Jumat, 13 Desember 2013

Dualisme Hakikat-Majaz dan Masalah Ta’wil



Dualisme Hakikat-Majaz dan Masalah Ta’wil *
Etey Qomariah, S. Pd. I *

ABSTRAK
Hubungan makna dengan lafal atau bentuk teks terdapat aliran dualisme yang menyatakan antara isi (makna) dan bentuk teks dapat dipisahkan, dengan kata lain bahwa masing-masing mempunyai eksistensinya tersendiri, meskipun ada hubungan tetapi hubungan tersebut tidak kompleks. Peranan majaz dalam mengungkapkan dunia makna yang digunakan sebagai pendekatan dalam memahami kalamullah di dalam al-Qur’an memiliki makna yang sangat plural. Penggunaan majaz berkaitan erat dengan keterbatasan fungsi deskriptif bahasa, secara lebih luas, lebih dalam, dan lebih kompleks dari pada bahasa itu sendiri. Keterbatasan bahasa tersebut tampak baik pada bahasa majaz ataupun haqiqi. Kajian ini mengajukan pendekatan majaz sebagai interpretasi teks di dalam al-Qur’an, dalam arti bahwa suatu lafal atau teks yang dipandang sebagai majaz itu perlu ta’wil atau pemahaman yang tersirat. Majaz dan ta’wil diantara keduanya bagaikan sisi mata uang yang sama. 
Kata Kunci: Dualisme, Hakikat, Majaz, dan Masalah Ta’wil

A.    Pendahuluan
Filsafat bahasa merupakan salah satu cabang filsafat yang mengandalkan analisis penggunaan bahasa yang bersifat objektif dan subjektif.[1] Tugas filsafat bahasa memecahkan persoalan yang timbul akibat ketidakpahaman terhadap bahasa dan juga harus dapat menjelaskan apa yang dapat dikatakan dan apa yang tidak dapat dikatakan, sehingga memberikan kejelasan hubungan antara berpikir dan berbicara, antara fungsi ekspresi dan representatif.
Sejarah bahasa Arab tidak pernah mengenal suatu masa di mana bahasa berkembang sedemikian pesatnya melainkan tokoh-tokoh dan guru-gurunya bertekuk lutut di hadapan bayan qur’ani, sebagai manifestasi pengakuan akan ketinggiannya dan mengenali misteri-misterinya.[2] Para ahli bahasa Arab telah menekuni ilmu bahasa ini dengan segala variasinya sejak bahasa itu tumbuh sampai remaja dan mekar dan menjadi raksasa perkasa yang tegar dalam masa kemudaannya. Mereka mengubah puisi dan prosa, kata-kata bijak dan masal yang tunduk pada aturan bayan dan diekspresikan dalam uslub-uslubnya yang memukau, dalam gaya hakiki dan majazi (metafora), itnab dan ijaz, serta tutur dan ucapannya. 
Di dalam kamus linguistik, majaz atau metafora (metaphor) berarti pemakaian suatu kata atau ungkapan untuk suatu obyek atau konsep, berdasarkan kias atau persamaan. Itu berarti suatu kosakata atau susunan kata yang pada mulanya digunakan untuk makna tertentu (secara lateral atau harfiah) dialihkan kepada makna lain.
Dalam disiplin ilmu al-Qur’an, pengalihan arti itu disebut ta’wil, atau oleh ulama-ulama sesudah abad ke 3 H., diartikan sebagai “mengalihkan arti suatu kata atau kalimat dari makna asalnya yang hakiki ke makna lain berdasarkan indikator-indikator atau argumentasi-argumentasi yang menyertainya. Salah satu cabang disiplin ilmu bahasa Arab yaitu ilmu al-bayan menggunakan istilah majaz.
Peradaban Arab-Islam adalah peradaban teks maka tidak keliru apabila kita katakan sebagai peradaban ta’wil, karena ta’wil merupakan sisi lain dari teks. Banyak orang terjebak dalam kesalahan ketika mereka menginginkan agar Qur’an mengandung segala teori ilmiah. Setiap lahir teori baru mereka mencarikan untuknya kemungkinannya dalam ayat, lalu ayat ini mereka ta’wilkan sesuai dengan teori ilmiah tersebut.[3]  Al-Qur’an adalah Teks yang berupa bahasa (nasshun Lughowiyyun) sebuah perkataan- kalâmullah di dalam al-Qur’an merupakan perkataan-yang diungkapkan dengan bahasa tertentu yang dapat memberikan petunjuk (dalalah)[4] Gaya bahasa Al-Qur’an memiliki hakikat yang khusus, berbeda dengan bahasa-bahasa yang lain. Hal ini karena sifat hakikat al-Qur’an itu sendiri, yaitu sebagai sarana komunikasi antara Tuhan dan mahluk-Nya.
Sedangkan, bahasa dalam pengertian umum hanya merupakan sarana komunikasi antara manusia satu dengan yang lainnya.[5] Atomisme logis mengatakan bahwa hakikat bahasa adalah melukiskan dunia sehingga struktur logis bahasa sepadan dengan struktur logis dunia. Sementara positivisme logis lebih jauh mengatakan bahwa makna bahasa harus dapat diverifikasi secara empiris dan logis. Berbeda dengan bahasa al-Qur’an, ia bukan hanya mengacu pada dunia melainkan mengatasi ruang dan waktu, bersifat metafisik, mengacu pada dimensi Ilahiyah dan adikodrati.
Mengingat hakikat bahasa al-Qur’an yang mengacu pada dimensi tersebut di atas, maka untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an tidak mungkin hanya berdasarkan pada kaidah-kaidah linguistik semata. Sebab itu dalam upaya mengatasi stagnasi bahasa, terutama kaitannya dengan dimensi Ilahiyah, dimensi metafisik, dan dimensi adikodrati, maka sangat realistis bilamana kemudian dikembangkan bahasa metafora dan anlogi (majaz-tasybih).
Karena bahasa metafora dan analogi dapat memberikan jembatan rasio manusia yang terbatas dengan dimensi Ilahiyah, metafisik, adikodrati yang serba tidak terbatas, bahkan juga mengatasi ruang dan waktu.  Hal ini berdasarkan pada suatu kenyataan tentang hakikat bahasa bahwa bahasa sebagai simbol pasti memiliki suatu acuan. Karena itu, tidak mengherankan apabila dalam bahasa al-Qur’an banyak ditemukan ungkapan metaforik-simbolik, atau yang populer di kalangan pemikir disebut majaz.
Begitu juga menurut pendapat Mu’tazilah, pengetahuan tentang maksud pembicaraan menusia dapat diketahui melalui pengetahuan keniscayaan, sedangkan pengetahuan tentang maksud kalâmullah dapat diketahui melalui pengetahuan argumentatif atau rasional. Rumusan tersebut, mengidentifikasi bahwa jika ada kalâmullah (signifikansi syari’at) secara lahiriah bertentangan dengan pendekatan rasional, maka kalâmullah tersebut harus ditakwilkan karena kedua pendekatan ini tidak pernah bertentangan.
Dengan demikian ta’wil merupakan pendekatan yang harus dikedepankan untuk menghindari pertentangan antara argumentasi akal dan argumentasi wahyu secara lahiriah. Penggunaan majaz, sebagai senjata ta’wil.[6] Bentuk bahasa mencakup makna khabar (berita). Sebuah berita tidak mungkin menjadi berita yang bermakna kecuali dihiasi dengan maksud dan kehendak dari penuturnya. Dan maksud penuturnya akan lebih jelas dan indah, bila diekspresikan dalam bentuk majaz. Oleh karena itu, pembagian dan tujuannya menjadi objek kajian yang terkait dengan majaz dan ta’wil.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan dualisme hakikat-majaz?
2.      Bagaimana majaz; Asal Usul dan Perkembangannya?
3.      Apa saja macam-macam majaz; pembagian dan bentuk-bentuk majaz?
4.      Apa permasalahan majaz dan ta’wil?
5.      Apa yang dimaksud ta’wil dan perbedaan pendapat; tafsir dan ta’wil?
6.      Apa  masalah ta’wil?
7.      Apa ruang lingkup masalah ta’wil?
8.      Apa yang dimaksud ta’wil tercela?
9.      Bagaimana syarat-syarat menta’wil?
C.    Pembahasan
Sebelum memahami lebih jauh tentang dualisme hakikat-majaz mari kita memahami peta konsep asal-usul hakikat dan majaz, sebagai berikut;


 








(Bagan 1: Pengklasifikasian Lafal dan makna )

1.      Pengertian Dualiseme Hakikat-Majaz
Dualisme (dualism) berasal dari kata Latin yaitu duo (dua). Dualisme adalah konsep filsafat yang menyatakan ada dua substansi yang berlainan dan bertolak belakang atau bertentangan atau kebalikan.[7]  Para ahli bahasa sepakat bahwa setiap kata memiliki makna (semantik atau dalalah), yakni pengertian yang terkandung dalam kata tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut, diantaranya ada dua jenis makna yang sering menyertai penggunaan sebuah kata dalam bahasa, yaitu hakikat dan majaz:
a)             Hakikat (Makna Asli); yaitu, kata yang dalam penggunaannya tetap menurut makna sebenarnya atau makna asal yang dimiliki oleh kata tersebut.[8] Sebagaimana yang terdapat dalam kamus. Sehingga disebut juga dengan ma’na mu’jamy (makna leksikal). Hakikat terbagi menjadi 3 jenis, yaitu;
1)       Hakikat Lughawi; yaitu kata yang dalam penggunaannya secara bahasa tetap menurut makna sebenarnya. Misalnya, harimau untuk nama seekor binatang buas.
2)       Hakikat Syar’i; yaitu kata yang dalam penggunaannya menurut syari’at agama tetap menurut makna sebenarnya. Misalnya, shalat untuk nama suatu ibadah tertentu, dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.
3)       Hakikat Urf; yaitu kata yang secara adat/ istilah menggunakan makna yang sebenarnya. Misalnya, daabbah untuk nama binatang berkaki empat menurut pengertian adat orang Arab, walaupun menurut bahasa adalah segala yang merayap/berjalan di muka bumi.[9]
b)        Majaz (Makna Kiasan); yaitu, kata yang (dipakai) diluar makna aslinya atau makna baru yang muncul dari penggunaan sebuah bahasa atau seringkali disebut ma’na far’i (makna tambahan) karena tidak menunjukkan lagi makna asalnya.[10] Prosedur perubahan kata hingga ia memiliki makna majaz, ada 4 cara, yaitu:
1)       Ziyadah (menambahkan kata); misalnya dalam firman Allah:
 Tiada sesuatu yang seperti Tuhan”. [11] ليس كمثله شيئ 
(Kata seperti yang pertama adalah tambahan, tidak perlu diberi makna).
2)       Nuqshan (mengurangi kata); misalnya dalam firman Allah:  
 “Bertanyalah kepada....desa” [12]  واسأل القرية
(yang dimaksud adalah bertanya kepada penduduk desa (أهل). Kata “ahli” disimpan, tidak ditampakkan.
3)       Naql (memindah arti); misalnya, lafal الغائط untuk nama kotoran yang keluar dari manusia. Padahal, arti alasannya ; tempat yang tentram/sunyi, sebab biasanya orang yang buang air besar menuju ke sana.
4)       Isti’arah (meminjam kata untuk arti lain); misalnya, dalam firman Allah SWT:
“……sebuah dinding yang ingin runtuh” جدارايريد أن ينقض  [13]    
(yang dimaksud dengan kata ‘ingin’ di atas adalah hampir roboh. Kata ‘ingin’ semestinya untuk manusia hidup. Tetapi disini dipinjam untuk benda mati (dinding).[14]
Sebagai contoh lain dalam Ilmu Balaghoh terkait makna Hakikat dan majaz perhatikan dan bandingkan beberapa ungkapan berikut ini:
طلعت الشمس عند المشرق
“Matahari itu terbit dari timur”
خطبت الشمس أمام القوم
“Matahari itu berpidato di depan masyarakat”
قطفت زهرة في الحديقة
“Aku memetik sekuntum bunga”
أرسلت رسالة إلى زهرة تتبسم
“ Aku mengirim sepucuk surat kepada bunga yang tersenyum”

Kata “matahari”, pada contoh pertama, menunjukkan makna asal yang sebenarnya dimiliki oleh kata tersebut, yaitu benda langit yang memiliki cahaya yang muncul di siang hari. Inilah yang disebut ma’na haqiqi. Sedangkan pada contoh kedua, kata “matahari” tidak digunakan dalam makna asal-sebagaimana contoh pertama-tetapi digunakan pada makna baru, yaitu orang yang tinggi derajatnya dan berwibawa serta bercahaya seperti matahari. Inilah yang disebut ma’na majazi.
Begitu juga dengan ungkapan-ungkapan yang menggunakan kata “bunga”. Kata “bunga”, pada contoh ketiga, menunjukkan ma’na haqiqi-nya, untuk kembang yang muncul dari tumbuhan tertentu. Sebagaimana yang kita saksikan di taman-taman. Sementara pada contoh keempat, kata “bunga” lebih menunjukkan ma’na majazi-nya yaitu gadis cantik yang biasa tersenyum, seperti bunga yang sedang mekar.[15]
Adapun pengertian majaz dari sudut istilah balaghah dapat dikaitkan dengan pengertiannya dari sudut bahasa. Secara bahasa, majaz berarti melewati, sedangkan secara istilah adalah pengertian yang melewati batas arti fisikal yang eksplisit menuju kearah abstrak yang implisit. Pengertian majaz yang dinamik ini dapat terwujud jika dilihat dari kerangka wacana, bukan dari kerangka kata per-kata atau kalimat per-kalimat.[16]
Dalam bidang ulum al-Qur’an, pengertian majaz berkaitan dengan ta’wil: suatu ungkapan majazi dipandang perlu untuk dita’wil yakni pengalihan makna lahir ke dalam makna batin (tetapi bukan dalam arti batiniyyah), melainkan makna di balik yang tampak atas dasar konteks kebahasaan atau alasan-alasan rasional dengan mempertimbangkan kaidah-kaidah kebahasaan. Ta’wil melibatkan alasan-alasan rasional karena sesuatu ungkapan atau kata tidak menunjuk kepada maknanya dengan dirinya sendiri tetapi karena dijadikan alat untuk berpikir sehingga ia mempunyai makna.[17]
Kajian ini berupaya menyingkap sejauh mana makna yang terkandung dalam al-Qur’an dapat dipahami melalui pendekatan majazi sebagai suatu gaya bahasa yang tidak berkaitan dengan salah atau benar, sebagaimana pada makna konstatif, melainkan bagaimana kata-kata digunakan itu dapat mempengaruhi seseorang melakukan sesuatu yang diinginkan, sehingga menuntut pembacanya selalu berupaya meningkatkan pemahaman lebih dalam lagi tentang makna yanng terkandung di dalamnya.
Jadi yang dimaksud dualisme hakikat-majaz adalah dua kata antara makna yang sebenarnya (denotatif) dan makna yang tidak sebenarnya (konotatif), yang keduanya menyatakan ada dua substansi makna yang berlainan dan bertolak belakang atau bertentangan. Dan makna majaz inilah yang menjadi pembahasan selanjutnya.
2.      Majaz; Asal Usul dan Perkembangannya
Al-Jahiz (w. 255/868) adalah sarjana pertama yang memahami majaz, secara substansial, sebagai lawan dari haqiqah atau veritatif, meskipun, jika dibandingkan dengan penerusnya seperti al-Qadi Abd al-Jabbar (w.400/417) atau Abd al-Qahir al-Jurjani (w.471/1078), bahasan al-Jahiz belum begitu sistematis. Beberapa sarjana kontemporer telah menetapkan bahwa, secara historis, setidaknya ada tiga group atau kelompok berbeda yang memposisikan lafal majaz sebagai lawan dari haqiqah.[18] Tiga kelompok yang dimaksud adalah; pertama, Mu’tazilah, yang secara dogmatis ajarannya banyak bersinggung dengan majaz, kedua, Zahiriyah, kelompok yang menolak keberadaan majaz baik dalam bahasa secara keseluruhan maupun dalam al-Qur’an, dan sebagai konsekwensinya juga menolak ta’wil. Dan ketiga, Asy’ariyah, kelompok yang mengakui adanya majaz dalam kondisi tertentu dan di bawah persyaratan-persyaratan yang ketat.[19]
Pembuka dan awal perbedaan pendapat berkenaan dengan eksistensi majaz dalam al-Qur’an adalah perbedaan analisis dan kesimpulan tentang asal-muasal bahasa. Memang istlah majaz merupakan istilah yang baru, dalam arti belum dikenal dimasa Nabi. Akan tetapi, karena pada hakikatnya cara penngungkapan majazi merupakan kebutuhan manusia, maka upaya menelusuri munculnya gagasan-gagasan ke arah konsep majaz ini sejak awal sangat penting dilakukan.[20]
Majaz telah berkembang dalam kajian bidang balaghah, konsep majaz pada umumnya berintikan tiga hal, yaitu; 1) adanya makna asal, 2) adanya makna baru, baik berkaitan dengan makna kata per-kata atau hubungan antar kata yang satu dengan lainnya dalam kalimat tersebut, dan 3) adanya hubungan antara makna asal dan makna yang baru. Jika bukan dalam arti sebenarnya (arti majazi), lalu bagaimana hubungan arti baru ini dengan arti asal, apakah perserupaan (musyabahah) sehingga disebut isti’arah atau bukan perserupaan (ghairu musyabahah) sehingga disebut majaz mursal.[21]
Pada dasarnya, gaya bahasa majaz digunakan karena kebutuhan manusia: kebutuhan akan cara pengungkapan pengertian-pengertian konseptual yang abstrak agar mudah ditangkap atau dipahami, sekaligus menimbulkan rasa estetik (keindahan). Fungsi kognitif dan estetik ini inheren dalam gaya bahasa majaz, tetapi pada umumnya hanya fungsi estetiknya saja yang banyak dibicarakan.
Ketika suatu gagasan yang amat kompleks itu dieksplisitkan dalam bentuk bahasa maka akan tampak keterbatasan bahasa itu, lantaran keterbatasan fungsi deskriptif bahasa itu sendiri. Sebaliknya, mungkin terjadi penafsiran atau pemahaman yang beragam terhadap suatu gagasan (makna) yang sudah dieksplisitkan dalam bentuk bahasa, baik bahasa tulis maupun bahasa lisan. Karena penafsiran terhadap suatu teks akan dipengaruhi oleh faktor-faktor yang diluar teks.
Dengan pendekatan majaz, dimaksudkan agar pesan-pesan universal al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia (hudan li an-nas) dapat dipahami. Pendekatan majazi di sini berkaitan dengan persoalan makna, bukan sebagai gaya bahasa yang memperindah ungkapan saja, melainkan lebih sebagai cara pengungkapan pengertian konseptual yang abstrak (mujarrad) dengan ungkapan yang bersifat kongkrit fisikal, baik dalam bentuk kata, kalimat satu kata pada yang lain atau suatu wacana. Perhatikan penjelasan yang digambarkan sebagai berikut:
(Gambar 2: Tataran konsep yang bersifat konseptual abstrak)

                                   B
……………………………………………………………………………











Oval: A
Oval: C
Oval: D
Oval: E





 



Teks yang menggunakan bahasa filsafat konkret

Kolom A adalah teks yang menggunakan bahasa fisikal konkret, sedangkan kolom B merupakan pengertian konseptual yang bersifat abstrak yang ditarik dari bahasa fisikal konkrit. Kolom C, D, dan seterusnya merupakan penerjemahan dari pengertian konseptual abstrak, menggunakan bahasa atau ungkapan yang sesuai dengan situasi dan kondisinya masing-masing. [22]
Memahami suatu teks dengan pendekatan majazi, adalah dengan cara melewati makna yang bersifat fisikal menuju makna konseptual sehingga suatu ungkapan menjadi luas kandungan maknanya (kaya makna), kemudian diterapkan kembali dalam pengertian keseharian secara kontekstual. Pendekatan ini dapat digunakan untuk menggali makna-makna yang terkandung dalam al-Qur’an sedemikian rupa sehingga pesan-pesan yang disampaikannya selalu dinamis, sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi. Persoalannya adalah bagaimana makna konseptual yang bersifat universal dari sebuah teks itu ditarik, dan bukan sekedar membedakan apakah suatu kata atau kalimat itu dalam arti haqiqi-nya atau majazi-nya, sehingga tidak terjebak pada masalah parsial yang semakin menjauhkan dari inti pesan al-Qur’an itu sendiri.
3.      Macam-macam Majaz; Pembagian dan Bentuk-Bentuk Majaz
Secara singkat dan mudah, mari kita memahami peta konsep untuk mengetahui macam-macam majaz; pembagian dan bentuk-bentuk majaz  seperti yang ada di bawah ini:


 















(Bagan 3: Pembagian Majaz)[23]

a.      Pembagian Majaz
Penjelasan pembagian majaz; terbagi menjadi dua yaitu majaz lughawi dan  majaz’aqli. majaz lughawi atau majaz menurut bahasa adalah jalan penyebrangan. Sementara yang dimaksudkan dengan majaz dalam pembahasan ini adalah sebuah kata yang digunakan bukan pada makna lain, karena ada hubungan diantara kedua makna tersebut, serta ada indikator atau sebab yang menghalangi pengguanaan kata tersebut dari makna aslinya. Pengertian terminologis seperti ini, memberikan gambaran bahwa makna sebuah kata dalam majaz telah melakukan “penyebrangan” dari makna asal ke makna yang lain; dari makna denotatif ke makna konotatif.
Contoh:1 رأيت أسدا يرمي عدوه aku melihat seekor singa sedang menembak musuhnya” dan contoh ke-2التي كنا فيها  واسأل القريةdan tanyalah (penduduk) negri yang kami berada di situ”
Secara skematis penjelasan dari dua contoh di atas dapat di jelaskan seperti yang ada dibawah ini:

Majaz
Makna asli
(hakikat /denotatif)
Makna Majaz (konotatif)
Hubungan
Tanda
أسد
Binatang buas
Seorang pemberani
Kesamaan dalam sifat keberanian
Kata  menembak
القرية
desa/kampung/sebuah daerah hunian
Penduduk kampung
Tempat dengan yang menempati
Kata tanyalah

(Bagan 4: Contoh-contoh Hakikat-Majaz)

1)      Pembagian Majaz Lughawi Berdasarkan Hubungan
Pembagian majaz lughawi berdasarkan hubungan antara makna hakiki dan majazi dibagi menjadi dua yaitu 1) majaz isti’arah[24] dan 2) majaz mursal[25]. Adapun majaz isti’arah dibagi dua yaitu; isti’arah Tashrihiyah dan isti’arah makaniyah.[26] Sedangkan majaz mursal macamnya antara lain; juziyah, mahalliayah, haliyah, musyababiyah, kulliyah, sababiyah, i’tibaru makana, i’tibaru mayakunu.
2)      Pembagian Majaz aqli
Majaz aqli adalah majaz yang menghubungkan sebuah kata kerja atau yang semakna dengannnya. Majaz aqli menghubungkan fi’il dengan waktu, tempat, penyebab, atau masdar dari kejadian tersebut.
b.      Bentuk-Bentuk Majaz


 





(Bagan 5: Bentuk-Bentuk Majaz)

Bentuk-bentuk majaz yang diuraikan oleh para sarjana klasik merupakan langkah lanjut dalam penelitian wacana susastra al-Qur’an sangatlah beragam.[27] Menarik untuk dicermati bahwa bentuk-bentuk majaz tersebut dielaborasi agar prespektif “madzhab” tafsir susastra al-Qur’an bisa dipaparkan dengan jelas. Bentuk-bentuk majaz tersebut di antaranya adalah isti’arah, tasybih, tamtsil, dan kinayah.[28]
4.      Permasalahan Majaz dan Ta’wil
Perkembangan pemikiran dan semakin meluasnya wilayah Islam serta pergesekan dengan dunia luar sejak paruh kedua abad kedua Hijriah, semakin menambah khazanah pemikiran Islam dan kebahasaan Arab. Sudah barang tentu perkembangan pemikiran tersebut memunculkan perdebatan pendapat atau sebaliknya, perbedaan pendapat mendorong perkembangan pemikiran, termasuk dalam masalah majaz dan pada gilirannya juga masalah ta’wil, karena jika sesuatu ungkapan dipandang sebagai ungkapan majazi maka diperlukan ta’wil.[29] Permasalahan pokoknya adalah:
a.       Jika, pengertian majaz adalah pengertian tidak sebagaimana yang tertulis atas dasar alasan tertentu, yakni adanya alaqah keterhubungan antara arti asal dengan arti baru, maka untuk memahami ungkapan majazi (bagi yang meyakini adanya) dalam al-Qur’an diperlukan pemahaman lain. Karena majaz adalah penggunaan pemahaman selain yang tertulis, maka kaum zahiri menolak adanya majaz dalam al-Qur’an. Di antaranya adalah; Abu Ishaq al-Isfirayini (w.418 H), Abu Ali al-Farisi, dan Daud az-Zahiri (w.270 H).
b.      Jika pemahaman tidak sebagaimana yang tersurat diterapkan pada al-Qur’an, misalnya pada ayat-ayat mutsyabihat, apakah yang demikian ini bukan pemaksaan terhadap makna sesuai dengan masing-masing orang atau golongan. Padahal yang lebih tahu membahasakan tentang Zat Allah adalah Allah SWT sendiri, sehingga perlu pemahaman tertulis. Akan tetapi, jika dipahami secara tertulis maka berarti ada perserupaan antara Tuhan dengan manusia, padahal ditegaskan oleh al-Qur’an ليس كمثله شيئ [30]  karena itu sebagian ulama memilih diam (tawaqquf) tidak mau berkomentar lebih dari yang tersurat menghadapi ayat-ayat mutsyabihat, misalnya Imam Malik, Ibnu Taimiah, Ibnu al-Qoyyim.
c.       Jika al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, sebagaiman dinyatakannya sendiri, padahal dalam bahasa Arab, juga dalam bahasa lain, ungkapan majazi banyak ditemukan lantaran keterbatasan bahasa, dan bukan berkaitan dengan masalah kebohongan, maka tentunya majaz juga ada dalam al-Qur’an. Hal ini dikemukakan oleh kaum mu’tazilah, juga oleh jumhur ulama. Maka ayat-ayat mutsyabihat dipandang sebagai ayat-ayat yang mengandung ungkapan-ungkapan majazi yang perlu dita’wil.[31]  
d.      Akar masalahnya ada pada bahasa (bayan), maka ahl al-irfan menghadapi ayat-ayat mutasyabihat tidak berpijak pada epistemologi bayani melainkan irfani, sebagaimana oleh Ibnu Arabi. Ia juga menggunakan istilah ta’wil irfani. Berbeda dengan ta’wil bayani, ta’wil irfani adalah ta’wil yang berupaya menembus epistemologi irfani dalam rangka menemukan “hakikat” sebagaimana yang diisyaratkan oleh redaksi lahir dari suatu teks (zahir al-lafz). Sementara ta’wil dalam epistemologi bayani tidak lebih dari pemindahan makna “asli” ke makna lain yang biasa pula di gunakan orang-orang arab pada masa jahiliyah maupun awal Islam, karena adanya hubungan alasan (qarinah) tertentu. Ibnu Arabi membagi ta’wil menjadi dua; 1) ta’wil terhadap wujud yaitu dengan menembus sesuatu yang zahir hissi ke arah yang batin ruhi. 2) ta’wil terhadap teks yaitu dengan melewati bahasa manusia dengan keterbatasnnya ke arah bahasa ilahiyyah  dalam kemutlakan-Nya dan arti obyektif-Nya.[32] 
e.       Permasalahan yang akan timbul berkenaan dengan penerapan konsep majaz dan ta’wil terhadap al-Qur’an adalah jika konsep ini diterapkan terlalu jauh dan luas mencakup seluruh isi al-Qur’an. Hal itu karena orang dapat berkesimpulan bahwa apa yang disebutkan dalam al-Qur’an, termasuk; syurga, neraka, malaikat dan sebagainya hanya dipandang sebagai suatu hal yang tidak ada dalam kenyataan dan hanya merupakan gambaran saja.



5.      Pengertian Ta’wil dan Perbedaan Pendapat;Tafsir dan Ta’wil
a.      Pengertian Ta’wil
Secara etimologi, menurut sebagian ulama’, kata ta’wil memiliki makna yang sama dengan kata tafsir, yakni “menerangkan” dan “menjelaskan”.[33] Ta’wil secara bahasa berasal dari kata “ala-yaulu[34], yang bermakna kembali dan berpaling. Dilafalkan dengan shighat untuk memfaedahkan ta’diyah (supaya berarti mengembalikan), ada juga yang mengatakan, diambil dari kata “ail” yang berarti “memalingkan”, yakni: memalingkan ayat dari makna yang dzahir kepada sesuatu makna yang dapat diterima olehnya. [35]  أول الكلم تأويلا artinya; memikirkan, memperkirakan dan menafsirkannya. 
Sedangkan yang dikamaksud dengan ta’wil secara istilah ialah :
1.      Menurut Ulama Salaf : “Menafsirkan dan mejelaskan makna suatu ungkapan baik yang bersesuaian dengan makna ataupun bertentangan. Hakikat yang sebenarnya yang dikehendaki suatu ungkapan.”
2.      Menurut Khalaf : “Mengalihkan suatu lafaz dari maknanya yang rajih kepada makna yang marjuh karena ada indikasi untuk itu.”
3.      Pengertian ta’wil menurut istilah adalah suatu usaha untuk memahami lafaz-lafaz (ayat-ayat) Al-Qur’an melalui pendekatan pemahaman arti yang dikandung oleh lafaz itu.
Jadi tawil adalah pengertian-pengertian yang samar atau yang tersirat yang di-istinmbath-kan (diproses) dari ayat-ayat al-Qur’an, yang memerlukan renungan dan pemikiran dan merupakan prosesing membuka tabir atau makna yang terkandung didalamnya. Ayat yang mempunyai kemungkinan beberapa pengertian  dinyatakan oleh mufassir mana yang lebih kuat dan pantas berdasarkan pandangan dan istidlal (lagkah pengambilan dalil).[36]
Selanjutnya pemaknaan ta’wil menurut terminologi dapat dikemukakan sebagai berikut:
Kata sebagian ulama’:
التأويل ترجيع الشئ الى غايته, بيان مايراد منه
“Ta’wil ialah: mengembalikan sesuatu kepada ghayahnya, yakni menerangkan apa yang dimaksudkannya”.[37]
Sebagian yang lain berkata:
التأويل بيان احد محتملات اللفظ
“Ta’wil ialah menerangkan salah satu makna yang dapat diterima oleh lafal.”
Kata As Said al-Jurjany mengemukakan:
     التأويل: صرف اللفظ عن معناه الظاهر إلى معنى يحتمله إذا كان للمحتمل الذي يراه موافقا للكتاب والسنة
 “Ta’wil ialah: memalikngkan lafal dari maknanya yang tersurat kepada makna lain (batin) yang dimiliki lafal itu, jika makna lain tersebut dipandang sesuai dengan ketentuan al-Qur’an dan al-Sunnah”.[38]

Sebagiannya, seperti Ahmad al-Maraghiy mengemukakan:
أما التأويل: فهو أن يكون للآية معان محتملة فمهما ذكرت للسامع معنى ثم معنى وقف وقفه للمتردد في اختيار أقربها إلى نفسه ومن ثم كان التأويل أكثرما  يستعمل في جانب المتشابهات
Adapun ta’wil ialah: ayat yang memiliki kemungkinan sejumlah makna yang terkandung di dalamnya, maka manakala dikemukakan makna demi makna kepada pendengar, ia menjadi sangsi dan bingung mana yang hendak dipilihnya. Karena itu, takwil lebih banyak digunakan untuk ayat-ayat mutsyabihat.[39]

Muhammad Ali al-Shabuniy mendefinisikan ta’wil sebagai berikut:
التأويل: فهو ترجيح بعض المعاني المحتملة من الآيات الكريمة التي تحتمل عدة معان
Ta’wil ialah: memandang kuat sebagian dari makna-makna tertentu yang terkandung di dalam ayat al-Qur’an dari sekian banyak kemungkinan makna yang ada.[40]

Dengan merujuk kepada makna ta’wil  (at-ta’wil) maka akan jelas bahwa  lafaz ta’wil digunakan untuk menunjukkan tiga makna:
1)      Memalingkan sebuah lafal dari makna yang kuat (rajih) kepada makna yang lemah (marjuh) karena ada suatu dalil yang menghendakinya. Inilah pengertian ta’wil yang dimaksud mayoritas ulama muta’akhirin.
2)       Ta’wil dengan makna tafsir (menerangkan, menjelaskan), yaitu pembicaraan untuk menafsirkan lafal-lafal agar maknanya dapat dipahami.
3)       Ta’wil  adalah hakikat (substansi) yang kepadanya pembicaraan dikembalikan. Maka, ta’wil dari pada yang diberitakan Allah tentang zat dan sifat-sifat-Nya ialah hakikat zat-Nya itu sendiri yang kudus dan hakikat sifat-sifat-Nya. Dan ta’wil dari apa yang diberitakan Allah tentang hari kemudian adalah substansi yang ada pada hari kemudian itu sendiri.[41]
b.      Perbedaan Pendapat; Tafsir dan Ta’wil
Perbedaan pendapat tentang tafsir dan ta’wil, lebih singkatnya bisa difahami sebagai berikut:
(Tabel 6: Perbadaan Tafsir dan Ta’wil)
No
Tafsir
No
Ta’wil
1
Pemakaiannya banyak terdapat pada lafal-lafal dan leksikologi (mufrodat)
1
Penggunaannya lebih banyak pada makna-makna dan susunan kalimat
2
Jelas diterangkan dalam al-Qur’an dan hadis-hadis shohih
2
Kebanyakan diistimbatkan oleh para ulama’
3
Banyak berhubungan dengan riwayat
3
Lebih banyak berhubungan dengan dirayah (nalar, ‘aqliy)
4
Digunakan dalam ayat-ayat yang muhkamat (jelas,terang)
4
Digunakan dalam ayat-ayat mutasyabihat (samar, tidak jelas)
5
Bersifat menerangkan petunujuk yang dikehendaki
5
Menerangkan hakikat yang dikehendaki

Dengan memperhatikan perbedaan tafsir dan ta’wil sebagaimana dikemukakan oleh para ulama’ di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ta’wil dikatakan sebagai menafsirkan perkataan dan menjelaskan makna yang tersirat dibalik lafal yang tersurat, maka ta’wil dan tafsir adalah dua kata yang berdekatan atau hampir sama, bila tidak dikatakan sama. Termasuk kedalam pengertian ini adalah do’a Rasulullah SAW untuk Ibnu Abbas yang berbunyi:
 اللهم فقه في الدين وعلمه التأويل.
 “Ya Allah berikanlah kepadanya kemampuan untuk memahami agama secara mendalam dan ajarkanlah ta’wil kepadanya”.
Atas dasar itulah tampaknya, ulama’ terdahulu (al-mutaqaddimun), termasuk di dalamnya Ibnu Jarir al-Thabariy (w.310 H) memandang sama antara pengertian tafsir dan ta’wil.
Sebaliknya, bila ta’wil dikatakan sebagai menggali esensi dari sesuatu perkataan yang berada dalam realitas (bukan dalam pikiran), sedang tafsir dikatakan sebagai “syarah” dan penjelasan bagi suatu perkataan, dan penjelasan ini berada dalam lisan (perkataan) dengan ungkapan yang menunjukkannya, atas dasar ini maka perbedaan antara tafsir dengan ta’wil cukup signifikan.[42]
Pendapat lain ada juga yang membedakan makna antara kata tafsir dan ta’wil. Namun Abu Zayd memilih menggunakan ta’wil ke timbang tafsir-dan kata “ pembacaan”-(Qira’ah, reading) pun dia gunakan dalam pengertian ta’wil ini, sebagaimana yang lazim digunakan dalam kritik sastra, bukan dalam pengertian upaya penguakan makna luar sebagaimana yang akan digambarkan diagram seperti yang ada di bawah ini:
(Gambar 7: Perbedaan antara Qira’ah, Tafsir, dan Ta’wil)


Ilmu-ilmu Sosial dan Humaniora
 
   Ilmu-ilmu
 al-Qur’an
dan

Bahasa
 
    TeksOval:              a
Oval:     b                         Qira’ah
Oval: c                         Tafsir
                         Ta’wil








Catatan:
 a = makna permukaan, b = makna luar, dan c = makna dalam
 
 





Maksudnya adalah ta’wil berkaitan dengan proses penguakan dan penemuan (istinbath) yang tidak dapat dicapai melalui tafsir yang hanya menyentuh makna luar saja. Dalam ta’wil, peran pembaca dalam pemahaman dan menguakan makna teks adalah lebih signifikan ketimbang tafsir.[43]
Kata ta’wil berdasar pada firman Allah di dalam al-Qur’an, surat Ali ‘Imran (3): 7,.. ومايعلم تأويله إلاالله..... “padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah”.[44] Karena fungsi keduanya sama-sama menjelaskan makna suatu ayat yang samar, maka ada kalangan ulama’ yang menyamakan maksud tafsir dan ta’wil.[45] Di samping itu, terdapat pula ulama yang membedakannya, seperti al-Raghib al-Ashfahani, Ibn Mansur, al-Maturidi dan Abu Thalib al-Taghlibi. Mereka berpendapat bahwa tafsir lebih umum dibandinng ta’wil, sebab tafsir umumnya berfungsi menerangkan maksud yang terkandung dalam susunan kalimat. Ta’wil digunakan untuk menjelaskan pengertian kitab-kitab suci, sedangkan tafsir selain fungsi demikian juga berfungsi menerangkan hal-hal yang lain.[46]
6.      Masalah Ta’wil; Ayat-ayat Mutsyabihat
Allah S.W.T telah menurunkan Al-Qur’an dengan dua macam ayat; muhkamat dan mutasyabihat.[47] Sejak zaman dahulu para ulama telah berselisih faham dalam masalah ini, yaitu dalam penafsiran makna ayat-ayat mutasyabihat dan pengalihannya ke dalam makna lain, dan hal inilah yang disebut dengan “Ta’wil”. 
Kaitan antara ta’wil dengan ayat-ayat mutasyabihat adalah wacana yang menarik banyak perhatian para ulama. Perdebatan itu berkisar sekitar pengertian ayat-ayat mutasyabihat, siapa yang mengetahui maksud sebenarnya yang terkandung dalam ayat-ayat tersebut, atau siapa yang mengetahui ta’wilnya, dan bagi yang berpendapat bahwa sebagian manusia juga dapat mengetahui ta’wilnya; bagaimana ta’wil terhadap ayat-ayat  mutasyabihat tersebut.
Sasaran ta’wil pada umumnya adalah menyangkut ayat-ayat mutasyabihat atau ayat-ayat yang mempunyai sejumlah kemungkinan makna yang terkandung di dalamnya. Dalam hal ini, ayat-ayat mutsyabihat ialah ayat-ayat yang tidak terang maknanya. Menurut ulama’ dari kalangan mutakallimin, ayat-ayat mutasyabihat itu biasanya menyangkut tentang Dzat Allah dan sifat-sifat-Nya. Kebalikannya adalah ayat-ayat muhkamat, yaitu ayat-ayat yang tegas dan terang maknanya.
Bagi para Ulama’ salaf, ayat-ayat mutsyabihat tidaklah begitu banyak, sebab mereka mempunyai kemampuan untuk memahaminya dengan kedalaman bahasa Arab yang dimilikinya. Namun setelah itu, lebih-lebih setelah kemampuan memahami bahasa Arab semakin lemah, maka jumlah atau bilangan ayat-ayat mutasyabihat menjadi semakin banyak. Sehubungan dengan itu, kebanyakan ayat-ayat yang disebut mutsyabihat itu oleh ulama’ulama’ yang muncul belakangan disebabkan oleh lemahnya dalam memahami bahasa Arab.  Ayat-ayat mutsayabihat lebih banyak menyangkut persoalan kepercayaan atau keyakinan, yang didalamnya berhubungan dengan eskatalogi (hal yang ga’ib, akhirat). Jadi, ayat-ayat mutsayabihat umumnya menyangkut soal akidah.[48]
Adapun hikmah penyamaran ini, antara lain, mendorong orang untuk berpikir suatu kegiatan yang amat penting dalam kehidupan manusia untuk mencari kebenaran.
a.       Pengertian Ayat-ayat Mutasyabihat
Dari segi kesamaran dan kejelasannya, ayat-ayat al-Qur’an dapat dibagi menjadi dua, yaitu muhkam dan mutasyabih. Dasarnya adalah ayat, sebagaimana firman Allah yang ada di bawah ini:
uqèd üÏ%©!$# tAtRr& y7øn=tã |=»tGÅ3ø9$# çm÷ZÏB ×M»tƒ#uä ìM»yJs3øtC £`èd Pé& É=»tGÅ3ø9$# ãyzé&ur ×M»ygÎ7»t±tFãB ( $¨Br'sù tûïÏ%©!$# Îû óOÎgÎ/qè=è% Ô÷÷ƒy tbqãèÎ6®KuŠsù $tB tmt7»t±s? çm÷ZÏB uä!$tóÏGö/$# ÏpuZ÷GÏÿø9$# uä!$tóÏGö/$#ur ¾Ï&Î#ƒÍrù's? 3 $tBur ãNn=÷ètƒ ÿ¼ã&s#ƒÍrù's? žwÎ) ª!$# 3[49] tbqãź§9$#ur Îû É[50]Où=Ïèø9$# tbqä9qà)tƒ $¨ZtB#uä ¾ÏmÎ/ @@ä. ô`ÏiB ÏZÏã $uZÎn/u 3 $tBur ㍩.¤tƒ HwÎ) (#qä9'ré& É=»t6ø9F{$# ÇÐÈ  
Artinya: Dialah yang menurunkan al-Kitab (Qur’an) kepadamu. Di antara (isi)-Nya ada ayat-ayat muhkamat, itulah pokok-pokok isi Qur’an dan yang (ayat-ayat) mutsyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, mereka mengikuti ayat-ayat yang mutsyabihat dari padannya untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari tawilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: kami beriman kepada ayat-ayat mutsyabihat. Semuanya itu dari sisi Tuhan kami…”(Ali ‘Imran [3] : 7 ).[51]
Secara bahasa, istilah mutsyabihat merupakan bentuk isim fail dari kata اشتبه yang berarti hal-hal yang bermiripan (متماثلات ). Pada umumnya, orang akan merasa sulit untuk membedakan sesuatu yang mirip dengan yang lain, hal ini disebabkan adanya kesamaran atau ketidakpastian. Pengertian secara istilah tidak jauh berkaitan dengan arti  mutsyabihatat, tetapi pada umumnya pengertian tersebut berkisar sekitar pengertian kesamaran arti lantaran apa yang dimaksud bukan yang tersurat atas dasar alasan akal atau kebahasaan, atau dengan kata lain berarti ayat-ayat yang pengertiannya disamarkan sedimikian rupa.
b.      Siapa yang mengetahui maksudnya atau ta’wilnya?
Sebagaimana telah disinggung di atas, ayat mutsyabihat adalah ayat yang maksudnya disamarkan. Sehingga, menurut pendapat umum para ulama, hanya Allah lah yang mengetahui pengertian sebenarnya atau ta’wilnya, dengan me-waqf-kan ayat pada إلاالله . Sementara itu, Abu al-Hasan al-Asy’ari, juga Abu Ishaq asy-Syairazi berpandangan bahwa ta’wil ayat-ayat tersebut juga diketahui oleh selain Allah, yakni orang-orang yang mendalam ilmunya dengan mewaqafkan ayat pada Où=Ïèø9$#Îûbqãź§9$#ur   dengan alasan bahwa disebutkannaaya Où=Ïèø9$#Îûbqãź§9$#ur adalah dalam rangka pujian terhadap mereka, maka selayaknya jika mereka tahu akan ta’wilnya.
7.      Ruang Lingkup Masalah Ta’wil
Adapun ruang lingkup masalah ta’wil menurut Ash-Shaukani dalam Irsyadul Fuhul ada dua[52], diantaranya;
a.       Ta’wil dalam masalah-masalah furu’, yakni; dalam nash-nash yang berkaitan dengan hukum-hukum syariah.[53] Ta’wil dalam ruang lingkup ini tidak diperselisihkan lagi mengenai bolehnya di kalangan ulama.
b.       Ta’wil dalam masalah-masalah ushul, yakni nash-nash yang berkaitan dengan masalah aqidah.[54] Seperti, nash tentang sifat-sifat Allah Azza wa Jalla, bahwa Allah memiliki tangan, wajah, dan sebagainya. Selain itu, termasuk juga huruf muqattha’ah di permulaan surat-surat.
8.      Ta’wil tercela
Ta’wil yang tercela adalah tawil yang pengertian pertama, memalingkan lafal dari makna rajih kepada makna marjuh karena ada dalil yang menyertainya. Ta’wil semacam ini banyak dipergunakan oleh sebagian besar ulama’ mutaakhirin, dengan tujuan untuk lebih memahasucikan Allah SWT dari keserupaan-Nya dengan mahluk seperti yang mereka sangka.
Dugaan ini sungguh batil karena dapat menjatuhkan mereka ke dalam kekhawatiran yang sama dengan apa yang mereka takuti, atau bahkan lebih dari itu. Misalnya, ketika mentakwilkan tangan (al-yad) dengan kekuasaan (al-qudrah). Maksud mereka adalah untuk menghindarkan penetapan “tangan” bagi khaliq mengingat mahluk pun memiliki tangan. Oleh karena lafal al-yad ini bagi mereka menimbulkan kekaburan maka dita’wilkan dengan al-qudrah.
Hal semacam ini mengandung kontradiktif, karena memaksa mereka untuk menetapkan sesuatu makna yang serupa dengan makna yang mereka sangka harus ditiadakan, mengingat mahluk pun mempunyai kekuasaan, al-Qudrah, pula. Apabila qudrah yang mereka tetapkan itu hak dan mungkin, maka penetapan “tangan” dianggap batil dan terlarang karena menimbulkan keserupaan menurut dugaan mereka, maka penetapan “kekuasaan” juga batil dan terlarang.
Dengan demikian, maka tidak dapat dikatakan bahwa lafal ini dita’wilkan, dalam arti dipalingkan dari makna yang rajih kepada makna yang marjuh. Cela’an terhadap para ta’wil yang datang dari para ulama’ salaf dan lainnya itu ditujukan kepada mereka yang mena’wilkan lafal-lafal yang kabur maknanya bagi mereka, tetapi tidak menurut ta’wil yang sebenarnya, sekalipun yang demikian tidak kabur bagi orang lain.[55]
9.      Syarat-Syarat Melakukan ta’wil
Beberapa persyaratan bagi orang yang ingin melakukan ta’wil terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dengan kriteria yang cukup ketat, yang juga merupakan kriteria bagi seorang mujtahid dan mufassir, di antaranya:
a.  Memiliki ilmu tentang Al-Qur’an; mengetahui dan mengusai ayat-ayat Al Qur’an terutama ayat-ayat hukum dan tidak disyaratkan harus menghafalnya.
b.  Memiliki ilmu tentang As-Sunnah; mengetahui dan mengusai hadis-hadis hukum dan mampu menyebutkannya, serta membedakannya mana yang shahih dan mana yang dhaif, mengetahui nasikh dan mansukh, mengetahui ijma’, dan perbedaan-perbedaan pendapat para ulama.
c.  Mengusai ilmu ushul fiqh sebagai modal ijtihad.
d. Mengusai bahasa Arab dengan baik dan mengetahui makna-makna dari setiap katanya, karena ta’wil-ta’wil batil kebanyakan berasal dari orang ajam yang tidak mengusai bahasa Arab.
e.  Mengetahui maqashid shari’ah dengan baik.
f.   Ber-aqidah yang lurus, terpercaya, dan wara’.[56]

D.    Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas tentang dualisme hakikat-majaz dan masalah ta’wil maka dapat disimpulkan sebagai berikut:   
1.       Yang dimaksud dengan dualisme hakikat-majaz adalah dua kata antara hakikat yaitu makna yang sebenarnya (denotatif) dan majaz makna yang tidak sebenarnya (konotatif), yang keduanya menyatakan ada dua substansi makna yang berlainan dan bertolak belakang atau bertentangan.
2.        Majaz; Asal Usul dan Perkembangannya yaitu; Al-Jahiz (w. 255/868) adalah sarjana pertama yang memahami majaz, secara substansial, sebagai lawan dari haqiqah atau veritatif, meskipun, jika dibandingkan dengan penerusnya seperti al-Qadi Abd al-Jabbar (w.400/417) atau Abd al-Qahir al-Jurjani (w.471/1078). Beberapa sarjana kontemporer telah menetapkan bahwa, secara historis, setidaknya ada tiga group atau kelompok berbeda yang memposisikan lafal majaz sebagai lawan dari haqiqah. Tiga kelompok yang dimaksud adalah; pertama, Mu’tazilah, yang secara dogmatis ajarannya banyak bersinggung dengan majaz, kedua, Zahiriyah, kelompok yang menolak keberadaan majaz baik dalam bahasa secara keseluruhan maupun dalam al-Qur’an, dan sebagai konsekwensinya juga menolak ta’wil. Dan ketiga, Asy’ariyah, kelompok yang mengakui adanya majaz dalam kondisi tertentu dan di bawah persyaratan-persyaratan yang ketat. Majaz telah berkembang dalam kajian bidang balaghah, konsep majaz pada umumnya berintikan tiga hal, yaitu; 1) adanya makna asal, 2) adanya makna baru, baik berkaitan dengan makna kata per-kata atau hubungan antar kata yang satu dengan lainnya dalam kalimat tersebut, dan 3) adanya hubungan antara makna asal dan makna yang baru.
3.       Macam-macam majaz; pembagiannya menjadi dua yaitu;  majaz lughawi dan  majaz’aqli  adapun bentuk-bentuk majaz yaitu isti’arah, tasybih, tamtsil, dan kinayah
4.        Permasalahan majaz dan ta’wil, yaitu; 1) Jika, pengertian majaz adalah pengertian tidak sebagaimana yang tertulis atas dasar alasan tertentu, yakni adanya alaqah keterhubungan antara arti asal dengan arti baru, maka untuk memahami ungkapan majazi (bagi yang meyakini adanya) dalam al-Qur’an diperlukan pemahaman lain. Ta’wil dan perbedaan pendapat; tafsir dan ta’wil, 2) Jika pemahaman tidak sebagaimana yang tersurat diterapkan pada al-Qur’an, misalnya pada ayat-ayat mutsyabihat, apakah yang demikian ini bukan pemaksaan terhadap makna sesuai dengan masing-masing orang atau golongan, 3) Jika al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, sebagaiman dinyatakannya sendiri, padahal dalam bahasa Arab, juga dalam bahasa lain, ungkapan majazi banyak ditemukan lantaran keterbatasan bahasa, dan bukan berkaitan dengan masalah kebohongan, maka tentunya majaz juga ada dalam al-Qur’an, 4) Akar masalahnya ada pada bahasa (bayan), maka ahl al-irfan menghadapi ayat-ayat mutasyabihat tidak berpijak pada epistemologi bayani melainkan irfani, 5) Permasalahan yang akan timbul berkenaan dengan penerapan konsep majaz dan ta’wil terhadap al-Qur’an adalah jika konsep ini diterapkan terlalu jauh dan luas mencakup seluruh isi al-Qur’an.
5.        Pengertian ta’wil yaitu secara bahasa berasal dari kata “ala-ya’ulu” bermakna kembali dan berpaling, secara istilah mengalihkan suatu lafaz dari maknanya yang rajih kepada makna yang marjuh. Adapun perbedaan pendapat; tafsir dan ta’wil dapat disimpulkan bahwa ta’wil dikatakan sebagai menafsirkan perkataan dan menjelaskan makna yang tersirat dibalik lafal yang tersurat, maka ta’wil dan tafsir adalah dua kata yang berdekatan atau hampir sama.
6.        Masalah ta’wil yaitu pada umumnya adalah menyangkut ayat-ayat mutasyabihat atau ayat-ayat yang mempunyai sejumlah kemungkinan makna yang terkandung di dalamnya. Dalam hal ini, ayat-ayat mutsyabihat ialah ayat-ayat yang tidak terang maknanya.
7.        Ruang lingkup masalah ta’wil yaitu 1) Ta’wil dalam masalah-masalah furu’, yakni; dalam nash-nash yang berkaitan dengan hukum-hukum syariah, 2) Ta’wil dalam masalah-masalah ushul, yakni nash-nash yang berkaitan dengan masalah aqidah
8.        Ta’wil tercela adalah tawil yang pengertian pertama, memalingkan lafal dari makna rajih kepada makna marjuh karena ada dalil yang menyertainya.
9.        Syarat-syarat menta’wil diantaranya; a) Memiliki ilmu tentang Al-Qur’an, b) Memiliki ilmu tentang As-Sunnah, c) Mengusai ilmu ushul fiqh, d) Mengusai bahasa Arab, e) Mengetahui maqashid shari’ah, f) Ber-aqidah yang lurus, terpercaya, dan wara’.

DAFTAR PUSTAKA

al-Qur’an terjemahan, Kudus: Menara Kudus, 1427 H
Abu Zaid, Nashr Hamid, al-Ittijah al-Aqli fi al-Tafsir; Dirasah fi qodiyah al-Majaz fi al-Qur’an ‘inda al-Mu’tazilah, Bairut: al-Markaz Astiqofi al-‘Araby, 1996
------------------------, Penggagas Kajian Tekstualitas Al-Qur’an Menalar Firman Tuhan; Wacana Majas dalam Al-Qur’an Menurut Mu’tazilah, Bandung: Mizan, 2003
------------------------, Hermeneutika Inklusif; Mengatasi Problematika Bacaan dan Cara-Cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan, Yogyakarta: LKiS, 2004
------------------------, Edisi Revisi Tekstualitas Al-Qur’an; Kritik terhadap Ulumul Qur’an, Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara, 2005
Abdillah, Zamzam Afandi, Majaz; Mesin Kreatif “Ta’wil Ideologis” Mu’tazilah, Adabiyyat, vol. IX, No. 2, Desember 2010
al-Jarim, Ali, dkk, Terjemahan al-Balaghatul Wadhihah, Bandung: Sinar Baru al-Gensindo, 2005
al-Wasilah, A. Chaedar, Filsafat bahasa dan Pendidikan, Bandung: Rosda, 2008
al-Qattan, Manna’ Khalil, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2009
------------------------, Pembahasan Ilmu Al-Qur’an, Jakarta:PT Rineka Cipta, 1995
al-Shiddieqy, T.M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir al-Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang, 1974
al-Syirbashi, Ahmad, Sejarah Tafsir al-Qur’an, terj. Tim Pustaka Firdaus, T.t.p: Pustaka Firdaus, 1994
Anwar, Rosihin, Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 2006
Ash Shidieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Sejarah dan Pengantar; Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Semarang: Pustaka Rizqi Putra, 2000
Asy-Syaukani, Muhammad ‘Ali, Irsyadul Fuhul ila Tahqiq Al-Haq min Ilm Al-Ushul, Riyadh: Dar Al-Fadhilah, 2000. vol. II
Bisri, Adib dan Munawwir AF, Al-Bisri; Kamus Indonesia-Arab, Surabaya: Pustaka Progressif, 1999
Djojosuroto, Kinayati, Filsafat Bahasa, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007
Ichwan, Moch. Nur, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur’an; Teori Hermeneutika Nashr Abu Zayd, Jakarta: Teraju, 2003
Kaelan, Filsafat Bahasa; Masalah dan Perkembangannya, Yogyakarta: Paradigma, 2002
Ma’luf, Luis, Kamus Al-Munjid, Bairut: al-Maktabah al-Katukuliyah, t.t.,
Muhammad ‘Ali al-Shabuniy, al-Tibyan fi Ulum al-Qur’an, Bairut: Dar al-Irsyad, 1970
Nawawi, Rifa’at Syauqi & M. ali Hasan, Pengantar Ilmu Tafsir, Jakarta: Bulan Bintang, 1988
Setiawan, M. Nur Kholis, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, Yogyakarta: eLSAQ Press, 2006
Soeharso dan Ana Retnoningsih, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap, Semarang: Grand Media Pustaka, 2007
Sukamta, Majaz dan Pluralitas Makna dalam al-Qur’an, Yogyakarta: Adab Press, 2009
Suryadilaga, M. Alfatih, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta: TERAS, 2010
Syafa, Hanum,Tafsir dan Ta’wil” di akses dari http://hanumsyafa.wordpress.com/2010/01/28/tafsir-takwil-dan-terjemah/org. Akses tanggal 19 Oktober 2013
Taufiqurrochman, H.R, Leksikologi Bahasa Arab, Malang: UIN-Malang Press, 2008
Towilah, Abdul Wahhab Abdussalam, Atsar al-Lughoh Fi Ikhtilaf al-Mujtahidin, Kairo: Dar al-Salam, tt.
Usman, Ulumul Qur’an, Yogyakarta: Teras, 2009
Wahyuddin, Yuyun, Menguasai Balaghah Cara Cerdas Berbahasa, Yogyakarta: Nurma Media Idea, 2007
Wijaya, Aksin, Teori Interpretasi al-Qur’an Ibnu Rusyd; Kritik Ideologis-Hermeneutis, Yogyakarta: LKiS, 2009















* Makalah ini dipresentasikan pada matakuliah  Filsafat Bahasa yang di ampu oleh Bpk. Dr. Zamzam Afandi Abdillah, Ph.D, M.A
* Salahsatu  mahasiswi alumni STAI Mathali’ul Falah Pati, yang  kini melanjutkan study Pasca Sarjana S2 semester pertama, Program Studi Pendidikan Islam (PI) Konsentrasi Pendidikan Bahasa Arab di Universitas Islam Negri (UIN) Sunan Kalijaga, 2013.
[1] Bersifat objektif apabila makna yang diungkapkan merupakan makna yang dikandung secara leksikal atau denotasi dalam sebuah wacana lisan atau tulisan, sedangkan filsafat bersifat subjektif apabila makna yang diungkap ada dalam mata si pembaca dan merupakan makna struktural, yaitu apa yang ada dibalik makna kata tersebut atau konteksnya. Lihat, Kinayati Djojosuroto, Filsafat Bahasa, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), hlm. 34-35
[2] Kata-kata “ilmu” adalah kata jenis yang meliputi segala macam  ilmu yang membahas cara mengucapkan lafal-lafal Qur’an. Mengacu kepada ilmu qira’at, petunjuk-petunjuknya adalah pengertian yang ditunjukkan oleh lafal-lafal itu. Ini mengacu kepada ilmu bahasa yang diperlukan dalam ilmu (tafsir) ini. Kata-kata hukum-hukmunya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun meliputi pengertiannya yang hakiki dan majazi, sebab suatu susunan kalimat (tarakib) terkadang menurut lahirnya menghendaki sesuatu makna tetapi untuk membawanya ke makna lahir itu terdapat penghalang sehingga tarkib tersebut mesti dibawa ke makna yang bukan makna lahir, yaitu makna majaz. Dan kata-kata hal-hal yang melengkapinya, mencakup pengetahuan tentang naskh, sebab nuzul, kisah-kisah yang dapat menjelaskan sesuatu yang kurang jelas dalam al-Qur’an dan lain sebagainya. Lihat, Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2009), hlm. 457
[3] Kemukjizatan ilmiah Qur’an bukanlah terletak pada pencakupannya akan teori-teori ilmiah yang selalu baru  dan berubah merupakan hasil usaha manusia dalam penelitian dan pengamatan. Tetapi ia terletak pada dorongannya untuk berpikir dan menggunakan akal. Lihat, Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2009), hlm. 385
[4] Jika memenuhi dua syarat: pertama, ada konteks yang melatarbelakanginya, dan kedua maksud si pembicara dapat dipahami, karena suatu berita tidak dapat diketahui benar atau salah kecuali dengan mengetahui keadaan pembicaranya, kita mesti mengetahuinya. Kita tahu bahwa kalam Allah dalam al-Qur’an tidak diketahui keadaan pembicaranya. Oleh karena itu, pasti kebenaraanya tidak akan diketahui sebelum keadaan pembicaranya, Allah SWT, diketahui.
[5] Kaelan, Filsafat Bahasa; Masalah dan Perkembangannya, (Yogyakarta: Paradigma, 2002) hlm. 115
[6] Seperti yang telah dijelaskan tentang majaz untuk bentuk mufrad (tunggal), maka penjelasan selanjutnya adalah tentang majaz dan dalam bentuk terstruktur (murakkab).
[7] Dualisme; faham mendua, ajaran yang berdasarkan dua azas yang berlainan. Lihat, Soeharso dan Ana Retnoningsih, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap, (Semarang: Grand Media Pustaka, 2007), hlm. 148
[8] Abdul Wahhab Abdussalam Towilah, Atsar al-Lughoh Fi Ikhtilaf al-Mujtahidin, hlm. 155
[9] H.R Taufiqurrochman, Leksikologi Bahasa Arab, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), hlm. 63
[10] Kata majaz sudah masuk menjadi bahasa Indonesia dengan mengubah huruf z menjadi s. sering kali kata asing, termasuk bahasa Arab, yang masuk ke dalam bahasa Indonesia mengalami pergeseran makna. Kata majaz (bukan majas), tetap dipertahankan dalam kajian ini atas dasar: pertama untuk mennghindari adanya kemungkinan pergeseran makna, dan kedua yang diacu oleh pengertian majaz disini adalah dalam pengertian bahasa Arab, meskipun penulis terkadang menggunakan istilah lain misalnya metafora, tetapi acuan utamanya adalah dalam pengertian bahasa Arabnya.
Pengertian majaz secara bahasa adalah melewati tempat tertentu; jalan lintas; metafor; ungkapan figuratif; kebalikan dari hakikat. Al-khatib al-Quzwaini mengatakan bahwa kata majaz merupakan bentuk masdar mim dari kata jaza-yajuzu yang berarti melewati (tempat aslinya). Majaz juga merupakan cara menggambarkan makna. Kata majaz umumnya dihadapkan dengan kata haqiqah yang secara bahasa berarti sesuatu yang tetap atau ditetapkan (haqqatu asy-syai’=asbattuhu atau haqqa asysyai’=sabata). Adapun istilah, majaz adalah setiap gaya bahasa yang mengandung perubahan arti lafal-lafal tertentu dari arti biasanya. Perubahan arti lafal inilah sebenarnya yang menyebabkan gaya bahasa majaz membawa informasi baru dengan melikiskan ulang kenyataan (wujud kharij) secara baru. Majaz bukan hanya berefek menghancurkan tata logika tertentu tetapi juga menemukan tata logika baru. Lihat, Sukamta, Majaz dan Pluralitas Makna dalam al-Qur’an, (Yogyakarta: Adab Press, 2009), hlm. 6-7
[11] QS. Asy-Syura [42]: 11
[12] QS. Yusuf [12]: 82
[13] QS. Al-Kahfi [18]:  77
[14]  H.R Taufiqurrochman, Op.Cit., hlm. 64-65
[15] Yuyun Wahyuddin, Menguasai Balaghah Cara Cerdas Berbahasa, (Yogyakarta: Nurma Media Idea, 2007), hlm. 49-50
[16] Sukamta, Majaz dan Pluralitas Makna dalam al-Qur’an, (Yogyakarta: Adab Press, 2009), hlm. 7-8
[17] Maka, makna tidak berada pada musamma atau madlul (obyek yang ditunjuk), melainkan ada pada fikrah ‘ide’ si pemakai simbol. Jika ia menggunakan bahasa tulis maka simbolnya adalah huruf atau angka. Makna tidak berada pada suara atau huruf maupun angka, tetapi ada pada benak si pembicara atau penulis atau pendengar atau pembaca. Karena bahasa merupakan alat berpikir, maka perubahan makna dalam penggunaan bahasa akan melibatkan alasan-alasan rasional juga.
[18] Konsep majaz yang dipakai dalam kajian bahasa Arab modern telah lazim digunakan oleh para sarjana klasik sebagai lawan dari istilah haqiqah. Penggunaan seperti ini lazim berlaku, baik dalam teori sastra maupun dalam wilayah teologi dan ilmu hukum.
[19] M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2006), hlm. 181
[20] Sukamta, Op.Cit., hlm. 26
[21] Bahkan majaz sering dikaitkan dengan arti sebenarnya atau bukan sebenarnya, dan sering diidentikkan dengan masalah kebohongan, karena majaz dipandang menunjuk kepada sesuatu makna tidak sebagaimana arti harfiahnya atau yang diungkapkan berbeda dengan yang dimaksudkan.
[22] Sukamta, Op.Cit., hlm. 55-56
[23]  Yuyun Wahyuddin, Op.Cit., hlm. 71
[24] Majaz isti’arah yaitu jika hubungannya berbentuk keserupaan. Adapun pengertian majaz isti’arah adalah majaz yang hubungannya antara makna asli dengan makna majaz yang bersifat keserupaan (musyabbahah), contoh; “Aku melihat seekor singa sedang menembak musuhnya” maksudnya “seorang pemberani”.
[25] Majaz mursal yaitu jika hubungannya berbentuk bukan keserupaan. Adapun pengertian majaz mursal adalah majaz lughowy yang hubungannya antara makna asli dengan makna majaznya tidak berbentuk keserupaan (ghair musyabbahah),
[26] Pengertian isti’arah Tashrihiyah yaitu majaz yang musyabbah bih-nya ditegaskan secara eksplisit dalam kalimat, contoh; “lautan itu datang kepada kita membawa pemberian” maksudnya “orang yang dermawan”. Adapun  pengertian isti’arah makaniyah yaitu majaz yang musyabbah bih-nya tidak disebutkan secara eksplisit dalam kalimat, akan tetapi dapat diketahui melalui kelaziman-kelazimannya yang ada dalam kalimat tersebut, contoh; “Langit itu menangis dan bumi tersenyum” maksudnya “langit=manusia” yang biasanya meneteskan air mata.
[27] Perkembangan majaz merupakan obyek banyak penelitian sebelumnya. Studi-studi ini mengkonsentrasikan diri tidak pada level-level makna al-Qur’an dalam prespektif stilistik semantik serta makna susastranya, akan tetapi hanya melihat pada aspek-aspek linguistik dari bahasa al-Qur’an. Di samping itu, terdapat pula beberapapenelitian yang berkosentrasi pada metafora dalam al-Qur’an, hanya saja titik tekannya lagi-lagi bukan pada level makna, melainkan lebih merupakan kumpulan dan inventarisasi metafora dalam al-Qur’an.  Lihat, M. Nur Kholis Setiawan, Op.Cit., hlm. 206-207
[28] Penjelasan tentang pemahaman isti’arah, tasybih, tamsil, dan kinayah adalah sebagai berikut; 1) isti’arah menurut Abd al-Qahir al-Jurjani (w. 471/1079) isti’arah merupakan peliharaan makna dari kata ataupun suku kata yang dalam penggunaan bahasa keseharian, memiliki makna dasar atau makna asli, kemudian, karena dan lain hal, baik oleh para sastrawan ataupun kalangan kebanyakan menjadi beralih ke makna lainnya yang terkadang melampui batas-batas leksikalnya. Menurutnya metafor atau  isti’arah seperti ini merupakan salah satu seni perbandingan, yakni salah satu bentuk khusus dari tamtsil , yang masing-masing bisa dipersandingkan dan diperbandingkan untuk menghasilkan makna baru. Jadi definisi yang dikemukakan oleh  al-Jurjani dikembangkan oleh para sarjana yang menunjukkan adanya sistemisasi dari perkembangan definisi. 2) tasybih, kajian dari tasybih ini tidak  hanya batas pada definisi akan tetapi lebih bagaimana teori tentang tasybih tersebut, khususnya aplikasi serta penggunaannya. Menurut al-Jurjani bahwa tasybih merupakan aspek amat penting dari majaz. 3) Parabel (matsal) dan Persamaan (tamsil) konsep ini merupakan bentuk majaz selanjutnya sebagai pembangunan seni puitik secara umum. Konsep matsal memiliki kekhususan, karena matsal merupakan sebuah konsep tertentu dan matsal merupakan bentuk lain dari perbandingan yang pemakainnya dalam al-Qur’an. 4) Metonimie (Kinayah) salah satu mufassir yang masyhur adalah al-Suddi al-Kabir (w.128/745) yang ternyata mempergunakan kinayah sebagai alat bantu menjelaskan al-Qur’an. Ayat tersebut; “Istri-istrimu adalah ladang tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah ladang bercocok tanammu itu seperti apa saja kamu mau” . kata harts dalam ayat ini tidak dipahami sebagai kinayah untuk kaum wanita, melainkan sebagai kata benda biasa. Lihat, M. Nur Kholis Setiawan, Op.Cit., hlm. 208-245
[29] Sebagian ulama mengatakan bahwa tidak ada majaz dalam al-Qur’an karena majaz identik dengan kebohongan, dengan kata lain, ada deviasi makna, yakni penggunaan lafal untuk suatu makna yang berbeda dengan penggunaan lafal untuk suatu makna yang dibuat untuknya. Majaz dipakai karena sudah tidak dapat menggunakan bahasa haqiqah. Ketidakmampuan ini mustahil bagi Allah. Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh Daud az-Zahiri (w. 270 H), Ibnu al-Qass (w. 335 H), dan sebagainya. Lihat, Sukamta, Op.Cit., hlm. 107-108
[30] Q.S asy-Syuara [42]: 11
[31]  Apa yang diungkapkan bahasa manusia adalah berkaitan dengan konsep-konsep, pengertian-pengertian dan istilah-istilah manusiawi yang dapat dipahami oleh manusia. Apabila ingin memahami salah satu sifat dari sifat-sifat Allah yang tiada sesuatu mahluk pun yang menyamai-Nya, ia memerlukan perbandingan dengan pengetahuan-pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya, dan disinilah terjadi musyabahah sesuatu yang sebenarnya disadari ketiadaannya (tidak ada yang menyerupai-Nya). Peranan bahasa di sini adalah peranan transformatif, yakni mentransformasikan segala sesuatu di luar dirinya yang ingin dipahaminya menjadi “simbol-simbol” bahasawi yang lebih mudah dipahaminya, disertai kesadaran penuh bahwa keduanya mempunyai eksistensi sendiri-sendiri. Dengan demikian peranan bahasa di sini bersifat transformatif, yakni merubah segala sesuatu yang di luar diri manusia menjadi simbol-simbol bahasawi yang lebih dekat dengan pemahaman manusia. Lihat, Sukamto, Op.Cit., hlm. 116
[32] Persoalannya adalah tidak semua orang dapat melakukan ta’wil yang demikian. Hal ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang benar-benar bertakwa kepada Allah hingga mencapai tingkat ma’rifat dan mendapat kasyaf yang dengan itu penghalang antara ia dan “hakikat” yang dimaksud oleh ayat tersebut dapat tersingkap, dan tidak semua orang yang berupaya mendapatkannya berhasil, karena pada akhirnya kasyaf merupakan pemberian dari Allah. Lihat, Sukamto, Op.Cit., hlm. 117-118
[33] Muhammad ‘Ali al-Shabuniy, al-Tibyan fi Ulum al-Qur’an, (Bairut: Dar al-Irsyad, 1970), hlm. 74
[34] Kata tersebut dapat berarti: Pertama, al-Ruju’ (kembali, mengembalikan) yakni, mengembalikan makna pada proporsi yang sesungguhnya. Kedua, al-Sharf (memalingkan) yakni memalingkan suatu lafal yang mempunyai sifat khusus dari makna lahir kepada makna batin lafal itu sendiri karena ada ketepatan atau kecocokan dan keserasian dengan maksud yang dituju. Ketiga, al-Siyasah (mensiasati) yakni, bahwa lafal-lafal atau kalimat-kalimat tertentu yang mempunyai sifat khusus memerlukan “siasat” yang tepat untuk menemukan makna yang dimaksud. Untuk itu diperlukan ilmu yang luas dan mendalam. Lihat, Usman, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 317
[35] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shidieqy, Sejarah dan Pengantar; Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, (Semarang: Pustaka Rizqi Putra, 2000), hlm. 173
[36] Hanum Syafa, “Tafsir dan Ta’wil” dalam http://hanumsyafa.wordpress.com/2010/01/28/tafsir-takwil-dan-terjemah/org Akses tanggal 19 Oktober 2013
[37] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shidieqy, op.cit., hlm. 172
[38] Rifa’at Syauqi Nawawi & M. ali Hasan, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), hlm. 144
[39] Ibid, hlm. 145
[40] Jadi, menta’wilkan ayat-ayat al-Qur’an berarti “membelokkan” atau “memalingkan” lafal-lafal atau ayat-ayat al-Qur’an dari maknanya yang tersurat kepada yang tersirat dengan maksud mencari makna yang sesuai dengan maksud mencari makna yang sesuai dengan ruh al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW.  Dalam al-Qur’an banyak dijumpai lafal-lafal yang memiliki makna tersirat di samping tersurat yang dalam pemahamannya bila tidak menggunakan “siasat” untuk menetukan makna yang sejalan dengan ketentuan nash yanng qath’i, maka akan terjadi kekeliruan. Maka lahir (tersurat) dan makna batin (tersirat) disebut juga dengan makna qarib (dekat) dan makna ba’id (jauh). Lihat, Muhammad ‘Ali al-Shabuniy, op.cit., hlm. 74
[41] Manna’ Khalil al-Qattan, op.cit, hlm. 308-309
[42] Usman, op.cit., hlm. 333
[43] Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur’an; Teori Hermeneutika Nashr Abu Zayd, (Jakarta: Teraju, 2003), hlm. 81
[44] QS. Ali Imran (3):7
[45] Ahmad al-Syirbashi, Sejarah Tafsir al-Qur’an, terj. (Tim Pustaka Firdaus, T.t.p: Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 6
[46] M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: TERAS, 2010), hlm. 29
[47] Mengenai pengertian muhkam dan mutsyabih terdapat banyak perbedaan pendapat, yang terpenting diantaranya sebagai berikut: 1) Muhkam adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya, sedangkan mutsyabih hanyalah diketahui maksudnya oleh Allah sendiri. 2) Muhkam adalah ayat yang hanya mengandung satu wajah, sedang mutsyabih mengandung banyak wajah. 3) Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung, tanpa memerlukan keterangan lain, sedang mutsyabih tidak demikian; ia memerlukan penjelasan dengan merujuk kepada ayat-ayat lain. Bisa disimpulkan bahwa ayat-ayat muhkamat adalah ayat-ayat yang sudah jelas maksud dan maknanya. Para ulama’  memberikan contoh ayat-ayat muhkam dalam al-Qur’an dengan ayat-ayat nasikh, ayat-ayat tentang halal, haram, hudud (hukuman), kewajiban, janji dan ancaman. Sedangkan mutasyabihat adalah ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui, seperti ayat-ayat mansukh yang berhubungan dengan perkara-perkara gaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari kiamat, surga, neraka, tentang Asma Allah, dan sifat-sifat-Nya dan lain sebagainya. Secara umum, ayat-ayat mutasyabihat merupakan objek kajian ta’wil (majaal al-ta’wil). Contoh salah satunya:الرحمن على العرش استوى “Ar-Rahman bersemayam di atas ‘Arsy” (Ta Ha [20]: 5). Lihat, Mana’ul Qathan, Pembahasan Ilmu Al-Qur’an, ( Jakarta:PT Rineka Cipta, 1995), hlm. 4-5

[48] Usman, op.cit., hlm. 320

[50]  Masksud dari “dan orang-orang yang mendalam ilmunya”Apakah kalimat ini mubtada’, khabarnya yaitu يقولون . Huruf الواو adalah Wawu istiknaf. “Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah”.Atau dia ma'thuf (معطوف) sedangkan (يقولون) adalah hal. Menurut yang pertama (الاستئنا ف) yang termasuk dalam golongan ini ialah Ubaiya bin Ka’ab, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, dan lain-lainnya.dari golongan sahabat, tabi’in dan orang-orang yang hidup sesudahnya. Mereka itu berdasarkan keterangan dengan contoh yang di rawikan oleh hakim dalam kitabnya Al-Mustadrik tentang Ibnu Abbas.Caranya dia membaca begini. Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya itu mengatakan kami beriman dengannya”. Sikap para ulama terhadap ayat-ayat mutasyabihat terbagi dalam dua kelompok, yaitu: a) Madzhab Salaf, yaitu para ulama yang mempercayai dan mengimani ayat-ayat mutasyabih dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah sendiri (tafwidh ilallah).Kaum Salafi tidak menta’wil ayat-ayat mutasyabihat menyangkut sifat Allah. Mereka cukup mengimani saja. Imam Malik pernah ditanya tentang istiwa’ (duduknya Allah di atas ‘Arsy). b) Madzhab Khalaf, yaitu para ulama yang berpendapat perlunya menakwilkan ayat-ayat mutasyabih yang menyangkut Allah sehinga melahirkan arti yang sesuai dengan keluhuran Allah. Lihat Rosihin Anwar, Ulumul Qur’an, (Bandung:Pustaka Setia, 2006), hlm.133-134
[51] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2009), hlm.305
[52] Lihat, Muhammad ‘Ali Asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul ila Tahqiq Al-Haq min Ilm Al-Ushul, (Riyadh: Dar Al-Fadhilah, 2000). vol. II hlm. 756
[53]Nash-nash hukum syariat (taklifi) merupakan lahan yang subur bagi ta’wil, karena banyak mengandung lafaz ambigu (muhtamal) yang juga menjadi lahan untuk berijtihad. Selain itu, keinginan untuk memahami nash syar’i memicu para ulama untuk melakukan ta’wil. Kendati demikian, ta’wil tidak berlaku pada nash-nash qath’i dan muhkam yang hanya memiliki satu makna dan makna yang dimaksud oleh syari’ah sudah jelas. Sebagaimana dalam kaidah di sebutkan tidak ada ijtihad jika ada nash yang qath’i, mufassar, dan muhkam. Seperti bagian-bagian dalam warisan dan hukuman (had) yang disebutkan dalam nash-nash syar’i terhadap pelaku perbuatan dosa-dosa besar.  Menurut ulama Hanifiyah, yang menjadi objek ta’wil adalah an-nash dan azh-zhahir. Meskipun jelas, namun tidak menutup adanya kemungkinan (ihtimal) makna lain, sehingga menuntut adanya tarjih di antara makna-makna yang ada oleh seorang mujtahid dengan berlandaskan pada dalil. Selain an-nash dan azh-zhahir, termasuk juga lafaz yang mujmal (global) jika belum diperjelas (ditafsir). Seperti hukum mengusap kepala yang kadarnya masih mujmal, meskipun maknanya jelas akan tetapi hal ini membuka ruang untuk ta’wil dalam hal kadarnya. Oleh karena itulah para ulama berbeda pendapat tentang huruf ba’ dalam firman Allah (وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ). Jika nash ayat yang mujmal ini diperjelas (ditafsir) niscaya tidak akan ada ta’wil di dalamnya. Ta’wil tidak dapat dilakukan pada lafaz yang khafi karena meskipun tersembunyi tapi maknanya jelas. Begitu juga pada lafaz musytarak, meskipun memiliki banyak makna, namun maknanya dapat diketahui dengan adanya indikasi (qarinah) di luar lafaz dan bukan mengalihkan lafaz dari maknanya yang kuat (rajih) kepada yang lemah (marjuh), bukan dengan pendekatan ushul fiqh tapi pendekatan bahasa. Jadi, nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah yang memiliki derajat qath’i ad-dilalah tidak bisa dita’wil karena lafazhnya jelas dan hanya memiliki satu makna, seperti nash tentang masalah ushul, perkara-perkara yang merupakan aksioma keagamaan (ma’lum min ad-din bi adh-dharurah), atau lafaz yang mujmal tapi diperjelas (ditafsir) seperti shalat, zakat, puasa, haji yang dijelaskan oleh As-Sunnah. Sedangkan dalam hermeneutika tidak ada klasifikasi teks, semua teks sama dan semua teks dapat ditafsirkan dengan metode hermeneutika. Jika hermeneutika diterapkan kepada Al-Qur’an, maka yang muhkamat menjadi mutasyabihat, ushul menjadi furu’, thawabit menjadi mutaghayyirat, qath’i dilalah menjadi zhanniy dilalah, dan yang ma’lum menjadi majhul. Lihat. Ugi Suharto, “Apakah Al-Qur’an Memerlukan Hermeneutika”, dalam Islamia, vol. I no.1 Maret 2004. p.52
[54] Objek kajian ta’wil (majaal al-ta’wil) dalam masalah ushul kebanyakan dalam masalah asma’ dan sifat Allah Ta’ala. Dalam hal ini, Asy-Syaukani menyebutkan tiga madzhab; Madzhab Pertama, berpendapat nash tidak boleh di ta’wil dan harus dipahami secara zhahirnya. Inilah pendapat Musyabbihah (golongan yang menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk). Madzhab Kedua, berpendapat nash aqidah ada ta’wilnya, tetapi yang tahu ta’wilnya hanya Allah saja (QS Ali ’Imran :7). Jadi, nash tidak boleh dita’wilkan untuk tetap memurnikan aqidah dari tasybih (menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk) dan ta’thil (meniadakan sifat-sifat Allah). Madzhab Ketiga, berpendapat nash aqidah boleh dita’wilkan.
[55] Ibid, hlm. 311
[56] Muhammad ‘Ali Asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul ila Tahqiq Al-Haq min Ilm Al-Ushul, (Riyadh: Dar Al-Fadhilah, 2000). vol. II hlm. 1027-1032