebut mesti dibawa ke makna yang bukan
makna lahir, yaitu makna majaz. Dan kata-kata hal-hal yang melengkapinya,
mencakup pengetahuan tentang naskh, sebab nuzul, kisah-kisah yang dapat
menjelaskan sesuatu yang kurang jelas dalam al-Qur’an dan lain sebagainya.
Lihat, Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Bogor:
Pustaka Litera AntarNusa, 2009), hlm. 457
[3] Kemukjizatan
ilmiah Qur’an bukanlah terletak pada pencakupannya akan teori-teori ilmiah yang
selalu baru dan berubah merupakan hasil
usaha manusia dalam penelitian dan pengamatan. Tetapi ia terletak pada
dorongannya untuk berpikir dan menggunakan akal. Lihat, Manna’ Khalil
al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa,
2009), hlm. 385
[4] Jika memenuhi
dua syarat: pertama, ada konteks yang melatarbelakanginya, dan kedua maksud
si pembicara dapat dipahami, karena suatu berita tidak dapat diketahui benar
atau salah kecuali dengan mengetahui keadaan pembicaranya, kita mesti
mengetahuinya. Kita tahu bahwa kalam Allah dalam al-Qur’an tidak
diketahui keadaan pembicaranya. Oleh karena itu, pasti kebenaraanya tidak akan
diketahui sebelum keadaan pembicaranya, Allah SWT, diketahui.
[6] Seperti yang telah dijelaskan
tentang majaz untuk bentuk mufrad (tunggal), maka penjelasan
selanjutnya adalah tentang majaz dan dalam bentuk terstruktur (murakkab).
[7] Dualisme; faham mendua, ajaran
yang berdasarkan dua azas yang berlainan. Lihat, Soeharso dan Ana Retnoningsih,
Kamus Bahasa Indonesia Lengkap, (Semarang: Grand Media Pustaka, 2007),
hlm. 148
[9] H.R
Taufiqurrochman, Leksikologi Bahasa Arab, (Malang: UIN-Malang Press,
2008), hlm. 63
[10] Kata
majaz sudah masuk menjadi bahasa Indonesia dengan mengubah huruf z
menjadi s. sering kali kata asing, termasuk bahasa Arab, yang masuk ke
dalam bahasa Indonesia mengalami pergeseran makna. Kata majaz (bukan majas),
tetap dipertahankan dalam kajian ini atas dasar: pertama untuk
mennghindari adanya kemungkinan pergeseran makna, dan kedua yang diacu
oleh pengertian majaz disini adalah dalam pengertian bahasa Arab,
meskipun penulis terkadang menggunakan istilah lain misalnya metafora, tetapi
acuan utamanya adalah dalam pengertian bahasa Arabnya.
Pengertian
majaz secara bahasa adalah melewati tempat tertentu; jalan lintas;
metafor; ungkapan figuratif; kebalikan dari hakikat. Al-khatib al-Quzwaini
mengatakan bahwa kata majaz merupakan bentuk masdar mim dari kata
jaza-yajuzu yang berarti melewati (tempat aslinya). Majaz juga
merupakan cara menggambarkan makna. Kata majaz umumnya dihadapkan dengan
kata haqiqah yang secara bahasa berarti sesuatu yang tetap atau
ditetapkan (haqqatu asy-syai’=asbattuhu atau haqqa asysyai’=sabata). Adapun
istilah, majaz adalah setiap gaya bahasa yang mengandung perubahan arti
lafal-lafal tertentu dari arti biasanya. Perubahan arti lafal inilah sebenarnya
yang menyebabkan gaya bahasa majaz membawa informasi baru dengan melikiskan
ulang kenyataan (wujud kharij) secara baru. Majaz bukan hanya berefek
menghancurkan tata logika tertentu tetapi juga menemukan tata logika baru. Lihat,
Sukamta, Majaz dan Pluralitas Makna dalam al-Qur’an, (Yogyakarta: Adab
Press, 2009), hlm. 6-7
[11] QS. Asy-Syura [42]: 11
[12] QS. Yusuf [12]: 82
[15] Yuyun Wahyuddin, Menguasai Balaghah Cara Cerdas
Berbahasa, (Yogyakarta: Nurma Media Idea, 2007), hlm. 49-50
[17] Maka, makna tidak berada pada musamma atau madlul
(obyek yang ditunjuk), melainkan ada pada fikrah ‘ide’ si pemakai
simbol. Jika ia menggunakan bahasa tulis maka simbolnya adalah huruf atau
angka. Makna tidak berada pada suara atau huruf maupun angka, tetapi ada pada
benak si pembicara atau penulis atau pendengar atau pembaca. Karena bahasa
merupakan alat berpikir, maka perubahan makna dalam penggunaan bahasa akan
melibatkan alasan-alasan rasional juga.
[18] Konsep majaz yang dipakai
dalam kajian bahasa Arab modern telah lazim digunakan oleh para sarjana klasik
sebagai lawan dari istilah haqiqah. Penggunaan
seperti ini lazim berlaku, baik dalam teori sastra maupun dalam wilayah teologi
dan ilmu hukum.
[19] M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2006), hlm. 181
[21] Bahkan majaz
sering dikaitkan dengan arti sebenarnya atau bukan sebenarnya, dan sering
diidentikkan dengan masalah kebohongan, karena majaz dipandang menunjuk
kepada sesuatu makna tidak sebagaimana arti harfiahnya atau yang diungkapkan
berbeda dengan yang dimaksudkan.
[24] Majaz
isti’arah yaitu jika hubungannya berbentuk keserupaan. Adapun pengertian majaz
isti’arah adalah majaz yang hubungannya antara makna asli dengan
makna majaz yang bersifat keserupaan (musyabbahah), contoh; “Aku
melihat seekor singa sedang menembak musuhnya” maksudnya “seorang
pemberani”.
[25] Majaz
mursal yaitu jika hubungannya berbentuk bukan keserupaan. Adapun pengertian majaz
mursal adalah majaz lughowy yang hubungannya antara makna asli dengan
makna majaznya tidak berbentuk keserupaan (ghair musyabbahah),
[26] Pengertian isti’arah
Tashrihiyah yaitu majaz yang musyabbah bih-nya
ditegaskan secara eksplisit dalam kalimat, contoh; “lautan itu datang
kepada kita membawa pemberian” maksudnya “orang yang dermawan”. Adapun pengertian isti’arah makaniyah yaitu majaz
yang musyabbah bih-nya tidak disebutkan secara eksplisit
dalam kalimat, akan tetapi dapat diketahui melalui kelaziman-kelazimannya yang
ada dalam kalimat tersebut, contoh; “Langit itu menangis dan bumi
tersenyum” maksudnya “langit=manusia” yang biasanya meneteskan air
mata.
[27] Perkembangan majaz
merupakan obyek banyak penelitian sebelumnya. Studi-studi ini
mengkonsentrasikan diri tidak pada level-level makna al-Qur’an dalam prespektif
stilistik semantik serta makna susastranya, akan tetapi hanya melihat pada
aspek-aspek linguistik dari bahasa al-Qur’an. Di samping itu, terdapat pula
beberapapenelitian yang berkosentrasi pada metafora dalam al-Qur’an, hanya saja
titik tekannya lagi-lagi bukan pada level makna, melainkan lebih merupakan
kumpulan dan inventarisasi metafora dalam al-Qur’an. Lihat,
M. Nur Kholis Setiawan, Op.Cit., hlm. 206-207
[28] Penjelasan tentang pemahaman isti’arah,
tasybih, tamsil, dan kinayah adalah sebagai berikut; 1) isti’arah
menurut Abd al-Qahir al-Jurjani (w. 471/1079) isti’arah merupakan
peliharaan makna dari kata ataupun suku kata yang dalam penggunaan bahasa
keseharian, memiliki makna dasar atau makna asli, kemudian, karena dan lain
hal, baik oleh para sastrawan ataupun kalangan kebanyakan menjadi beralih ke
makna lainnya yang terkadang melampui batas-batas leksikalnya. Menurutnya
metafor atau isti’arah seperti
ini merupakan salah satu seni perbandingan, yakni salah satu bentuk khusus dari
tamtsil , yang masing-masing bisa dipersandingkan dan diperbandingkan
untuk menghasilkan makna baru. Jadi definisi yang dikemukakan oleh al-Jurjani dikembangkan oleh para sarjana
yang menunjukkan adanya sistemisasi dari perkembangan definisi. 2) tasybih, kajian
dari tasybih ini tidak hanya
batas pada definisi akan tetapi lebih bagaimana teori tentang tasybih tersebut,
khususnya aplikasi serta penggunaannya. Menurut al-Jurjani bahwa tasybih
merupakan aspek amat penting dari majaz. 3) Parabel (matsal) dan Persamaan
(tamsil) konsep ini merupakan bentuk majaz selanjutnya sebagai
pembangunan seni puitik secara umum. Konsep matsal memiliki kekhususan,
karena matsal merupakan sebuah konsep tertentu dan matsal merupakan
bentuk lain dari perbandingan yang pemakainnya dalam al-Qur’an. 4) Metonimie
(Kinayah) salah satu mufassir yang masyhur adalah al-Suddi al-Kabir
(w.128/745) yang ternyata mempergunakan kinayah sebagai alat bantu
menjelaskan al-Qur’an. Ayat tersebut; “Istri-istrimu adalah ladang tempat
kamu bercocok tanam, maka datangilah ladang bercocok tanammu itu seperti apa
saja kamu mau” . kata harts dalam ayat ini tidak dipahami sebagai kinayah
untuk kaum wanita, melainkan sebagai kata benda biasa. Lihat, M. Nur Kholis
Setiawan, Op.Cit.,
hlm. 208-245
[29] Sebagian ulama
mengatakan bahwa tidak ada majaz dalam al-Qur’an karena majaz
identik dengan kebohongan, dengan kata lain, ada deviasi makna, yakni
penggunaan lafal untuk suatu makna yang berbeda dengan penggunaan lafal untuk
suatu makna yang dibuat untuknya. Majaz dipakai karena sudah tidak dapat
menggunakan bahasa haqiqah. Ketidakmampuan ini mustahil bagi Allah.
Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh Daud az-Zahiri (w. 270 H), Ibnu
al-Qass (w. 335 H), dan sebagainya. Lihat, Sukamta, Op.Cit., hlm. 107-108
[31] Apa yang diungkapkan bahasa manusia adalah
berkaitan dengan konsep-konsep, pengertian-pengertian dan istilah-istilah
manusiawi yang dapat dipahami oleh manusia. Apabila ingin memahami salah satu
sifat dari sifat-sifat Allah yang tiada sesuatu mahluk pun yang menyamai-Nya,
ia memerlukan perbandingan dengan pengetahuan-pengetahuan yang telah dimiliki
sebelumnya, dan disinilah terjadi musyabahah sesuatu yang sebenarnya
disadari ketiadaannya (tidak ada yang menyerupai-Nya). Peranan bahasa di
sini adalah peranan transformatif, yakni mentransformasikan segala sesuatu di
luar dirinya yang ingin dipahaminya menjadi “simbol-simbol” bahasawi yang lebih
mudah dipahaminya, disertai kesadaran penuh bahwa keduanya mempunyai eksistensi
sendiri-sendiri. Dengan demikian peranan bahasa di sini bersifat transformatif,
yakni merubah segala sesuatu yang di luar diri manusia menjadi simbol-simbol
bahasawi yang lebih dekat dengan pemahaman manusia. Lihat, Sukamto, Op.Cit.,
hlm. 116
[32] Persoalannya
adalah tidak semua orang dapat melakukan ta’wil yang demikian. Hal ini
hanya dapat dilakukan oleh orang yang benar-benar bertakwa kepada Allah hingga
mencapai tingkat ma’rifat dan mendapat kasyaf yang dengan itu
penghalang antara ia dan “hakikat” yang dimaksud oleh ayat tersebut dapat
tersingkap, dan tidak semua orang yang berupaya mendapatkannya berhasil, karena
pada akhirnya kasyaf merupakan pemberian dari Allah. Lihat, Sukamto, Op.Cit.,
hlm. 117-118
[33] Muhammad ‘Ali
al-Shabuniy, al-Tibyan fi Ulum al-Qur’an, (Bairut: Dar al-Irsyad, 1970),
hlm. 74
[34] Kata tersebut dapat berarti: Pertama,
al-Ruju’ (kembali, mengembalikan) yakni, mengembalikan makna pada proporsi
yang sesungguhnya. Kedua, al-Sharf (memalingkan) yakni memalingkan suatu
lafal yang mempunyai sifat khusus dari makna lahir kepada makna batin lafal itu
sendiri karena ada ketepatan atau kecocokan dan keserasian dengan maksud yang
dituju. Ketiga, al-Siyasah (mensiasati) yakni, bahwa lafal-lafal atau
kalimat-kalimat tertentu yang mempunyai sifat khusus memerlukan “siasat” yang
tepat untuk menemukan makna yang dimaksud. Untuk itu diperlukan ilmu yang luas
dan mendalam. Lihat,
Usman, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 317
[35] Teungku
Muhammad Hasbi Ash Shidieqy, Sejarah dan Pengantar; Ilmu Al-Qur’an dan
Tafsir, (Semarang: Pustaka Rizqi Putra, 2000), hlm. 173
[36]
Hanum Syafa, “Tafsir dan Ta’wil” dalam http://hanumsyafa.wordpress.com/2010/01/28/tafsir-takwil-dan-terjemah/org
Akses tanggal 19 Oktober 2013
[38] Rifa’at Syauqi Nawawi & M. ali Hasan, Pengantar
Ilmu Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), hlm. 144
[40] Jadi, menta’wilkan ayat-ayat al-Qur’an berarti
“membelokkan” atau “memalingkan” lafal-lafal atau ayat-ayat al-Qur’an dari
maknanya yang tersurat kepada yang tersirat dengan maksud mencari makna yang
sesuai dengan maksud mencari makna yang sesuai dengan ruh al-Qur’an dan sunnah
Rasulullah SAW. Dalam al-Qur’an banyak
dijumpai lafal-lafal yang memiliki makna tersirat di samping tersurat yang
dalam pemahamannya bila tidak menggunakan “siasat” untuk menetukan makna
yang sejalan dengan ketentuan nash yanng qath’i, maka akan
terjadi kekeliruan. Maka lahir (tersurat) dan makna batin (tersirat) disebut
juga dengan makna qarib (dekat) dan makna ba’id (jauh). Lihat, Muhammad ‘Ali
al-Shabuniy, op.cit., hlm. 74
[43] Moch. Nur
Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur’an; Teori Hermeneutika Nashr Abu
Zayd, (Jakarta: Teraju, 2003), hlm. 81
[44] QS. Ali Imran (3):7
[45] Ahmad
al-Syirbashi, Sejarah Tafsir al-Qur’an, terj. (Tim Pustaka
Firdaus, T.t.p: Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 6
[47] Mengenai
pengertian muhkam dan mutsyabih terdapat banyak perbedaan
pendapat, yang terpenting diantaranya sebagai berikut: 1) Muhkam adalah
ayat yang mudah diketahui maksudnya, sedangkan mutsyabih hanyalah
diketahui maksudnya oleh Allah sendiri. 2) Muhkam adalah ayat yang hanya
mengandung satu wajah, sedang mutsyabih mengandung banyak wajah. 3)
Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung, tanpa
memerlukan keterangan lain, sedang mutsyabih tidak demikian; ia memerlukan
penjelasan dengan merujuk kepada ayat-ayat lain. Bisa disimpulkan bahwa
ayat-ayat muhkamat adalah ayat-ayat yang sudah jelas maksud dan
maknanya. Para ulama’ memberikan
contoh ayat-ayat muhkam dalam al-Qur’an dengan ayat-ayat nasikh,
ayat-ayat tentang halal, haram, hudud (hukuman), kewajiban, janji dan
ancaman. Sedangkan
mutasyabihat adalah ayat-ayat yang mengandung
beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali
sesudah diselidiki secara mendalam atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya
Allah yang mengetahui, seperti ayat-ayat mansukh yang berhubungan
dengan perkara-perkara gaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari kiamat,
surga, neraka, tentang Asma Allah, dan sifat-sifat-Nya
dan lain
sebagainya. Secara umum, ayat-ayat mutasyabihat
merupakan objek kajian ta’wil (majaal al-ta’wil). Contoh
salah satunya:الرحمن على العرش
استوى “Ar-Rahman bersemayam di atas
‘Arsy” (Ta
Ha [20]: 5). Lihat, Mana’ul Qathan, Pembahasan Ilmu Al-Qur’an, (
Jakarta:PT Rineka Cipta, 1995), hlm. 4-5
[50]
Masksud dari “dan orang-orang yang mendalam ilmunya”Apakah kalimat ini mubtada’, khabarnya
yaitu يقولون
. Huruf الواو adalah
Wawu istiknaf.
“Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah”.Atau
dia ma'thuf (معطوف) sedangkan (يقولون) adalah hal. Menurut yang pertama (الاستئنا ف)
yang termasuk dalam golongan ini ialah Ubaiya bin Ka’ab, Ibnu Mas’ud, Ibnu
Abbas, dan lain-lainnya.dari golongan sahabat, tabi’in dan orang-orang
yang hidup sesudahnya. Mereka itu berdasarkan
keterangan dengan contoh yang di rawikan oleh hakim dalam kitabnya Al-Mustadrik tentang
Ibnu Abbas.Caranya dia membaca begini. “Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya
melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya itu mengatakan kami
beriman dengannya”. Sikap para ulama terhadap ayat-ayat mutasyabihat
terbagi dalam dua kelompok, yaitu: a) Madzhab Salaf, yaitu
para ulama yang mempercayai dan mengimani ayat-ayat mutasyabih dan
menyerahkan sepenuhnya kepada Allah sendiri (tafwidh ilallah).Kaum
Salafi tidak menta’wil ayat-ayat mutasyabihat menyangkut sifat
Allah. Mereka cukup mengimani saja.
Imam Malik pernah ditanya tentang istiwa’ (duduknya Allah di atas
‘Arsy). b) Madzhab Khalaf, yaitu
para ulama yang berpendapat perlunya menakwilkan ayat-ayat mutasyabih
yang menyangkut Allah sehinga melahirkan arti yang sesuai dengan keluhuran
Allah. Lihat Rosihin
Anwar, Ulumul Qur’an, (Bandung:Pustaka Setia, 2006), hlm.133-134
[51] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi
Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2009), hlm.305
[52] Lihat, Muhammad ‘Ali Asy-Syaukani, Irsyadul
Fuhul ila Tahqiq Al-Haq min Ilm Al-Ushul, (Riyadh: Dar Al-Fadhilah, 2000).
vol. II hlm. 756
[53]Nash-nash hukum syariat (taklifi)
merupakan lahan yang subur bagi ta’wil, karena banyak mengandung lafaz
ambigu (muhtamal) yang juga menjadi lahan untuk berijtihad. Selain itu,
keinginan untuk memahami nash syar’i memicu para ulama untuk melakukan ta’wil.
Kendati demikian, ta’wil tidak berlaku pada nash-nash qath’i dan muhkam
yang hanya memiliki satu makna dan makna yang dimaksud oleh syari’ah sudah
jelas. Sebagaimana dalam kaidah di sebutkan tidak ada ijtihad jika ada nash
yang qath’i, mufassar, dan muhkam. Seperti bagian-bagian
dalam warisan dan hukuman (had) yang disebutkan dalam nash-nash syar’i
terhadap pelaku perbuatan dosa-dosa besar. Menurut ulama Hanifiyah, yang menjadi objek ta’wil
adalah an-nash dan azh-zhahir. Meskipun jelas, namun tidak
menutup adanya kemungkinan (ihtimal) makna lain, sehingga menuntut
adanya tarjih di antara makna-makna yang ada oleh seorang mujtahid
dengan berlandaskan pada dalil. Selain an-nash dan azh-zhahir,
termasuk juga lafaz yang mujmal (global) jika belum diperjelas
(ditafsir). Seperti hukum mengusap kepala yang kadarnya masih mujmal,
meskipun maknanya jelas akan tetapi hal ini membuka ruang untuk ta’wil
dalam hal kadarnya. Oleh karena itulah para ulama berbeda pendapat tentang
huruf ba’ dalam firman Allah (وَامْسَحُوا
بِرُءُوسِكُمْ). Jika nash ayat
yang mujmal ini diperjelas (ditafsir) niscaya tidak akan ada ta’wil
di dalamnya. Ta’wil tidak dapat dilakukan pada lafaz yang khafi
karena meskipun tersembunyi tapi maknanya jelas. Begitu juga pada lafaz musytarak,
meskipun memiliki banyak makna, namun maknanya dapat diketahui dengan adanya
indikasi (qarinah) di luar lafaz dan bukan mengalihkan lafaz
dari maknanya yang kuat (rajih) kepada yang lemah (marjuh), bukan
dengan pendekatan ushul fiqh tapi pendekatan bahasa. Jadi, nash-nash
Al-Qur’an dan As-Sunnah yang memiliki derajat qath’i ad-dilalah tidak
bisa dita’wil karena lafazhnya jelas dan hanya memiliki satu makna,
seperti nash tentang masalah ushul, perkara-perkara yang merupakan
aksioma keagamaan (ma’lum min ad-din bi adh-dharurah), atau lafaz
yang mujmal tapi diperjelas (ditafsir) seperti shalat, zakat,
puasa, haji yang dijelaskan oleh As-Sunnah. Sedangkan dalam hermeneutika tidak
ada klasifikasi teks, semua teks sama dan semua teks dapat ditafsirkan dengan
metode hermeneutika. Jika hermeneutika diterapkan kepada Al-Qur’an, maka yang muhkamat
menjadi mutasyabihat, ushul menjadi furu’, thawabit
menjadi mutaghayyirat, qath’i dilalah menjadi zhanniy dilalah,
dan yang ma’lum menjadi majhul. Lihat. Ugi Suharto, “Apakah Al-Qur’an
Memerlukan Hermeneutika”, dalam Islamia, vol. I no.1 Maret 2004.
p.52
[54] Objek kajian ta’wil (majaal
al-ta’wil) dalam masalah ushul kebanyakan dalam masalah asma’ dan sifat
Allah Ta’ala. Dalam hal ini, Asy-Syaukani menyebutkan tiga madzhab; Madzhab
Pertama, berpendapat nash tidak boleh di ta’wil dan harus
dipahami secara zhahirnya. Inilah pendapat Musyabbihah (golongan
yang menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk). Madzhab Kedua,
berpendapat nash aqidah ada ta’wilnya, tetapi yang tahu ta’wilnya
hanya Allah saja (QS Ali ’Imran :7). Jadi, nash tidak boleh dita’wilkan
untuk tetap memurnikan aqidah dari tasybih (menyerupakan sifat Allah
dengan sifat makhluk) dan ta’thil (meniadakan sifat-sifat Allah). Madzhab
Ketiga, berpendapat nash aqidah boleh dita’wilkan.
[55] Ibid, hlm. 311
[56] Muhammad ‘Ali Asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul ila Tahqiq Al-Haq min Ilm
Al-Ushul, (Riyadh: Dar Al-Fadhilah, 2000). vol. II hlm. 1027-1032